Efek piza

Revisi sejak 18 Maret 2019 04.30 oleh M. Adiputra (bicara | kontrib) (b)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Efek piza adalah istilah yang terutama digunakan dalam kajian agama dan sosiologi untuk suatu fenomena ketika unsur-unsur atau kebudayaan suatu bangsa ditransformasikan atau lebih diterima di tempat lain, kemudian dibawa kembali ke tempat asal kebudayaan tersebut,[1] atau suatu keadaan ketika pemahaman diri daripada suatu komunitas dipengaruhi oleh sumber asing.[2] Efek tersebut dinamai menurut gagasan bahwa toping piza masa kini dikembangkan oleh imigran asal Italia di Amerika (daripada di negara asalnya, yang pada awalnya diremehkan), kemudian dibawa kembali ke Italia untuk ditampilkan sebagai hidangan lezat dari masakan Italia.[3]

Istilah "efek piza" dicetuskan oleh Agehananda Bharati, seorang pendeta Hindu kelahiran Austria, sekaligus profesor bidang antropologi di Universitas Syracuse[2][4][3] pada tahun 1970.[5]

Referensi

  1. ^ Christopher S. Queen; Charles S. Prebish; Damien Keown, ed. (2003), Action dharma: new studies in engaged Buddhism, Routledge, hlm. 33, ISBN 978-0-7007-1594-7 
  2. ^ a b David Gordon White (1991), Myths of the dog-man, University of Chicago Press, hlm. 267, ISBN 978-0-226-89509-3 
  3. ^ a b Steven J. Rosen (Satyaraja Dasa), "The Pizza Effect" (in the context of Krishna Consciousness)
  4. ^ Kim Knott (2000), Hinduism: a very short introduction, Oxford University Press, hlm. 78, ISBN 978-0-19-285387-5 
  5. ^ Agehananda Bharati (1970). "The Hindu Renaissance and its Apologetic Patterns". The Journal of Asian Studies. Association for Asian Studies. 29 (2): 267–287. doi:10.2307/2942625. JSTOR 2942625.