Kesultanan Bone
Kesultanan / Kerajaan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di masanya, kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.
Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu yang berkedudukan di Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi perang antara Arumpone La Tenrisukki dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian Damai Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer diera itu kemudian ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone La Tenrirawe BongkangngE yaitu dengan membangun koalisi dengan tetangganya yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu dikenal dengan Perjanjian TellumpoccoE.
Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La Tenrirua telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan meninggal disana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan.
Bone berada pada puncak kejayaannya setelah Perang Makassar, 1667-1669. Bone menjadi kerajaan paling dominan dijazirah selatan Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan La Tenritatta Arung Palakka Sultan Saadudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi oleh kemenakannya yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja. La Patau Matanna Tikka kemudian menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.
Daftar Arumpone Bone
- Manurunge Ri Matajang, Mata Silompoe, 1330-1365, Pria
- La Ummasa, Petta Panre Bessie, 1365-1368, Pria
- La Saliyu Korampelua, 1368-1470, Pria
- We Banrigau, Mallajange Ri Cina, 1470-1510, Wanita
- La Tenrisukki, Mappajunge, 1510-1535, Pria
- La Uliyo Bote-E, Matinroe Ri Itterung, 1535-1560, Pria
- La Tenrirawe Bongkange, Matinroe Ri Gucinna, 1560-1564, Pria
- La Inca, Matinroe Ri Addenenna, 1564-1565, Pria
- La Pattawe, Matinroe Ri Bettung, 1565-1602, Pria
- We Tenrituppu, Matinroe Ri Sidenreng, 1602-1611, Wanita
- La Tenriruwa, Sultan Adam, Matinroe Ri Bantaeng, 1611-1616, Pria
- La Tenripale, Matinroe Ri Tallo, 1616-1631, Pria
- La Maddaremmeng, Matinroe Ri Bukaka, 1631-1644, Pria
- La Tenriaji, Arungpone, Matinroe Ri Pangkep, 1644-1672, Pria
- La Tenritatta, Daeng Serang, Malampe-E Gemme’na, Arung Palakka, 1672-1696, Pria
- La Patau Matanna Tikka, Matinroe Ri Nagauleng, 1696-1714, Pria
- We Bataritoja, Datu Talaga Arung Timurung, Sultanah Zainab Zulkiyahtuddin, 1714-1715, Wanita
- La Padassajati, Toappeware, Petta Rijalloe, Sultan Sulaeman, 1715-1718, Pria
- La Pareppa, Tosappewali, Sultan Ismail, Matinroe Ri Sombaopu, 1718-1721, Pria
- La Panaongi, Topawawoi, Arung Mampu, Karaeng Bisei, 1721-1724, Pria
- We Bataritoja, Datu Talaga Arung Timurung, Sultanah Zainab Zulkiyahtuddin, 1724-1749, Wanita
- La Temmassonge, Toappawali, Sultan Abdul Razak, Matinroe Ri Mallimongeng, 1749-1775, Pria
- La Tenritappu, Sultan Ahmad Saleh, 1775-1812, Pria
- La Mappasessu, Toappatunru, Sultan Ismail Muhtajuddin, Matinroe Rilebbata, 1812-1823, Pria
- We Imaniratu, Arung Data, Sultanah Rajituddin, Matinroe Ri Kessi, 1823-1835, Wanita
- La Mappaseling, Sultan Adam Najamuddin, Matinroe Ri Salassana, 1835-1845, Pria
- La Parenrengi, Arungpugi, Sultan Ahmad Muhiddin, Matinroe Riajang Bantaeng, 1845-1857, Pria
- We Tenriawaru, Pancaitana Besse Kajuara, Sultanah Ummulhuda, Matinroe Ri Majennang, 1857-1860, Wanita
- La Singkeru Rukka, Sultan Ahmad Idris, Matinroe Ri Topaccing, 1860-1871, Pria
- We Fatimah Banri, Datu Citta, Matinroe Ri Bolampare’na, 1871-1895, Wanita
- La Pawawoi, Karaeng Sigeri, Matinroe Ri Bandung, 1895-1905, Pria
- La Mappanyukki, Sultan Ibrahim, Matinroe Ri Gowa, 1931-1946, Pria
- La Pabbenteng, Matinroe Ri Matuju, 1946-1951, Pria
Runtuhnya Kerajaan Bone
Perlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda pada tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE. Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Pendaratan tentara Belanda secara besar-besaran beserta peralatan perang yang sangat lengkap di pantai Timur Kerajaan Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), disambut dengan pernyataan perang oleh Raja bone tersebut. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan penuh dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae gugur diterjang peluru tentara Belanda. Gugurnya Petta Ponggawae (putranya sendiri) sebagai Panglima Kerajaan waktu itu, membuat Lapawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Bone).
Salah satu putra terbaik Tana Bone dalam peristiwa heroik itu adalah Arung Ponre, La Semma Daeng Marola atau lebih dikenal dengan nama Anre Guru Semma. Dia berasal dari Watapponre, sebuah perkampungan tua yang dahulu menjadi pusat pemerintahan “kerajaan” Ponre. Pada jaman dahulu ketika Kerajaan Bone belum terbentuk, Ponre adalah sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Matowa atau Arung seperti halnya kerajaan-kerajaan kecil lain yang kemudian sama-sama melebur dalam kerajaan Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-3 yaitu Lasaliyu Karampeluwa (1424–1496). Letaknya berada di puncak Bulu Ponre, sebuah gunung yang berada tepat ditengah-tengah antara Palakka, Ulaweng Bengo, Lappa Riaja, Libureng, Mare, Cina dan Barebbo, saat ini.
Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November 1905) Daeng Marola senantiasa mendampingi Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae melakukan perlawanan dengan taktik gerilya secara berpindah-pindah mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng hingga ke pusat pertahanan terakhir Bulu Awo (perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja), tempat gugurnya Petta PonggawaE.
Dalam hikayat Rumpa’na Bone yang terkenal itu, disebutkan bahwa ketika para pimpinan laskar kerajaan Bone seperti Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat, Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone Utara, dan Arung Sigeri Keluarga Arungpone serta sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya gugur dalam pertempuran melawan armada Belanda yang sangat lengkap persenjataannya, laskar Bone dibawah komando Panglima Perang Petta Ponggawae terdesak mundur dan bertahan di Cellu. Pada tanggal 30 Juli 1905, tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya. Sepeninggal Panglima Perang Petta Ponggawae, laskar-laskar kerajaan Bone terpencar-pencar. Meski perlawanan masih terus berjalan terutama Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda terus menyisir pusat-pusat pertahanannya.
Tanggal 2 Agustus 1905, tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta. Dalam bulan September 1905, Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya. Daeng Marola Arung Ponre serta sejumlah laskar pemberani terus mendampingi Petta Ponggawae dan La Pawawoi Karaeng Sigeri hingga di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja. Di Bulu Awo inilah, pada tanggal 18 November 1905, laskar Kerajaan Bone dibawah komando Panglima Petta PonggawaE kembali bertemu dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen dan terjadi pertempuran habis-habisan. Pada saat itulah, Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda.
Lapawawoi Karaeng Sigeri akhirnya ditangkap dan dibawa ke Parepare, seterusnya ke Makassar lalu diasingkan ke Bandung dan terakhir dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah dia MatinroE ri Jakarta. Pada tahun 1976, ia dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone sehingga selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Adapun La Semma Daeng Marola, ketika Bone benar-benar telah di kuasai oleh Belanda, mengurungkan niatnya untuk pulang ke kampung halamannya, Ponre. La Semma Daeng Marola Arung Ponre memilih tetap berada di Bajoe dan menghembuskan nafas terakhirnya disana sehingga disebutlah ia sebagai Anre Guru Semma Suliwatang Matinroe Ribajoe.