Hindia Belanda

koloni Belanda di Asia Tenggara; sejak tahun 1949 dikenal sebagai Indonesia

Hindia Belanda atau Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Nederlands(ch)-Indië) adalah sebuah daerah jajahan Belanda yang wilayahnya saat ini dikenal dengan nama Republik Indonesia. Hindia Belanda dibentuk sebagai hasil dari nasionalisasi koloni-koloni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang berada di bawah pemerintahan Belanda pada tahun 1800.

Hindia Belanda[1]

Nederlandsch-Indië
Nederlands-Indië
Hindia-Belanda
1800–1949[a]
{{{coat_alt}}}
Lambang
Peta Hindia Belanda yang menampilkan perluasan wilayahnya dari tahun 1800 sampai tingkat tertinggi sebelum pendudukan Jepang pada tahun 1942.
Peta Hindia Belanda yang menampilkan perluasan wilayahnya dari tahun 1800 sampai tingkat tertinggi sebelum pendudukan Jepang pada tahun 1942.
StatusKoloni
Ibu kotaBatavia
Bahasa yang umum digunakanBelanda (resmi)
Melayu (lingua franca)
Jawa
Tionghoa
Arab
Bahasa asli Indonesia
Agama
Islam
Protestan
Hindu
Buddha
PemerintahanPemerintahan kolonial
Kepala negara 
-
• 1800 (pertama)
Augustijn Gerhard Besier
• 1806 (terakhir)
Carel de Vos van Steenwijk
• Monarki
-
• 1816–1840 (pertama)
Willem I
• 1948–1949 (terakhir)
Juliana
Gubernur Jenderal 
• 1800–1801 (pertama)
Pieter G. van Overstraten
• 1949 (terakhir)
A. H. J. Lovinka
Sejarah 
1603–1800
• Nasionalisasi VOC
1 Januari 1800
Februari 1942 – Agustus 1945
17 Agustus 1945
27 Desember 1949
Populasi
• 1930
60.727.233
Mata uangGulden Hindia Belanda
Didahului oleh
Digantikan oleh
VOC
kslKesultanan
Aceh
kslKesultanan
Riau-Lingga
kslKesultanan
Banjar
krjKerajaan
Bali
Melaka Portugis
Republik Indonesia Serikat
Nugini Belanda
Republik Maluku Selatan
Negeri-Negeri Selat
Sekarang bagian dari Indonesia
  1. ^ Diduduki pasukan Jepang antara tahun 1942 hingga 1945, yang diikuti oleh Revolusi Nasional Indonesia hingga tahun 1949. Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Nugini Belanda diserahkan kepada Indonesia pada tahun 1963. Tanggal resmi menurut PBB adalah 27 Desember 1949 [3]
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Ekspansi yang dilakukan Hindia Belanda di Kepulauan Indonesia.

Selama abad ke-19, daerah jajahan dan hegemoni Belanda diperluas, mencapai batas wilayah teritorial terbesar mereka pada awal abad ke-20. Hindia Belanda adalah salah satu koloni Eropa yang paling berharga di bawah kekuasaan Imperium Belanda,[4] dan berkontribusi pada keunggulan global Belanda dalam perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20.[5] Tatanan sosial kolonial didasarkan pada struktur rasial dan sosial yang kaku dengan para elit Belanda yang tinggal terpisah tetapi tetap berhubungan dengan penduduk pribumi yang dijajah mereka.[6] Istilah "Indonesia" mulai digunakan untuk lokasi geografis setelah tahun 1880. Pada awal abad 20, para intelektual lokal mulai mengembangkan konsep Indonesia sebagai negara dan bangsa, dan menetapkan panggung untuk gerakan kemerdekaan.[7]

Pendudukan Jepang pada Perang Dunia II melemahkan sebagian besar negara kolonial dan ekonomi Belanda. Setelah Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, kaum nasionalis Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan yang mereka perjuangkan selama Revolusi Nasional Indonesia yang terjadi pada bulan-bulan berikutnya. Belanda secara formal mengakui kedaulatan Indonesia pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949 dan menyerahkan seluruh wilayah bekas jajahannya, dengan pengecualian wilayah Papua (Nugini Belanda), yang diserahkan ke Indonesia 14 tahun kemudian pada tahun 1963 berdasarkan ketentuan Persetujuan New York di Markas Besar PBB.

Etimologi

Kata Hindia berasal dari bahasa bahasa Latin: Indus. Nama asli Dutch Indies (bahasa Belanda: Nederlandsch-Indië) diterjemahkan oleh orang Inggris sebagai "Hindia Timur Belanda", untuk membedakannya dengan Hindia Barat Belanda. Nama "Hindia Belanda" tercatat dalam dokumen Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada awal tahun 1620-an.[8]

Para sejarawan yang menulis dalam bahasa Inggris menggunakan istilah Indië, Hindia, Hindia Timur Belanda, Hindia Belanda, dan kolonial Indonesia secara bergantian.[9]

Sejarah

Kekuasaan VOC

 
Peta dunia yang menampilkan kekuasaan kekuatan kolonial, pendudukan Hindia Belanda dapat dilihat dengan warna jingga di wilayah Asia Tenggara.

Berabad-abad sebelum orang-orang Eropa tiba, wilayah kepulauan Indonesia dihuni berbagai entitas, termasuk kerajaan-kerajaan perdagangan pesisir yang berorientasi komersial dan kerajaan agraris pedalaman (yang paling penting adalah Sriwijaya dan Majapahit).[10] Bangsa Eropa pertama yang tiba adalah Portugis pada tahun 1512. Setelah menemui gangguan terhadap akses rempah-rempah di Eropa,[11] Belanda melakukan ekspedisi pelayaran pertama ke Hindia Timur pada tahun 1595 untuk mendapatkan rempah-rempah secara langsung dari Asia. Ketika mereka menghasilkan keuntungan hingga 400%, ekspedisi Belanda lainnya segera menyusul. Menyadari potensi perdagangan Hindia Timur, pemerintah Belanda menggabungkan para perusahaan pesaing ke Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC).[11]

VOC diberikan hak istimewa untuk berperang, membangun benteng, dan membuat perjanjian di seluruh Asia.[11] Ibu kota didirikan di Batavia (sekarang Jakarta), yang menjadi pusat jaringan perdagangan VOC di Asia.[12] Untuk monopoli asli mereka seperti pala, paprika, cengkih dan kayu manis, VOC dan kemudian pemerintah kolonial memperkenalkan tanaman asing untuk non-pribumi seperti kopi, teh, kakao, tembakau, karet, gula dan opium, dan menjaga kepentingan komersial mereka dengan mengambil alih wilayah sekitarnya.[12] Penyelundupan, biaya perang, korupsi, dan kesalahan manajemen yang terus berlanjut menyebabkan kebangkrutan pada akhir abad ke-18. VOC secara resmi dibubarkan pada tahun 1800 dan barang-barangnya di kepulauan Indonesia (termasuk sebagian besar Jawa, sebagian Sumatera, sebagian besar Maluku, dan daerah pedalaman pelabuhan seperti Makassar, Manado, dan Kupang) dinasionalisasi di bawah Republik Belanda sebagai Hindia Belanda.[13]

Penaklukan Belanda

Sejak kedatangan kapal-kapal Belanda yang pertama pada akhir abad ke-16, hingga deklarasi kemerdekaan pada tahun 1945, kontrol Belanda atas kepulauan Indonesia tergolong lemah. Meskipun Jawa didominasi oleh Belanda,[14] banyak daerah yang tetap independen dan berdiri sendiri selama periode ini, termasuk Aceh, Bali, Lombok dan Kalimantan.[15] Ada banyak perang dan gangguan di seluruh wilayah nusantara karena berbagai kelompok pribumi menolak upaya untuk membangun hegemoni Belanda, yang melemahkan kontrol Belanda dan mengikat pasukan militernya.[16] Perompakan tetap menjadi masalah hingga pertengahan abad ke-19.[15] Akhirnya pada awal abad ke-20, dominasi Belanda diperluas di seluruh area yang nantinya akan menjadi wilayah Indonesia modern.

 
Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock pada akhir Perang Diponegoro pada tahun 1830, dilukis oleh Nicolaas Pieneman

Pada tahun 1806, dengan Belanda di bawah dominasi Kekaisaran Prancis, Kaisar Napoleon I menunjuk saudaranya Louis Bonaparte untuk menduduki tahta Belanda, yang menyebabkan penobatan Marsekal Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1808.[17] Pada tahun 1811, Daendels digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens, tetapi tidak lama setelah kedatangannya, pasukan Inggris menduduki beberapa pelabuhan Hindia Belanda termasuk Jawa, dan Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur. Setelah kekalahan Napoleon pada Pertempuran Waterloo tahun 1815 dan Kongres Wina, kontrol Belanda atas wilayah ini dipulihkan pada tahun 1816.[18] Di bawah Perjanjian Inggris-Belanda 1824, Belanda mengamankan permukiman Inggris seperti Bengkulu di Sumatera, sebagai imbalan untuk menyerahkan kendali atas daerah jajahan mereka di Semenanjung Malaya (Malaya) dan India Belanda. Perbatasan antara bekas daerah jajahan milik Inggris dan Belanda pada hari ini merupakan batas modern antara Malaysia dan Indonesia.

Sejak berdirinya VOC pada abad ke-17, perluasan wilayah Belanda telah menjadi masalah bisnis. Gubernur Jenderal Graaf van den Bosch (1830–1835) menegaskan profitabilitas sebagai fondasi kebijakan resmi, membatasi perhatiannya hanya untuk Pulau Jawa, Sumatera dan Bangka.[19] Namun, sejak sekitar tahun 1840, ekspansi nasional Belanda membuat mereka mengobarkan serangkaian perang untuk memperbesar dan mengkonsolidasikan daerah jajahan mereka di pulau-pulau terluar.[20] Motivasi mereka termasuk: perlindungan daerah yang sudah dimiliki; intervensi pejabat Belanda yang ambisius untuk kehormatan atau promosi jabatan; dan untuk membangun klaim Belanda di seluruh wilayah nusantara dalam rangka mencegah intervensi dari kekuatan Barat lainnya selama era upaya kolonialisme bangsa Eropa.[19] Karena eksploitasi sumber daya Indonesia meluas di luar Jawa, sebagian besar pulau terluar berada di bawah kendali atau pengaruh langsung pemerintah Belanda.

 
Batalyon ke–7 Belanda bergerak maju di Bali pada tahun 1846

Belanda menaklukkan wilayah Minangkabau di Sumatera dalam Perang Padri (1821–1938),[21] dan Perang Jawa (1825–1930) juga mengakhiri perlawanan masyarakat Jawa yang signifikan.[22] Perang Banjarmasin (1859–1863) di tenggara pulau Kalimantan berakhir dengan kekalahan Sultan.[23] Setelah ekspedisi yang gagal untuk menaklukkan Bali pada tahun 1846 dan 1848, peperangan tahun 1849 membawa wilayah Bali bagian utara berada di bawah kendali Belanda. Ekspedisi militer yang paling berkepanjangan adalah Perang Aceh, di mana invasi Belanda pada tahun 1873 dihadapi dengan perlawanan gerilya kaum pribumi dan berakhir dengan menyerahnya Aceh pada tahun 1912.[22] Gangguan terus terjadi di Pulau Jawa dan Sumatra selama sisa abad ke-19.[15] Namun, Pulau Lombok berada di bawah kendali Belanda pada tahun 1894,[24] dan perlawanan suku Batak di Sumatera Utara ditaklukan pada tahun 1895.[22] Menjelang akhir abad ke-19, keseimbangan kekuatan militer bergeser ke arah negara Belanda dengan industri yang sedang berkembang melawan negara pribumi Indonesia dengan pra-industrinya, dan kesenjangan teknologi semakin melebar.[19] Para pemimpin militer dan politikus Belanda percaya bahwa mereka memiliki kewajiban moral untuk membebaskan penduduk asli Indonesia dari para penguasa pribumi yang dianggap menindas, terbelakang, atau tidak menghormati hukum internasional.[25]

Meskipun pemberontakan di Indonesia pecah, kekuasaan pemerintah kolonial diperluas ke seluruh wilayah nusantara dari tahun 1901 hingga 1910 dan kontrol atas wilayah tersebut juga diambil dari para penguasa lokal yang tersisa.[26] Sulawesi barat daya dan tengah diduduki pada tahun 1905 hingga 1906, Pulau Bali ditaklukkan dengan kampanye militer pada tahun 1906 dan 1908, begitu pula kerajaan-kerajaan lain yang tersisa di Maluku, Sumatera, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.[22][27] Para penguasa lain termasuk Sultan Tidore di Maluku, Pontianak (Kalimantan), dan Palembang di Sumatera, meminta perlindungan Belanda dari kerajaan-kerajaan tetangga sehingga membuat mereka menghindari penaklukan militer oleh Belanda dan mampu menegosiasikan kondisi yang lebih baik di bawah pemerintahan kolonial.[27] Semenanjung Kepala Burung (Nugini Barat), sudah berada di bawah pemerintahan Belanda pada tahun 1920. Wilayah terakhir ini di kemudian hari akan menjadi wilayah Republik Indonesia.

Perang Dunia II dan kemerdekaan

 
Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan B. C. de Jonge, Gubernur Jenderal terakhir dan kedua terakhir di Hindia Belanda sebelum invasi Jepang

Belanda menyerahkan wilayah mereka di Eropa ke Jerman pada tanggal 14 Mei 1940. Keluarga kerajaan melarikan diri dalam pengasingan di Inggris. Jerman dan Jepang adalah sekutu Poros. Pada tanggal 27 September 1940, Jerman, Hongaria, Italia, dan Jepang menandatangani sebuah perjanjian yang mencakup "lingkup pengaruh". Hindia Belanda sendiri dimasukkan ke wilayah lingkup pengaruh Jepang.

Belanda, Inggris dan Amerika Serikat mencoba mempertahankan koloni ini dari pasukan Jepang ketika mereka bergerak ke selatan pada akhir 1941 untuk mencari minyak yang dikuasai Belanda.[28][29] Pada tanggal 10 Januari 1942, selama Kampanye Hindia Belanda, pasukan Jepang menyerbu Hindia Belanda sebagai bagian dari Perang Pasifik.[30] Perkebunan karet dan ladang minyak Hindia Belanda dianggap penting untuk kepentingan perang Jepang. Pasukan sekutu dengan cepat ditundukkan oleh Jepang dan pada tanggal 8 Maret 1942, Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) menyerah di Jawa.[31][32]

Dipicu oleh propaganda perang Jepang Cahaya Asia[33] dan Kebangkitan Nasional Indonesia, sebagian besar penduduk pribumi Hindia Belanda pertama-tama menyambut Jepang sebagai pahlawan pembebasan mereka dari pemerintah kolonial Belanda, tetapi sentimen ini dengan cepat berubah karena pendudukan Jepang ternyata jauh lebih opresif dan menghancurkan daripada pemerintah kolonial Belanda.[34][35] Pendudukan Jepang selama Perang Dunia II mengakibatkan jatuhnya negara kolonial di Indonesia,[36] karena Jepang menyingkirkan sebanyak mungkin struktur pemerintah Belanda, dan menggantinya dengan rezim mereka sendiri.[37] Meskipun posisi teratas di pemerintahan dipegang oleh Jepang, pengasingan semua warga Belanda menandakan bahwa banyak posisi kepemimpinan dan administrasi yang diduduki oleh orang Indonesia. Berbeda dengan penindasan Belanda terhadap nasionalisme Indonesia, Jepang mengizinkan para pemimpin pribumi untuk menjalin hubungan di antara massa, dan mereka melatih dan mempersenjatai generasi yang lebih muda.[38]

Menurut laporan PBB, empat juta orang meninggal di Indonesia sebagai akibat dari pendudukan Jepang.[39] Setelah Jepang menyerah pada bulan Agustus 1945, pemimpin nasionalis Soekarno dan Mohammad Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Perang empat setengah tahun menyusul peristiwa ini ketika Belanda mencoba membangun kembali koloni mereka; Meskipun pasukan Belanda menduduki kembali sebagian besar wilayah Indonesia, perang gerilya terjadi, dan mayoritas orang Indonesia—serta opini internasional, lebih menyukai kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Desember 1949, Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia dengan pengecualian wilayah Nugini Belanda (Nugini Barat). Pemerintahan Soekarno mengklaim kendali Indonesia atas wilayah itu, dan dengan tekanan dari Amerika Serikat, Belanda menyetujui Perjanjian New York yang hasilnya meminta Belanda untuk menyerahkan wilayah tersebut kepada pemerintahan Indonesia pada bulan Mei 1963.

Sejarah sosial

 
Para anggota Volksraad pada tahun 1918: D. Birnie (Belanda), Kan Hok Hoei (Tionghoa), R. Sastro Widjono dan M.N. Dwidjo Sewojo (Jawa).
 
Jamuan 'Selamatan' di Buitenzorg, sebuah jamuan umum di kalangan umat Muslim Jawa.

Pada tahun 1898, jumlah penduduk di Jawa telah mencapai angka 28 juta, sedangkan 7 juta jiwa lainnya menduduki pulau-pulau terluar Indonesia.[40] Pada paruh pertama abad ke-20, imigrasi besar-besaran mulai dilakukan oleh orang Belanda dan Eropa lainnya menuju koloni, tempat mereka bekerja di sektor pemerintah atau swasta. Pada tahun 1930, ada lebih dari 240.000 orang dengan status hukum Eropa di koloni tersebut, sekitar 0.5% dari jumlah total populasi.[41] Sekitar 75% dari orang-orang Eropa ini pada faktanya orang asli Eurasia yang dikenal dengan sebutan Indo-Eropa.[42]

Sensus 1930 di Hindia Belanda[43]
Peringkat Kelompok Angka Persentase
1 Orang asli (Pribumi) 59,138,067 97.4%
2 Tionghoa 1,233,214 2.0%
3 Orang Belanda dan Eurasia 240,417 0.4%
4 Orang asing Timur lainnya (termasuk Arab dan India) 115,535 0.2%
Total 60,727,233 100%

Pihak penjajah Belanda membentuk kelas sosial atas istimewa yang terdiri dari prajurit, pegawai pemerintah, manajer, guru dan para pelopor. Mereka hidup bersama dengan para "pribumi", namun berada di puncak sistem kasta sosial dan rasial yang kaku.[44][45] Hindia Belanda memiliki dua kelas hukum untuk seorang warga negara; Eropa dan pribumi. Kelas ketiga, orang Timur asing, ditambahkan pada tahun 1920.[46]

Pada tahun 1901, Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut sebagai Politik Etis, di mana pemerintah kolonial memiliki tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Langkah-langkah baru lainnya di bawah kebijakan tersebut mencakup program irigasi, transmigrasi, komunikasi, mitigasi banjir, industrialisasi, dan perlindungan industri pribumi.[15] Industrialisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap mayoritas penduduk Indonesia, dan Indonesia tetap saja merupakan koloni yang bergantung pada pertanian. Pada tahun 1930, ada 17 kota dengan populasi lebih dari 50.000 dan populasi gabungan mereka berjumlah 1.87 juta dari total 60 juta.[26]

Pemerintah

Pendidikan

Sistem sekolah Belanda diperluas dan mengizinkan kaum muda Indonesia menempuh pendidikan, dan sekolah-sekolah paling bergengsi menerima anak-anak Belanda dan anak-anak Indonesia dari kelas atas. Tingkat kedua dari sekolah didasarkan pada etnis dengan sekolah terpisah untuk orang Indonesia, Arab, dan Tionghoa yang diajarkan di Belanda dengan menggunakan kurikulum Belanda. Orang Indonesia biasa dididik dengan bahasa Melayu dalam alfabet Romawi, dan sekolah "penghubung" yang mempersiapkan siswa-siswa Indonesia yang cerdas untuk masuk ke sekolah-sekolah berbahasa Belanda.[47] Sekolah-sekolah kejuruan dan program-program didirikan oleh pemerintah kolonial dalam rangka melatih penduduk pribumi Indonesia untuk peran khusus dalam ekonomi kolonial. Orang Tionghoa dan Arab, yang secara resmi disebut "timur asing", tidak bisa mendaftar di sekolah kejuruan atau sekolah dasar.[48]

Hukum dan administrasi

 
Istana Gubernur Jenderal di Batavia (1880-1900), sekarang menjadi Istana Merdeka

Sejak jaman VOC, otoritas tertinggi Belanda di Hindia Belanda berada di "Kantor Gubernur Jenderal". Selama era Hindia Belanda, Gubernur Jenderal berperan sebagai presiden eksekutif utama dari pemerintah kolonial dan menjabat sebagai panglima tertinggi tentara kolonial (KNIL). Hingga tahun 1903, semua pejabat dan organisasi pemerintah adalah agen resmi Gubernur Jenderal dan sepenuhnya bergantung pada administrasi pusat dari "Kantor Gubernur Jenderal" untuk anggaran mereka.[49] Hingga tahun 1815, Gubernur Jenderal memiliki hak mutlak untuk melarang, menyensor atau membatasi publikasi apa pun di wilayah koloni. Kekuasaan Gubernur Jenderal yang terlalu besar memungkinkannya untuk mengasingkan siapa pun yang dianggap sebagai pihak subversif dan berbahaya bagi perdamaian dan ketertiban, tanpa melibatkan Pengadilan Hukum.[50]

Pembagian administratif

Hindia Belanda dibagi menjadi tiga Gubernemen, yaitu Groote Oost, Gubernemen Borneo dan Gubernemen Sumatera, dan tiga Provinsi yang secara khusus hanya ada di Jawa. Provinsi dan Gubernemen dibagi lagi menjadi Karesidenan—untuk Karesidenan di bawah Provinsi langsung dibagi menjadi Regentschappen, sedangkan Karesidenan di bawah Gubernemen dibagi menjadi Afdeling terlebih dahulu sebelum dibagi menjadi Regentschappen.[51] Pada tahun 1942, pembagian administratif Hindia Belanda terdiri dari:

Angkatan bersenjata

 
Prajurit KNIL asli Indonesia, 1927.

Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dan Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda (ML-KNIL) didirikan pada tahun 1830 dan 1915 secara berturut-turut. Pasukan Angkatan Laut dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda bermarkas di Surabaya, tetapi tidak pernah menjadi bagian dari KNIL. KNIL adalah cabang terpisah dari Tentara Kerajaan Belanda, dipimpin oleh Gubernur Jenderal dan didanai oleh anggaran kolonial. KNIL tidak diizinkan merekrut orang Belanda yang sedang wajib militer dan memiliki sifat "Legiun Asing" dan memiliki kebiasaan merekrut bukan hanya orang Belanda, tetapi juga dari banyak negara Eropa lainnya (terutama tentara bayaran Jerman, Belgia, dan Swiss).[52] Sementara sebagian besar perwira adalah orang Eropa, mayoritas prajurit adalah orang Indonesia asli, dan kontingen terbesar adalah orang Jawa dan Sunda.[53]

Sebelum tahun 1870-an, kebijakan Belanda adalah mengambil tanggung jawab penuh atas titik-titik strategis dan menyusun perjanjian dengan para pemimpin lokal di tempat lain sehingga pihak pemerintah akan tetap memegang kendali dan bekerja sama dengan penguasa lokal. Kebijakan ini gagal di Aceh, di mana sultan membiarkan para bajak laut yang menyerbu perdagangan di Selat Melaka. Britania Raya sebagai pelindung Aceh, memberi Belanda izin untuk membasmi para perompak tersebut. Kampanye militer ini dengan cepat mengusir Sultan, tetapi banyak pemimpin Muslim lokal memobilisasi dan memerangi Belanda di seluruh wilayah Aceh selama empat dekade dalam perang gerilya yang sangat menguras biaya, dengan tingkat korban yang tinggi di kedua belah pihak.[54] Otoritas militer kolonial berusaha mencegah perang terhadap penduduk dengan menggunakan 'strategi kekaguman'. Ketika perang gerilya terjadi, Belanda menggunakan skema pendudukan yang lemah dan kejam atau kampanye penghancuran.[55]

 
Perang Aceh (1873–1914) antara Belanda dengan Kesultanan Aceh

Pada tahun 1900, kepulauan nusantara dianggap telah "distabilkan" dan KNIL pada umumnya terlibat dengan tugas-tugas polisi militer. Hakikat KNIL berubah pada tahun 1917 ketika pemerintah kolonial memperkenalkan wajib militer untuk semua laki-laki Eropa yang memenuhi syarat dan pada tahun 1922,[56] pengesahan hukum tambahan memperkenalkan penciptaan "Garda nasional" (bahasa Belanda: Landstorm) untuk laki-laki Eropa yang usianya melebihi 32 tahun.[57] Petisi oleh kaum nasionalis Indonesia untuk mendirikan dinas militer yang terdiri dari masyarakat pribumi ditolak. Pada bulan Juli 1941, Volksraad mengesahkan undang-undang yang menciptakan milisi pribumi yang terdiri dari 18.000 orang setelah memenangkan suara mayoritas 43 berbanding 4, dan hanya Partai Indonesia Raya yang moderat yang keberatan. Setelah deklarasi perang dengan Jepang, lebih dari 100.000 penduduk pribumi secara sukarela bergabung.[58] KNIL dengan tergesa-gesa tidak mampu untuk bertransformasi menjadi kekuatan militer modern yang mampu melindungi Hindia Belanda dari invasi Kekaisaran Jepang. Pada malam invasi Jepang pada bulan Desember 1941, pasukan reguler Belanda di Hindia Belanda terdiri atas sekitar 1.000 perwira dan 34.000 prajurit, dan 28.000 orang di antaranya adalah pribumi. Selama kampanye Hindia Belanda pada tahun 1941 hingga 1942, KNIL dan pasukan Sekutu dengan cepat dikalahkan.[59] Semua prajurit Eropa, yang pada dasarnya mencakup semua pria Indo-Eropa yang berbadan sehat, ditawan oleh Jepang sebagai tahanan perang. Sekitar 25% dari para tahanan perang tersebut tidak mampu bertahan dan gugur dalam masa penawanan mereka.

Setelah Perang Dunia II, KNIL yang dibentuk kembali bergabung dengan pasukan Tentara Belanda untuk mengembalikan "hukum dan ketertiban" kolonial. Meskipun ada dua kampanye militer yang berhasil pada tahun 1947 dan 1948, upaya Belanda untuk membangun kembali koloni mereka gagal dan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada bulan Desember 1949.[60] KNIL dibubarkan pada tanggal 26 Juli 1950, dan prajurit pribumi diberikan pilihan untuk didemobilisasi atau bergabung dengan militer Indonesia.[61] Pada saat pembubaran, KNIL berjumlah 65.000 orang, dan 26.000 orang di antaranya dimasukkan ke dalam Angkatan Darat Indonesia yang baru dibentuk. Sisanya didemobilisasi atau dipindahkan ke Angkatan Darat Belanda.[62] Perwira kunci di Tentara Nasional Indonesia yang merupakan mantan tentara KNIL meliputi: Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto, Panglima ABRI Abdul Haris Nasution, dan Alexander Evert Kawilarang—pendiri pasukan khusus elit, Kopassus.

Olahraga

Perkembangan olahraga Hindia Belanda yang paling dominan adalah di bidang sepak bola, pada awal 1900-an berdiri klub-klub seperti Persija Jakarta dan Persib Bandung.

Momen yang paling fenomenal adalah ketika Tim nasional sepak bola Hindia Belanda menjadi kontestan di Piala Dunia 1938 di Prancis. Mereka merupakan kontestan pertama dari Asia. Sayangnya, mereka tersingkir di babak pertama setelah dikalahkan oleh Tim nasional sepak bola Hongaria 0-6 di Stadion Velodrome Municipale, Reims, Prancis

Warisan kolonial di Belanda

 
Citra kekaisaran Belanda yang mewakili Hindia Belanda (1916). Teks itu berbunyi "Permata kita yang paling berharga".

Ketika Keluarga Kerajaan Belanda berdiri pada tahun 1815, sebagian besar kekayaannya berasal dari perdagangan kolonial.[63]

Universitas dan perguruan tinggi seperti Universitas Leiden yang didirikan pada abad ke-16 telah berkembang menjadi pusat pengetahuan terkemuka tentang studi Asia Tenggara dan Indonesia.[64] Universitas Leiden telah menghasilkan akademisi seperti penasehat kolonial Christiaan Snouck Hurgronje yang mengkhususkan diri dalam urusan pribumi asli (Indonesia), dan masih memiliki akademisi yang berspesialisasi dalam bahasa dan budaya Indonesia. Universitas Leiden dan khususnya KITLV adalah lembaga pendidikan dan ilmiah yang hingga hari ini berbagi minat intelektual dan historis dalam studi Indonesia. Lembaga ilmiah lainnya di Belanda termasuk Tropenmuseum Amsterdam, sebuah museum antropologi dengan koleksi seni, budaya, etnografi dan antropologi Indonesia yang besar.[65]

Tradisi KNIL dijaga oleh Resimen Van Heutsz dari Angkatan Darat Kerajaan Belanda yang modern dan Museum Bronbeek yang berdedikasi, bekas rumah bagi tentara KNIL yang sudah pensiun, ada di Arnhem hingga hari ini.

Sebuah film berita Belanda tertanggal tahun 1927 menunjukkan pameran Hindia Belanda di Belanda yang menampilkan orang Indo dan Pribumi dari Hindia Belanda yang menampilkan tarian dan musik tradisional dalam pakaian tradisional.[66]

Banyak keluarga kolonial yang masih hidup dan keturunan mereka yang pindah kembali ke Belanda setelah kemerdekaan cenderung untuk mengenang kembali era kolonial dengan perasaan kekuatan dan prestise yang mereka miliki di koloni, dengan barang-barang seperti buku tahun 1970 Tempo Doeloe oleh penulis Rob Nieuwenhuys, serta buku-buku dan materi lain yang menjadi sangat umum ditemui pada 1970-an dan 1980-an.[67] Selain itu, sejak abad ke-18 dunia sastra Belanda memiliki sejumlah besar penulis mapan, seperti Louis Couperus, penulis "The Hidden Force", mengambil era kolonial sebagai sumber inspirasi penting.[68] Bahkan salah satu karya agung sastra Belanda adalah buku "Max Havelaar" yang ditulis oleh Multatuli pada tahun 1860.[69]

Mayoritas orang Belanda yang dipulangkan ke Belanda setelah dan selama revolusi Indonesia adalah orang Indo (Eurasia) asli dari pulau-pulau di Hindia Belanda. Populasi Eurasia yang relatif besar ini telah berkembang selama 400 tahun dan diklasifikasikan oleh hukum kolonial sebagai komunitas hukum Eropa.[70] Di Belanda mereka disebut sebagai orang Indo (kependekan dari Indo-Eropa). Dari 296.200 orang yang dikategorikan sebagai 'repatriat Belanda', hanya 92.200 orang Belanda yang lahir di Belanda.[71]

Orang Indo saat ini—termasuk keturunan generasi ke-2 mereka, merupakan kelompok kelahiran asing terbesar di Belanda. Pada tahun 2008, Biro Sensus Belanda untuk Statistik (CBS)[72] mendaftarkan 387.000 orang Indo generasi pertama dan kedua yang tinggal di Belanda.[73] Meskipun sepenuhnya dianggap berasimilasi ke dalam masyarakat Belanda, sebagai etnis minoritas utama di Belanda, para 'Repatriat' ini telah memainkan peran penting dalam memperkenalkan unsur-unsur budaya Indonesia ke dalam budaya umum di Belanda. Hampir setiap kota di Belanda akan memiliki 'Toko' (Toko Indonesia Belanda) atau restoran Indonesia[74] dan banyak pameran 'Pasar Malam' (Pasar Malam di Melayu/Indonesia) diselenggarakan sepanjang tahun.

Banyak masakan dan makanan Indonesia sudah menjadi hal yang biasa dalam masakan Belanda. Rijsttafel, sebuah konsep kuliner kolonial, dan hidangan seperti Nasi goreng dan sate masih sangat populer di Belanda.[75]

Lihat pula

Referensi

Rujukan

  1. ^ [1]
  2. ^ Friend (1942), Vickers (2003), Ricklefs (1991), Reid (1974), Taylor (2003).
  3. ^ https://www.un.org/en/decolonization/nonselfgov.shtml
  4. ^ Empires and Colonies. 
  5. ^ Booth, Anne, et al. Indonesian Economic History in the Dutch Colonial Era (1990), Ch 8
  6. ^ R.B. Cribb and A. Kahin, hlm. 118
  7. ^ Robert Elson, The idea of Indonesia: A history (2008) hlmn 1-12
  8. ^ Dagh-register gehouden int Casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Nederlandts-India anno 1624–1629."bahasa Inggris: "The official register at Castle Batavia, of the census of the Dutch East Indies. VOC. 1624. 
  9. ^ Gouda, Frances. Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherlands Indies, 1900-1942 (1996) online
  10. ^ Taylor (2003)
  11. ^ a b c Ricklefs (1991), hlm. 27
  12. ^ a b Vickers (2005), hlm. 10
  13. ^ Ricklefs (1991), hlm. 110; Vickers (2005), hlm. 10
  14. ^ Luc Nagtegaal, Riding the Dutch Tiger: The Dutch East Indies Company and the Northeast Coast of Java, 1680–1743 (1996)
  15. ^ a b c d *Witton, Patrick (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. hlm. 23–25. ISBN 1-74059-154-2. 
  16. ^ Schwarz, A. (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Westview Press. hlm. 3–4. ISBN 1-86373-635-2. 
  17. ^ Kumar, Ann (1997). Java. Hong Kong: Periplus Editions. hlm. 44. ISBN 962-593-244-5. 
  18. ^ Ricklefs (1991), hlmn. 111–114
  19. ^ a b c Ricklefs (1991), hlm. 131
  20. ^ Vickers (2005), hlm. 10; Ricklefs (1991), hlm. 131
  21. ^ Ricklefs (1991), hlm. 142
  22. ^ a b c d Friend (2003), hlm. 21
  23. ^ Ricklefs (1991), hlmn. 138-139
  24. ^ Vickers (2005), hlm. 13
  25. ^ Vickers (2005), hlm. 14
  26. ^ a b Reid (1974), hlm. 1.
  27. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Vickers 2005, p. 14
  28. ^ Jack Ford, "The Forlorn Ally—The Netherlands East Indies in 1942," War & Society (1993) 11#1 hlmn: 105-127.
  29. ^ Herman Theodore Bussemaker, "Paradise in Peril: The Netherlands, Great Britain and the Defence of the Netherlands East Indies, 1940–41," Journal of Southeast Asian Studies (2000) 31#1 hlmn: 115-136.
  30. ^ Morison (1948), hlm. 191
  31. ^ Ricklefs (1991), hlm. 195
  32. ^ L., Klemen, 1999–2000, The Netherlands East Indies 1941–42, "Forgotten Campaign: The Dutch East Indies Campaign 1941–1942 Diarsipkan 26 July 2011 di Wayback Machine.".
  33. ^ Shigeru Satō: War, nationalism, and peasants: Java under the Japanese occupation, 1942–1945 (1997), hlm. 43
  34. ^ Pendudukan Jepang di Indonesia
  35. ^ Encyclopædia Britannica Online (2007). "Indonesia :: Japanese occupation". Diakses tanggal 21 Januari 2007. Though initially welcomed as liberators, the Japanese gradually established themselves as harsh overlords. Their policies fluctuated according to the exigencies of the war, but in general their primary object was to make the Indies serve Japanese war needs. 
  36. ^ Gert Oostindie and Bert Paasman (1998). "Dutch Attitudes towards Colonial Empires, Indigenous Cultures, and Slaves". Eighteenth-Century Studies. 31 (3): 349–355. doi:10.1353/ecs.1998.0021. ; Ricklefs, M.C. (1993). History of Modern Indonesia Since c.1300, second edition. London: MacMillan. ISBN 0-333-57689-6. 
  37. ^ Vickers (2005), hlm. 85
  38. ^ Ricklefs (1991), hlm. 199
  39. ^ Cited in: Dower, John W. War Without Mercy: Race and Power in the Pacific War (1986; Pantheon; ISBN 0-394-75172-8)
  40. ^ Furnivall, J.S. (1967) [1939]. Netherlands India: a Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 9. ISBN 0-521-54262-6.  Cited in Vicker, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press. hlm. 9. ISBN 0-521-54262-6. 
  41. ^ Beck, Sanderson, (2008) South Asia, 1800-1950 - World Peace Communications ISBN 0-9792532-3-3, ISBN 978-0-9792532-3-2 - By 1930 more European women had arrived in the colony, and they made up 113,000 out of the 240,000 Europeans.
  42. ^ Van Nimwegen, Nico De demografische geschiedenis van Indische Nederlanders, Laporan no. 64 (Publisher: NIDI, Den Haag, 2002) hlmn. 36 ISBN 9789070990923
  43. ^ Van Nimwegen, Nico (2002). "64". De demografische geschiedenis van Indische Nederlanders [The demography of the Dutch in the East Indies] (PDF). The Hague: NIDI. hlm. 35. ISBN 9789070990923. 
  44. ^ Vickers (2005), hlm. 9
  45. ^ Reid (1974), hlm. 170, 171
  46. ^ Cornelis, Willem, Jan (2008). De Privaatrechterlijke Toestand: Der Vreemde Oosterlingen Op Java En Madoera ( Don't know how to translate this, the secret? private? hinterland. Java nd Madoera) (PDF). Bibiliobazaar. ISBN 978-0-559-23498-9. 
  47. ^ Taylor (2003), p. 286
  48. ^ Taylor (2003), hlm. 287
  49. ^ R.B. Cribb and A. Kahin, p. 108
  50. ^ R.B. Cribb and A. Kahin, p. 140
  51. ^ http://www.indonesianhistory.info/pages/chapter-4.html, sourced from Cribb, R. B (2010), Digital atlas of indonesian history, Nias, ISBN 978-87-91114-66-3  from the earlier volume Cribb, R. B; Nordic Institute of Asian Studies (2000), Historical atlas of Indonesia, Curzon ; Singapore : New Asian Library, ISBN 978-0-7007-0985-4 
  52. ^ Blakely, Allison (2001). Blacks in the Dutch World: The Evolution of Racial Imagery in a Modern Society. Indiana University Press. hlm. 15 ISBN 0-253-31191-8
  53. ^ Cribb, R.B. (2004) 'Historical dictionary of Indonesia'. Scarecrow Press, Lanham, USA.ISBN 0 8108 4935 6, hlm. 221 [2]; [Catatan: Statistik KNIL pada tahun 1939 menunjukkan setidaknya 13,500 orang Jawa dan Sunda yang bergabung dengan mereka, dibandingkan dengan 4,000 prajurit dari Ambon]. Sumber: Netherlands Ministry of Defense.
  54. ^ Nicholas Tarling, ed. (1992). The Cambridge History of Southeast Asia: Volume 2, the Nineteenth and Twentieth Centuries. Cambridge Universiy Press. hlm. 104. ISBN 9780521355063. 
  55. ^ Groen, Petra (2012). "Colonial warfare and military ethics in the Netherlands East Indies, 1816–1941". Journal of Genocide Research. 14 (3): 277–296. doi:10.1080/14623528.2012.719365. 
  56. ^ Willems, Wim ‘Sporen van een Indisch verleden (1600-1942).’ (COMT, Leiden, 1994). Chapter I, P.32-33 ISBN 90-71042-44-8
  57. ^ Willems, Wim ‘Sporen van een Indisch verleden (1600-1942).’ (COMT, Leiden, 1994). Chapter I, P.32-36 ISBN 90-71042-44-8
  58. ^ John Sydenham Furnivall, Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India (Cambridge: Cambridge University Press, 1948), hlm. 236.
  59. ^ Klemen, L (1999–2000). "Dutch East Indies 1941-1942". Dutch East Indies Campaign website. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 Juli 2011. 
  60. ^ "Last Post – the End of Empire in the Far East", John Keay ISBN 0-7195-5589-2
  61. ^ plechtigheden in Djakarta bij de opheffing van het KNIL Polygoon 1950 3 min. 20;embed=1 Video footage showing the official ceremony disbanding the KNIL
  62. ^ John Keegan, "World Armies", hlm. 314, ISBN 0-333-17236-1
  63. ^ Sampai hari ini keluarga Kerajaan Belanda sebenarnya adalah keluarga terkaya di Belanda, dan salah satu fondasi kekayaannya adalah perdagangan kolonial."In Pictures: The World's Richest Royals". Forbes.com. 30 Agustus 2007. Diakses tanggal 5 Maret 2010. 
  64. ^ Beberapa fakultas universitas masih termasuk: Bahasa dan Budaya Indonesia; Bahasa dan Budaya Asia Tenggara dan Oseania; Antropologi budaya
  65. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama tudelft.nl
  66. ^ Catatan: Pesta kebun tahun 1927, di tanah pedesaan Arendsdorp di Wassenaarse weg dekat Den Haag, untuk kepentingan para korban bencana badai 2 Juni 1927 di Belanda. Pasar ini dibuka oleh Menteri Koloni, dr. J.C. Koningsberger.
  67. ^ Nieuwenhuys, Robert, (1973) Tempo doeloe : fotografische documenten uit het oude Indie, 1870–1914 [door] E. Breton de Nijs (pseud. of Robert Nieuwenhuys) Amsterdam : Querido, ISBN 90-214-1103-2 – noting that the era wasn't fixed by any dates – noting the use of Tio, Tek Hong,(2006) Keadaan Jakarta tempo doeloe : sebuah kenangan 1882–1959 Depok : Masup Jakarta ISBN 979-25-7291-0
  68. ^ Nieuwenhuys (1999)
  69. ^ Etty, Elsbeth literary editor for the NRC handelsblad "Novels: Coming to terms with Calvinism, colonies and the war." (NRC Handelsblad. Juli 1998) [3]
  70. ^ Bosma U., Raben R. Being "Dutch" in the Indies: a history of creolisation and empire, 1500–1920 (University of Michigan, NUS Press, 2008), ISBN 9971-69-373-9 [4]
  71. ^ Willems, Wim, ’De uittocht uit Indie 1945–1995’ (Publisher: Bert Bakker, Amsterdam, 2001) pp.12–13 ISBN 90-351-2361-1
  72. ^ Official CBS website containing all Dutch demographic statistics.
  73. ^ De Vries, Marlene. Indisch is een gevoel, de tweede en derde generatie Indische Nederlanders. (Amsterdam University Press, 2009) ISBN 978-90-8964-125-0 "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 August 2009. Diakses tanggal 4 February 2016.  [5] hlm. 369
  74. ^ Startpagina B.V. "Indisch-eten Startpagina, verzameling van interessante links". 
  75. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama dutchfood.about.com

Sumber

  • Biran, Misbach Yusa (2009). Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa [History of Film 1900–1950: Making Films in Java] (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Komunitas Bamboo working with the Jakarta Art Council. ISBN 978-979-3731-58-2. 
  • Cribb, R.B., Kahin, A. Historical dictionary of Indonesia (Scarecrow Press, 2004)
  • Dick, Howard, et al. The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-2000 (U. of Hawaii Press, 2002) online edition
  • Friend, T. (2003). Indonesian Destinies. Harvard University Press. ISBN 0-674-01137-6. 
  • Heider, Karl G (1991). Indonesian Cinema: National Culture on Screen. Honolulu: University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-1367-3. 
  • Reid, Anthony (1974). The Indonesian National Revolution 1945–1950. Melbourne: Longman Pty Ltd. ISBN 0-582-71046-4. 
  • Nieuwenhuys, Rob Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature - translated from Dutch by E. M. Beekman (Publisher: Periplus, 1999) Google Books
  • Prayogo, Wisnu Agung (2009). "Sekilas Perkembangan Perfilman di Indonesia" (dalam bahasa Indonesian). Kebijakan Pemerintahan Orde Baru Terhadap Perfilman Indonesia Tahun 1966–1980 (Tesis Bachelour's of History Thesis). University of Indonesia. 
  • Ricklefs, M.C. (1991). A Modern History of Indonesia, 2nd edition. MacMillan. chapters 10–15. ISBN 0-333-57690-X. 
  • Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5. 
  • Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press. ISBN 0-521-54262-6. 

Bacaan lebih lanjut

  • Booth, Anne, et al. Indonesian Economic History in the Dutch Colonial Era (1990)
  • Bosma U., Raben R. Being "Dutch" in the Indies: a history of creolisation and empire, 1500–1920 (University of Michigan, NUS Press, 2008), ISBN 9971-69-373-9 [6]
  • Bosma, Ulbe. Emigration: Colonial circuits between Europe and Asia in the 19th and early 20th century, European History Online, Mainz: Institute of European History, 2011, retrieved: 23 May 2011.
  • Colombijn, Freek, and Thomas Lindblad, eds. Roots of violence in Indonesia: Contemporary violence in historical perspective (Leiden: KITLV Press, 2002)
  • Dick, Howard, et al. The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia, 1800-2000 (U. of Hawaii Press, 2002) online edition
  • Elson, Robert. The idea of Indonesia: A history (Cambridge University Press, 2008)
  • Braudel, Fernand, The perspective of the World, vol III in Civilization and Capitalism, 1984
  • Furnivall, J. S. (1944). Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge U.P. hlm. viii. ISBN 9781108011273. , comprehensive coverage
  • Gouda, Frances. Dutch Culture Overseas: Colonial Practice in the Netherlands Indies, 1900-1942 (1996) online
  • Nagtegaal, Luc. Riding the Dutch Tiger: The Dutch East Indies Company and the Northeast Coast of Java, 1680–1743 (1996) 250pp
  • Robins, Nick. The Corporation that Changed the World: How the East India Company Shaped the Modern Multinational (2006) excerpt and text search
  • Taylor, Jean Gelman. The Social World of Batavia: Europeans and Eurasians in Colonial Indonesia (1983)
  • Lindblad, J. Thomas (1989). "The Petroleum Industry in Indonesia before the Second World War". Bulletin of Indonesian Economic Studies. 25 (2): 53–77. 
  • Panikkar, K. M. (1953). Asia and Western dominance, 1498-1945, by K.M. Panikkar. London: G. Allen and Unwin.

Pranala luar

2°00′S 118°00′E / 2.0°S 118.0°E / -2.0; 118.0