Peutron Aneuk

Upacara Adat di Indonesia

Peutron Aneuk merupakan upacara adat turun-temurun Masyarakat Aceh bagi bayi yang baru lahir untuk dibawa keluar rumah, turun ke tanah atau menjejakkan kaki si bayi ke tanah[1].

Tradisi ini biasanya dilaksanakan serentak dengan upacara Geuboh Nan (prosesi memberikan nama kepada bayi) dan Aqīqah. Hanya saja orang-orang yang menghadiri upacara tersebut terbiasa menyebutnya sebagai Peutron Aneuk, atau dianggap sudah mencakup ketiga upacara tadi[2].

Ada bermacam-macam sebutan untuk Peutron Aneuk, sebut saja Troen Bak Tanoeh, Peutron Aneuk U Tanoh, Peutron Aneuk Mit[3], atau Peugidong Tanoh, sebutan oleh masyarakat Gampong Tokoh[1].

Tidak hanya penyebutan, prosesi juga bisa berbeda-beda tiap daerah. Misalnya, pada Masyarakat Gampong Tokoh, bayi dibawa keluar rumah lalu diajak turun ke tanah lalu membawa si bayi ke Mesjid untuk kemudian dimandikan oleh salah satu orang tua yang paham agama. Ada yang dimandikan di sungai, atau ditempat-tempat yang dinazarkan pemilik hajat. Begitu juga usia bayi yang di-patreunkan juga bisa berbeda-beda.

Meski nama, tata cara dan istilah satu sama lain bisa berbeda-beda di tiap daerah, namun prinsip-prinsip dan makna yang terkandung di dalamnya tetap saja sama[4].

Asal Usul

Upacara adat Peutron Anuek dipercaya Orang Aceh dilakukan turun-temurun sejak zaman pertengahan abad ke-13 Masehi, atau dimasa Kesultanan Pasai (Kerajaan Islam Samudera Pasai), diteruskan Kerajaan Aceh Darussalam (1496 - 1903), dan masih berlanjut hingga saat ini[4].

Sultan Mansur Syah-Putri Raja Indra Bangsa pun turut melaksanan Patreun Aneuk, menyambut kelahiran bayi mereka yang dinamai Sultan Iskandar Muda yang lahir pada 1593 Masehi. Tentu saja upacara dilaksanakan dengan sangat meriah. Prosesi tersebut lalu menginspirasi Orang Aceh sampai saat sekarang.

Pada zaman itu jika bayinya laki-laki, biasanya meriam dibunyikan bersahut-sahutan. Para pendekar lalu memotong tiga batang pisang dengan pedang. Ini merupakan harapan agar anak kelak menjadi orang yang pemberani, khususnya ketika berlaga di medan perang dan memiliki jiwa ksatria.

Usia Bayi

Mengenai berapa usia bayi yang boleh mengikuti prosesi ini juga berbeda-beda. Ada yang melaksanakannya pada hari ke-7 setelah lahir, ketika usia bayi sudah mencapai 44 hari, dan ada juga yang melangsungkannya setelah bayi berumur lebih dari setahun[3].

Mengenai mengapa dilakukan saat bayi berumur 7 hari, hal ini dimaksud menyesuaikan menurut Syariat Islam dan mengikuti Sunnah Rasul, termasuk Aqiqah dan pemberian nama.

Untuk wilayah tertentu tradisi ini disepakati bersama dituangkan secara tertulis dalam hukum adat di daerah tersebut. Contoh untuk wilayah Kemukiman Cot Jeumpa, tradisi ini dilakukan ketika bayi sudah berusia tiga atau lima bulan[5].

Persiapan

Sebelum Peutron Aneuk dimulai harus ada persiapan terlebih dahulu. Pertama, keluarga yang punya hajatan harus berembuk terlebih dahulu untuk menentukan hari pelaksanaan[1].

Lalu mempersiapkan bahan-bahan bahan-bahan yang nanti digunakan ketika Peutron Aneuk, Peusijuk Cuko’ok Geuboh Nan, dan Peucicap.

Tidak lupa juga turut dipersiapkan berbagai hidangan untuk disantap para undangan setelah acara inti selesai. Hal ini agar kebahagiaan orang tua bayi turut dirasakan juga oleh para tamu yang hadir[3].

Selanjutnya mengundang kerabat dekat, tokoh-tokoh adat-agama, serta tetangga dan warga lainnya. Bisa juga diundang kerabat jauh bila memungkinkan, namun yang terpenting adalah kehadiran tua-tua adat, karena mereka inilah yang memimpin Upacara Peutron Aneuk. Tetua Adat ini biasanya merangkap pemuka agama.

Untuk diperhatikan biaya Upacara Peutron Aneuk bisa mahal, bisa juga murah. Hal ini disesuaikan dengan kondisi kemampuan ekonomi yang bersangkutan. Biasanya jika yang punya hajat orang berada dan bayinya itu meupakan anak pertama, maka dipotonglah kerbau atau lembu[1].

Prosesi Awal

Setelah semua hal sudah dipersiapkan, kini masuklah pada prosesi pertama, yakni Peusijuk yang kemudian diikuti secara berurutan: Cuko’ok, Peucicap, Geuboh Nan, ditutup dengan, sekaligus puncak acara Peutron Aneuk. Urutan prosesi ini diterapkan oleh masyarakat Gampong Tokoh[1].

Peusijuk

Peusijuk merupakan prosesi adat yang hampir ada dalam semua kegiatan adat masyarakat di Aceh. Intinya adalah sebagai ungkapan syukur terhadap apa yang diberikan oleh Allah SWT, sekaligus memohon kepadaNya agar dijauhkan dari segala marabahaya.

Peusijuk bisa dilakukan ketika orang Aceh memiliki rumah baru, perkawinan, lulus sekolah. Prosesi Peusijuk dalam Peutron Aneuk dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT karena orang tua telah dinugerahi seorang bayi.

Peusijuk dimulai dengan pembacaan Basmallah. Ini dimaksud agar terbangun silaturrahmi keluarga (kerabat), hidup dalam kebersamaan dan tolong-menolong (peukong syedara kaom).

Lalu nasi ketan diambil sedikit, diletakkan di telinga bayi. Beras yang sudah diwarnai diambil di dalam gelas untuk kemudian ditaburkan ke bayi.

Setelah itu daun daun seneujuk, daun naleung sambo diikat menjadi satu, kemudian dicelupkan ke dalam gelas (sudah diisi air), lalu dicipratkan (seupreuk) ke arah bayi. Maksudnya agar ketika bayi nanti terkena masalah dalam hidup, dia bisa menghadapinya dengan kepala dingin. Seupreuk air melambangkan cara mendinginkan masalah besar dalam hidup nantinya.

Cuko’ok

Prosesi mencukur sebagian rambut si bayi. Rambut yang dipotong kemudian dimasukkan ke dalam kelapa muda yang telah dikupas terlebih dahulu.

Cuko'ok memiliki makna secara adat (membuang semua kotoran-kotoran yang ada, sampai bersih semua) juga sekaligus sangat identik dengan Ajaran Islam (Sunnah Rasul).

Peucicap (Mencicipi)

Dalam bagian ini si bayi dicicipkan rasa manis ke lidahnya. Bisa madu, air gula, buah srikaya, bisa juga aneka buah manis. Maknanya bagi Orang Aceh adalah agar bayi mengenal bahwa hidup ini ada hal-hal kebaikan yang harus selalu dijaga dalam diri bayi.

Dilakukan oleh orang tua si bayi. Ia colek satu-satu dengan ujung jarinya, kemudian dicicipi ke lidah bayi. Sejurus kemudian, ia membolak-balikkan hati ayam. Ritual ini bertujuannya agar si anak ketika besar nanti cerdas dan kreatif dalam berpikir, tak buntu.

Geuboh Nan

Di sinilah bayi diberikan nama, biasanya nama Islami. Harapannya agar nama si bayi membawa keberkahan buat dirinya kelak, dan akan selalu dipanggil dengan do’a yang baik.

Prosesi Peutron Aneuk

Makna Peutron Aneuk secara luas adalah media untuk membangun tanggung jawab bersama terhadap tumbuh kembang si bayi[6].

Mengingat sekarang sudah jarang rumah panggung dengan tangga, dalam prosesi ini saat sekarang tangga digantikan dengan tangga yang memang dipersiapkan khusus untuk upacara tersebut.

Tibalah saatnya untuk pertama kali bayi dibawa keluar rumah dengan cara digendong oleh wali, sambil dipayungi oleh salah seorang saudara dari pihak laki-laki. Bayi bisa juga digendong oleh Tetua adat, sambil diiringi doa-doa, pujian dan ayat-ayat Al-Quran[3],

Makna dipayungi adalah harapan kelak si bayi bisa mengikuti jejak tetua adat. Payung tersebut terlebih dahulu sudah dihias dan berwarna kuning[1].

Kemudian diambil kelapa lalu dibelah di pintu depan rumah, mengarah tepat di atas payung bayi. Lalu kelapa terbelah itu dilempar ke atas genteng mengarah ke depan. Ini agar kelak cara berfikir bayi terbuka. Kelapa yang dilemparkan ke genteng memiliki arti kelak bayi punya cita-cita tinggi, dan siap berjuang mencapai kesuksesan.

Setelah kelapa dilempar ke atas genteng kini saatnya wali menebang batang pisang, tebu dan pinang yang sebelumnya sudah ditanam berselang-seling di sebelah kiri depan rumah. Setelah kegiatan penebangan, silat pun dimainkan, sebelum bayi dibawa ke Mesjid untuk dimandikan.

Seperti halnya ritual membelah kelapa, aksi menebang juga memiliki makna: Harapan agar kelak bayi sanggup menghadapi berbagai rintangan dalam kehidupannya, dengan ilmu dan kecerdasarn, tidak terkecuali dalam menghadapi lawan atau musuh.

Sedangkan makna permainan silat adalah agar bayi memilki ilmu untuk berjuang dan berperang dalam melawan kemungkaran dengan tujuan membela kebaikan.


Referensi

  1. ^ a b c d e f Saifurrohman, Muzaki (December 2018). "Peutron Aneuk Dalam Budaya Aceh". ResearchGate. Diakses tanggal 21 Maret 2019. 
  2. ^ Astuti A. Samad, Sri (Maret 2015). "Pengaruh Agama Dalam Tradisi Mendidik Anak Di Aceh: Telaah Terhadap Masa Sebelum Dan Pasca Kelahiran". Gender Equality: Internasional Journal of Child and Gender Studies. Vol. 1, No. 1. Diakses tanggal 21 Maret 2019. 
  3. ^ a b c d "Adat Peutron Aneuk, Upacara Turun Tanah Masyarakat Aceh". wacana. 2 Agustus 2015. Diakses tanggal 20 Maret 2019. 
  4. ^ a b Mardira, Salman (2 November 2014). "Tradisi Peutroen Aneuk Ada Sejak Kerajaan Samudera Pasai". okezone. Diakses tanggal 22 Maret 2019. 
  5. ^ "Pendokumentasian Aturan Adat Kemukiman Cot Jeumpa". jkma-aceh. Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh. 2019. Diakses tanggal 21 Maret 2019. 
  6. ^ Mardira, Salman (2 November 2014). "Makna di Balik Peutroen Anuek & Puecicap". okezone. Diakses tanggal 22 Maret 2019.