Tingkeban

tradisi daur kehidupan manusia
Revisi sejak 22 Februari 2019 17.33 oleh Margdeka (bicara | kontrib)

Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi selametan dalam masyarakat Jawa, disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh. Seperti namanya, tingkeban/mitoni dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan. Tingkeban hanya dilakukan bila anak yang dikandung adalah anak pertama bagi si ibu (kehamilan pertama kali), si ayah, atau keduanya.[1]

Upacara tingkeban bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil dimandikan dengan air kembang setaman disertai doa. Tujuannya untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.

Menurut tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal 7, 17, dan 27 sebelum bulan purnama pada penanggalan Jawa, dilaksanakan di kiri atau kanan rumah menghadap ke arah matahari terbit. Orang yang memandikan si ibu jumlahnya juga ganjil, misalnya 5,7, atau 9 orang. Setelah disiram, pada si ibu dipakaikan kain/jarik sampai tujuh kali, yang terakhir/ ketujuh yang dianggap paling pantas dikenakan. Diikuti oleh acara pemotongan tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan rujak, dan seterusnya.

Hakikat dasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan syukur dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan kenteraman, namun diungkapkan dalam bentuk lambang-lambang yang masing-masing mempunyai makna.

Referensi

  1. ^ Geertz, Clifford (2013). Agama Jawa : Abangan, Santri , Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 41. ISBN 978-602-9402-12-4.