Pong Tiku
Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Pong Tiku di en.wiki-indonesia.club. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan. (Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel) |
Pong Tiku (atau Pontiku dan Pongtiku; 1846 – 10 Juli 1907), dikenal dengan nama Ne' Baso, adalah pemimpin dan gerilyawan Toraja yang beroperasi di Sulawesi bagian selatan, sekarang bagian dari Indonesia.
Pong Tiku | |
---|---|
Lahir | 1846 Dekat Rantepao, Sulawesi |
Meninggal | Juli 10, 1907 (umur 60–61) Tondon, Tana Toraja, Hindia Belanda |
Sebab meninggal | Ditembak mati |
Makam | Tondon, Tana Toraja |
Pekerjaan | Pemimpin, gerilyawan |
Tahun aktif | 1880–1907 |
Tiku adalah putra penguasa Pangala'. Setelah Tiku menduduki kerajaan Baruppu', ia menjadi raja, lalu menguasai Pangala' setelah ayahnya meninggal dunia. Lewat perdagangan kopi dan persekutuan dengan Suku Bugis di dataran rendah, Tiku mendapatkan kekayaan, tanah, dan kekuasaan yang besar. Semasa Perang Kopi (1889–1890), kota Tondon diserang oleh penguasa lain, namun direbut kembali pada hari yang sama. Ketika pasukan Belanda menyerbu Sulawesi pada awal 1900-an, Tiku dan pasukannya melancarkan serangan dari benteng. Ia ditangkap pada bulan Oktober 1906. Bulan Januari 1907, ia kabur dan menjadi buronan sampai Juni tahun itu. Ia dieksekusi mati beberapa hari setelah tertangkap.
Tiku merupakan pemimpin pemberontakan terlama di Sulawesi. Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz menganggap Tiku sebagai ancaman bagi kestabilan pemerintahan Belanda di kawasan itu. Van Heutsz mengutus Gubernur Sulawesi untuk memimpin penangkapannya. Sejak kematiannya, Tiku menjadi simbol pemberontakan Toraja. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2002.
Kehidupan awal
Tiku lahir di dekat Rantepao di dataran tinggi Sulawesi (sekarang Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan) pada tahun 1846.[1] Waktu itu, Sulawesi Selatan merupakan pusat perdagangan kopi dan dikuasai oleh beberapa panglima perang. Tiku adalah anak terakhir dari enam bersaudara yang lahir dari salah satu keluarga panglima perang tersebut. Ia merupakan putra dari Siambe' Karaeng, penguasa Pangala', dan istrinya, Leb'ok. Sebagai pemuda yang atletis,[2] Tiku sangat ramah terhadap pedagang kopi yang mengunjungi desanya.[3]
Pada tahun 1880, pecah perang antara Pangala' dan Baruppu', negara tetangga yang dikuasai Pasusu. Tiku pun memimpin serangan ke negara tetangganya. Setelah Pasusu dikalahkan, Tiku menggantikannya sebagai penguasa Baruppu'.[3] Kerajaan yang baru dicaplok ini memiliki sawah yang luas dan aman sehingga Tiku memiliki kekuasaan yang besar. Meski suku Toraja umumnya lebih menghargai tenaga manusia dan membunuh orang secukupnya saja, sejarah lisan Baruppu' mendeskripsikan Tiku sebagai sosok pembunuh yang tidak memandang pria, wanita, atau anak-anak.[4]
Tak lama kemudian, ayah Tiku meninggal dunia. Tiku naik sebagai penguasa Pangala'. Sebagai pemimpin, Tiku berusaha memperkuat ekonomi setempat dengan meningkatkan perdagangan kopi dan persekutuan strategis dengan suku-suku Bugis di dataran rendah. Kesuksesan ekonomi ini membuat para penguasa di sekitarnya menghormati dan mengagumi Tiku.[5][6]
Kopi dan perang saudara
Khawatir akan persaingan dari kerajaan Luwu dan Bone di Utara dan Sidenreng dan Sawitto di Selatan, Tiku berupaya memperkuat pertahanan negaranya. Kerajaan yang dipimpinnya menyepakati beberapa perjanjian dagang.[5] Akan tetapi, masuknya suku Bugis memicu ketegangan antarnegara yang memuncak pada Perang Kopi tahun 1889. Tiku berpihak pada kerajaan-kerajaan selatan yang dipengaruhi Bugis.[7]
Pemimpin militer Bone, Petta Panggawae, dan pasukan Songko' Borrong[a] pimpinannya menyerbu Pangala' dan bersekutu dengan Pong Maramba', seorang penguasa kecil. Panggawae menduduki ibu kota Tondon dan menjarahnya. Tiku dan warga sipil terpaksa meninggalkan wilayah tersebut. Tiku, dibantu pemimpin Sidenreng, Andi Guru, merebut kembali sisa-sisa Tondon malam itu juga.[8] Perang berakhir tahun 1890[7] setelah utusan Belanda – mewakili pemerintah kolonial di Jawa – tiba di Bone. Namun demikian, negara-negara yang masih berdiri saat itu mulai berebut kekuasaan atas perdagangan senjata dan budak; setiap negara saling menukarkan senjata dengan budak. Tiku juga terlibat dalam perdagangan ini.[9]
Tiku akhirnya bersekutu dengan pemimpin Bugis di sekitarnya agar mengurangi ketegangan dan meningkatkan perdagangan.[10] Ia juga mempelajari sistem penulisan dan bahasa mereka sehingga Tiku dapat berkomunikasi dengan para pemimpin Bugis.[11] Pada waktu itu, Tiku sudah menguasai sejumlah wilayah.[12] Untuk menghindari terulangnya penyerbuan Tondon, Tiku mulai membangun tujuh benteng serta beberapa pos pemantau dan gudang di wilayahnya.[10] Benteng-benteng Toraja ini dirancang untuk mencegah serbuan ke lembah yang mengarah ke pusat penduduk. Benteng milik Tiku tersebar antara wilayah timur dan barat kerajaannya.[13] Ia menerapkan sistem pajak untuk mendanai pertahanan kerajaan. Pemilik sawah wajib menyerahkan dua per tiga hasil buminya, sedangkan petani lainnya menyerahkan sepuluh persennya saja.[12]
Serbuan Belanda
Pada 1905, tanah-tanah Bugis dan Toraja sebelumnya telah disatukan dalam empat wilayah utama, yang salah satunya dibawah kepemimpinan Tiku.[14] Pada bulan Juli tahun tersebut, raja Gowa, sebuah negara tetangga, mulai mengumpulkan prajurit untuk bertarung melawan para tukang invasi dan mempertahankan sisa-sisa tanah Toraja dari penaklukan. Ma'dika Bombing, seorang pemimpin dari negara selatan, menunjuk Tiku sebagai asistennya. Sebulan setelah para pengirim kabar disebar, para pemimpin berkumpul di Gowa untuk membuka rencana aksi. Hasilnya, para penguasa lokal berhenti berperang satu sama lain dan berfokus pada Belanda, yang memiliki kekuatan unggul;[15] namun, konflik-konflik internal tak secara keseluruhan mereda.[16] Pada saat sebuah pertemuan dilangsungkan, Belanda mulai membuat penyerduan ke Luwu. Tiku, memerintahkan pengusiran Belanda dari kota pertahanan Rantepo dengan mulai menghimpun pasukannya dan menempatkan pada pertahanan-pertahanannya.[17][18]
Pada Januari 1906, Tiku mengirim para pengintai ke Sidareng dan Sawitto, sementara Belanda yang melakukan invasi, menyelidiki cara bertempur mereka. Ketika para pengintai melaporkan bahwa pasukan Belanda memiliki kekuatan yang besar dan tampaknya menggunakan kekuatan sihir saat melawan pasukan Bugis, ia memerintahkan para pasukan di benteng-bentengnya untuk bersiap dan mulai mengumpulkan cadangan makanan berupa beras;[17][18] sebulan kemudian, Luwu jatuh ke tangan pasukan Belanda, yang membuat pasukan Tiku berpindah ke tempat yang lebih pelosok. Pada bulan Februari, para pasukan Tiku, yang dikirim ke kerajaan-kerajaan selatan, mengabarkan bahwa tak lama lagi kepemimpinan koheren dan dua kerajaan kalah melawan bangsa Eropa. Kabar tersebut membuat Tiku menghimpun pasukan yang lebih banyak lagi dan membentuk dewan militer yang beranggotakan sembilan orang, dengan dirinya sendiri sebagai pemimpinnya.[19]
Pada Maret 1906, kerajaan-kerajaan lainnya semuanya runtuh, meninggalkan Tiku sebagai penguasa Toraja terakhir.[19] Belanda mengambil alih Rantepao tanpa perlawanan, tanpa menyadari bahwa penyerahan kota tersebut diatur oleh Tiku. Melalui sebuah surat, Kapten komandan Belanda Kilian meminta Tiku untuk menyerah, sebuah permintaaan yang enggan ditepati Tiku.[20] Menyadari bahwa Tiku memiliki pasukan dan sejumlah benteng, Kilian tidak berniat untuk melakukan serangan secara langsung. Sehingga, pada April 1906, ia mengirim sebuah kelompok ekspedisioner ke Tondon. Namun pendekatan kelompok tersebut ditolak, setelah pada tengah malam pasukan Tiku menyerang kamp Belanda di Tondon; peristiwa tersebut memaksa pasukan Belanda untuk mundur ke Rantepao sementara pasukan Tiku mengejar serta membuat banyak korban menderita di sepanjang jalan.[21]
Aksi militer Tiku berdasarkan pada pengalamannya bertarung dengan penguasa lain.[22] Sementara itu, Belanda dan pasukan pribumi campuran mereka,[b] tak berhasil mengalahkan pasukan Tiku dan tak tahan dengan cuaca dingin yang terbilang tinggi.[23]
Perlawanan pertama
Pasukan ekspedisioner gagal melakukan kesepakatan terbuka antara Tiku, yang bersembunyi di bentengnya di Buntu Batu, dan pasukan Belanda. Tiku mengirim mata-mata kepada pasukan Belanda di Rantepao. Pada 22 Juni, mata-mata melaporkan bahwa pada malam sebelumnya sebuah batalion Belanda yang terdiri dari sekitar 250 pria dan 500 pengangkut berangkat ke desa tersebut, berjalan ke atas selatan menuju benteng Tiku di Lali' Londong. Tiku memerintahkan agar jalanan disabotase, di mana perjalanan pada saat itu membutuhkan waktu dari satu sampai lima hari. Pada malam 26 Juni, pasukan Tiku menyerang pasukan Belanda di luar Lali' Londong, sebuah serangan di mana Belanda belum mempersiapkan apapun; tidak ada yang dibunuh pada serangan tersebut. Pagi berikutnya, Belanda mempersiapkan sebuah pengepungan di Lali' Londong,[24] menggunakan granat tangan dan tangga. Meskipun tidak biasanya pasukan Belanda tidak menggunakan granat terhadap pemimpin wilayah lainnya, pada siang harinya, benteng tersebut ditaklukan.[25][23]
Kekalahan tersebut mendorong Tiku memperkuat pasukannya.[26] Para pasukan Toraja dipersenjatai dengan senapan, tombak, pedang, dan ekstrak lada cabai,[27] yang disemprotkan ke mata lawan dengan menggunakan sebuah pipa yang disebut tirik lada, atau sumpit, untuk membutakan mereka. Tiku sendiri dipersenjatai dengan sebuah senapan Portugis, tombak, dan labo. Dia mengenakan baju besi pelindung, sebuah sepu (penjaga selangkangan), dan songkok dengan tonjolan yang berbentuk tanduk kerbau, dan membawa perisai yang dihiasi. Bersama dengan tentaranya, Tiku menggali lubang yang diisi dengan bambu yang dibuat di sepanjang rute pasokan Belanda; sehingga orang-orang yang berjalan di atas lubang akan jatuh dan tertusuk. [1][28] Namun, hal tersebut tidak menghentikan penyerbuan Belanda. Pada 17 Oktober 1906, dua benteng lainnya, Bamba Puang dan Kotu, runtuh,[29] setelah beberapa serangan gagal Belanda sejak bulan Juni.[30] Sebagai kampanye melawan Tiku, yang menjadi kampanye yang sangat panjang ketimbang kebanyakan kampanye lainnya pada masa penjajahan, yang menggerogoti otoritas Belanda di Sulawesi, Gubernur-Jenderal J. B. van Heutsz memerintahkan Gubernur Sulawesi Swart untuk memimpin serangan secara pribadi.[23]
Setelah pengepungan yang lama, Andi Guru dan mantan letnan Tiku, Tandi Bunna' – keduanya bekerja untuk Belanda – menghadap Tiku pada 26 Oktober dan menawarkan gencatan senjata. Meskipun awalnya enggan, Tiku dikabarkan memenuhi permintaan masyarakat yang mengingatkannya bahwa ibunya – yang tewas dalam pengepungan tersebut – butuh dikuburkan.[31] Setelah tiga hari masa damai, pada malam 30 Oktober, pasukan Belanda mengambil alih benteng tersebut, mencegat seluruh senjata, dan menangkap Tiku. Ia dan para prajuritnya dipaksa pergi ke Tondon.[32]
Perlawanan kedua dan kematian
Di Tondon, Tiku memulai persiapan pemakaman ibunya dengan menggunakan adat Toraja selama beberapa bulan. Sesambil mengadakan persiapan tersebut, ia mendapatkan seorang penasihat yang mengumpulkan senjata secara rahasia sementara yang lainnya menginginkan benteng-bentengnya di Alla' dan Ambeso.[33] Tiku kemudian membuat persiapan untuk melarikan diri dari penangkapan Belanda; ia juga mengembalikan seluruh harta benda yang ia ambil ketika ia menjadi penguasa, karena ia tahu bahwa tidak akan lama menggunakannya. Ketika berada di Tondon, pasukan Belanda memperdaya seorang pemimpin Toraja.[31] Malam sebelum pemakaman ibunya, pada Januari 1907, Tiku dan 300 pengikutnya melarikan diri dari Tondon untuk menuju ke arah selatan.[34]
Setelah ia dikabari bahwa Belanda mengikutinya, Tiku memerintahkan sebagian besar pengikutnya untuk kembali ke Tondon sementara ia dan lima belas orang lainnya, termasuk dua istrinya, melanjutkan perjalanan ke selatan.[35] Mereka awalnya singgah di Ambeso, namun bentengnya runtuh beberapa hari kemudian, sehingga kemudian mereka melarikan diri ke Benteng Alla (kini terletak di Desa Benteng Alla Utara Kabupaten Enrekang). Benteng tersebut berhasil direbut oleh Belanda pada akhir Maret 1907 dan Tiku mulai berjalan kembali ke Tondon melalui hutan. Ia dan para pemimpin lainnya, yang beretnis Bugis dan Toraja, mulai terlacak oleh pasukan Belanda.[36] Pemimpin lainnya ditangkap oleh Belanda dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara di Makassar atau diasingkan ke Buton.[37] Sementara itu, Tiku, tetap bersembunyi di hutan.[38]
Pada 30 Juni 1907, Tiku dan dua pasukannya ditangkap oleh pasukan Belanda; ia menjadi pemimpin gerilya terakhir yang ditangkap. Setelah beberapa hari ditahan,[39] pada 10 Juli 1907 Tiku ditembak dan dibunuh oleh pasukan Belanda di dekat Sungai Sa'dan; beberapa laporan menyatakan bahwa ia sedang mandi pada waktu itu.[27] Ia dikubur di peristirahatan keluarganya di Tondol, meskipun sepupunya Tandibua' menjadi penguasa asli Pangala', ia menjabat dibawah kepemimpinan Belanda.[40]
Warisan
Setelah kematian Tiku, pemerintah kolonial berharap ia dilupakan, namun yang terjadi justru sebaliknya.[27] Tandibua' memberontak pada tahun 1917, dan kantong perlawanan kecil bertahan di sejumlah wilayah Sulawesi hingga Belanda terusir akibat pendudukan Jepang.[40] Pada masa pendudukan, pasukan Jepang menggunakan Tiku sebagai simbol perjuangan Toraja terhadap agresi kolonial dan berusaha menyatukan rakyat untuk melawan bangsa Eropa. Akan tetapi, strategi ini gagal di wilayah-wilayah taklukan seperti Baruppu'[41] dan Sesean yang mengenang Tiku sebagai sosok pembunuh dan penculik istri orang.[42]
Pemerintah Kabupaten Tana Toraja mengangkat Tiku sebagai pahlawan nasional pada tahun 1964.[28] Tahun 1970, tugu penghormatan Tiku didirikan di tepi sungai Sa'dan.[27] Tiku dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Dekret Kepresidenan 073/TK/2002 tanggal 6 November 2002.[43] Pada hari peringatan kematian Tiku, upacara khusus diselenggarakan di ibu kota Sulawesi Selatan, Makassar.[27] Selain jalan raya, bandara di Tana Toraja juga diberi nama Pong Tiku.[44]
Catatan
Referensi
- Catatan kaki
- ^ a b Draeger 1992, hlm. 218.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 1.
- ^ a b Tangdilintin 1976, hlm. 2.
- ^ Bigalke 2005, hlm. 43.
- ^ a b Tangdilintin 1976, hlm. 3.
- ^ Bigalke 2005, hlm. 27.
- ^ a b Tangdilintin 1976, hlm. 4–5.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 6.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 7.
- ^ a b Tangdilintin 1976, hlm. 8–9.
- ^ Bigalke 2005, hlm. 34–35.
- ^ a b Bigalke 2005, hlm. 44.
- ^ Bigalke 2005, hlm. 57.
- ^ Bigalke 2005, hlm. 51.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 10–13.
- ^ Bigalke 2005, hlm. 53–54.
- ^ a b Tangdilintin 1976, hlm. 14.
- ^ a b Bigalke 2005, hlm. 52.
- ^ a b Tangdilintin 1976, hlm. 16-17.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 18.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 19–20.
- ^ Bigalke 2005, hlm. 56.
- ^ a b c d Bigalke 2005, hlm. 58.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 21–26.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 27–28.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 32.
- ^ a b c d e Adams 2006, hlm. 143.
- ^ a b Friend 2003, hlm. 352.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 30.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 33–36.
- ^ a b Bigalke 2005, hlm. 60.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 47–50.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 51–52.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 54–55.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 56.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 60–61.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 62.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 63.
- ^ Tangdilintin 1976, hlm. 64.
- ^ a b Tangdilintin 1976, hlm. 65–66.
- ^ Bigalke 2005, hlm. 199.
- ^ Volkman 1985, hlm. 27.
- ^ Indonesian Social Ministry, Daftar Nama Pahlawan.
- ^ Volkman 1985, hlm. 166.
- Daftar pustaka
- Adams, Kathleen M (2006). Art As Politics: Re-crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-3072-4.
- Bigalke, Terance William (2005). Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People. Singapore: Singapore University Press. ISBN 978-9971-69-313-8.
- "Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia". Awards of the Republic of Indonesia. Indonesian Social Ministry. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 May 2012. Diakses tanggal 25 May 2012.
- Draeger, Donn F (1992). Weapons and Fighting Arts of Indonesia. Clarendon: Tuttle. ISBN 978-0-8048-1716-5.
- Friend, Theodore (2003). Indonesian Destinies. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-01137-3.
- Tangdilintin, L T (1976). Sejarah Perjuangan Pahlawan Pong Tiku. Rantepao: Lepongan Bulan Tana Toraja. OCLC 13501891.
- Volkman, Toby Alice (1985). Feasts of Honor: Ritual and Change in the Toraja Highlands. Urbana: University of Illinois Press. ISBN 978-0-252-01183-2.