Suku Bulungan

suku bangsa di Indonesia
Revisi sejak 18 Maret 2019 23.47 oleh Bhant (bicara | kontrib)

Suku Bulungan adalah kelompok etnis yang menduduki bekas teritorial Kesultanan Bulungan saat ini, seperti wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan dan Tawau, di Kalimantan Utara (Kaltara).

Sejarah suku ini berkaitan erat dengan legenda mengenai kelahiran Kesultanan Bulungan yang dahulu menjadi pusat pemerintahan di wilayah ini.[1]

Asal-usul dan Periodisasi Kepemimpinan Suku Bulungan

Kisah asal mula suku ini bermula dari cerita rakyat yang disebut "bulongan" (bambu dan telur). Alkisah, seorang petani dan kepala suku di kawasan Long Sungai Kayan, Ku Anyi, menemukan sebatang bambu dan telur yang sedang digonggongi anjing di hutan. Ku Anyi dan istri merasa ada yang istimewa dengan bambu dan telur tersebut. Maka mereka membawanya pulang.[2]

Di rumah, ternyata bambu dan telur itu berubah menjadi dua manusia yang kemudian mereka namakan Jau Iru dan Lemlaisuri. Setelah dewasa, keduanya menikah dan memiliki anak bernama Jau Anyi.

Dengan adanya anak, tampuk kepemimpinan suku diturunkan Ku Anyi kepada Jau Iru, kemudian Jau Anyi, Paren Jau, Paren Anyi, Wan Paren, Lahai Bara, Sibarau, Simun Luwan, hingga akhirnya Sadang (1548-1555).

Saat kepemimpunan Sadang, suku Kenyah dari Serawak menyerang. Kepala Suku gugur, tetapi saudari kandungnya, Asung Luwan, berhasil lolos dan lari ke pesisir Baratan. Di sana, Asung menikah dengan Datuk Mancang (Datuk Lancang) dari Brunei. Datuk Mancang bersama Asung Luwan memerintah di Baratan dan Busang Arau (Kuala Sungai Pengian) hingga 1595. Pernikahan mereka mengakiri pemerintahan yang dipimpin oleh kepala suku.

Setelah Asung Luwan, posisi raja diambil alih oleh Kenawai Lumu. Setelah itu, nama-nama Kayan (suku di sekitar sungai Kayan) tidak muncul lagi dalam silsilah raja-raja. Inilah akhir dari periode pertama asal-usul Bulungan.

Di periode kedua, nama-nama raja disebut Wira. Secara berturut-turut, penguasa suku Bulungan adalah Wira Kelana, Wira Keranda, dan Wira Digendung. Periode kedua berakhir di sini.

 
Istana Kesultanan Bulungan pada abad 20

Lalu memasuki periode ketiga, suku Bulungan mulai menggunakan sistem kesultanan. Pada masa ini, Islam mulai berkembang karena hubungan dekat penguasa dengan para perantau Arab di Demak.

Sultan pertama Bulungan bernama Wira Amir (1731-1777) dengan gelar Amiril Mukminin. Ia kemudian diganti oleh anaknya sendiri bernama Aji Ali (1777-1817) yang diberi gelar Sultan Alimudin. Suksesor Aji Ali adalah Aji Muhammad (1817-1861) yang bergelar Sultan Muhammad Kaharudin. Kemudian, dia menyerahkan mahkotanya kepada anaknya, Si Kidding (1862-1866) yang bergelar Sultan Muhammad Jalaludin. Tidak lama kemudian, Si Kidding meninggal, dan digantikan Sultan Muhammad Kaharudin (1866-1973).

Penerusnya adalah Datu Alam (1873-1875), bergelar Sultan Khalifatul Alam Muhammad Adil. Namun karena dianggap melanggar perjanjian dengan Belanda, dia diracun dalam sebuah jamuan di istana Bulungan tahun 1875.

Penggantinya adalah Ali Kahar (1875-1889) yang bergelar Sultan Kaharudin II. Pada masa ini, Belanda berhasil menanamkan pengaruhnya, sehingga pada Juni 1878, ditandatanganilah sebuah perjanjian yang memberi wewenang kepada Belanda untuk menentukan kebijakan sultan Bulungan, termasuk urusan pajak. Sebagai imbalannya, keamanan sultan dijamin oleh Belanda.

Kekuasaan Sultan Kaharudin II diteruskan oleh menantunya, Si Gieng (1889-1899) yang bergelar Sultan Adzimudin. Setelah meninggal, kekuasaannya dilanjutkan oleh Puteri Sibut didampingi oleh Datu Mansyur (1899-1901).

Sultan yang memerintah berikutnya adalah Datu Belembung, putera sulung Sultan Adzimudin. Barulah pada 1901 dia dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Maulana Muhammad Kasim Al Din (Sultan Kasimudin). Sultan ke-10 ini mengambil kebijakan dan langkah-langkah anti Belanda seperti penghapusan upeti dan penghilangan penjemputan tamu-tamu Belanda ke kapal sebelum merapat di pelabuhan. Sultan juga menentukan kebijakan politik bisnis bagi kepentingan Kesultanan Bulungan dengan memanfaatkan hasil hutan dan perikanan. Setelah ditemukannya sumber minyak di Pulau Tarakan tahun 1902 Kesultanan Bulungan makin mencapai puncak keemasannya.

Rakyat bangga dengan sultan muda ini. Sayang, dia terkena peluru nyasar pada waktu berburu tahun 1925.

Penggantinya adalah Datu Mansyur (1925-1930). Setelah putera Sultan Kasimudin bernama Achmad Sulaiman kembali dari tugas belajar di Sumatera Datu Mansyur menyerahkan kekuasaan kepadanya. Sultan Achmad Sulaiman tidak lama berkuasa karena mendadak meninggal dunia tahun 1931. Dia digantikan oleh Sultan Muhammad Jalaludin II yang memerintah tahun 1931-1958. Inilah sultan terakhir (sultan ke-13) dari Kesultanan Bulungan. Pada masa ini terjadi peristiwa-peristiwa penting seperti dibangunnya istana ketiga di Tanjung Palas, pemberian pangkat Letnan Kolonel Tituler oleh Ratu Wilhelmina kepada sultan, pelaksanaan ‘birau” pertama selama 40 hari dan 40 malam, pembumi-hangusan Tarakan oleh tentara Jepang untuk mengusir Belanda, dan pendaratan tentara sekutu (NICA) yang dimotori Belanda.

Bendera merah putih berkibar untuk pertama kali di Bulungan pada 17 Agustus 1949, tetapi pengakuan resmi kedaulan Bulungan baru diraih 27 Desember 1949 setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia.

Bulungan menjadi Daerah Istimewa tahun 1948. Sultan Muhammad Djalaludin adalah kepada daerah istimewa pertama hingga akhir hayatnya tahun 1958.

Sistem Kepercayaan Suku Bulungan

Sejak periode ketiga, raja-raja Bulungan dan keluarga mereka menganut Islam secara turun temurun. Namun, sebagaimana suku-suku tradisional lainnya, orang Bulungan juga tetap menghidupkan praktik-praktik nenek moyangnya.

Contoh-contoh praktik yang masih dilakukan suku Bulungan, misalnya persembahan sesaji ketika ada anggota suku yang membuka lahan untuk ladang, nasi rasul (ketan mirip tumpeng tetapi ujungnya berupa setengah parabola), percaya tanda-tanda alam, perilaku burung yang melintas, biawak, ular, dan sebagainya.[2]

Upacara Adat Bulungan

Suku Bulungan masih melakukan beberapa upacara tradisi pendahulu mereka. Antara lain:

Birau

Suku Bulungan mengenal Upacara Birau. Dalam bahasa Bulungan, "birau" artinya "pesta besar". Pesta ini memang dirayakan dengan sangat meriah oleh semua rakyat. Meskipun pada awalnya, Perayaan Birau hanya dilaksanakan pada masa Kesultanan Bulungan dalam rangka emperingati syukuran khitanan anak-anak raja.[1]

Namun demi melestarikan adat istiadat dan menjadi daya tarik pariwisata, perayaan Birau tetap diselenggarakan, bahkan menjadi agenda resmi pemerintah Kabupaten Bulungan. Biasanya, pelaksanaannya setiap 12 Oktober, bersamaan dengan peringatan HUT Kota Tanjung Selor dan Kabupaten Bulungan. Walaupun dari tahun ke tahun, pesta ini terus menunjukkan gejala sepi peminat, alasannya karena keterbatasan dana dari pemerintah daerah.[3] Banyak pihak khawatir jika tren ini terus berlanjut, bukan mustahil pesta budaya ini akan dilupakan masyarakat suku Bulungan, serta suku-suku pendatang yang berada di sana, seperti Dayak, Bugis, dan Jawa.

Lampi' Sapot

Upacara adat ini artinya naik ayun, diadakan ketika anak berusia sekitar satu bulan hingga mampu membalik badannya sendiri.

Bahan-bahan yang harus disediakan dalam upacara ini adalah nasi rasul dua buah (karena mengikuti sunah nabi berkaitan dengan perjalanan Safa dan Marwah), satu buah kelapa biasa yang dibungkus dengan kain kuning, kelapa gading yang tidak perlu dibungkus dengan kain kuning, sebuah lilin, bantal bayi berwarna kuning untuk anak bangsawan dan putih untuk orang biasa, dan 33 busak balai (bendera bermotif ukiran) yang ditaruh pada dua tiang besar.

Teknis acaranya, anak dimasukkan secara simbolik ke dalam sapot oleh para tetua laki-laki, lalu tetua perempuan. Setelah itu, ada tari-tarian jepen. Namun sekarang, tari jepen ini jarang ditampilkan dalam Ritual Lampi' Sapot. Kemudian nasi rasul dibagi-bagikan kepada undangan.

Lamanya upacara sekitar empat jam. Biasanya, upacara berlangsung mulai jam 8 pagi hingga jam 12 siang.

Mata Pencaharian Orang Bulungan

Dalam masa pra-kesultanan, suku Bulungan biasa berpindah-pindah tempat untuk berladang dan berburu. Namun setelah periode kesultanan hingga sekarang, mereka menetap sebagaimana orang-orang modern lainnya.

Walaupun demikian, orang Bulungan tetap banyak yang berladang untuk mencukupi kebutuhan hariannya. Bedanya, penggarapan sawah mereka sudah menggunakan teknologi pertanian atau perkebunan. Mereka, misalnya, telah menggunakan eskavator untuk mengolah tanah dan mesin perontok untuk panen.

Di samping itu, profesi-profesi lainnya juga ada, sama seperti warga di tempat-tempat lain. Pemuda Bulungan yang memutuskan merantau juga banyak.


Referensi

  1. ^ a b "Penduduk, Adat Istiadat dan Kebudayaan Kabupaten Bulungan". WisataKaltara.com. 2013-12-13. Diakses tanggal 2019-03-16. 
  2. ^ a b Nanang, Martinus (2008). Sejarah Penyebaran & Kebudayaan Suku-suku di Kabupaten Malinau. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malinau. 
  3. ^ "Perhelatan Birau Kian Meredup, DPRD Bulungan Sarankan Pembentukan Dewan Kesenian". WisataKaltara.com. 2017-10-10. Diakses tanggal 2019-03-19.