Panjidur

salah satu tarian di Indonesia
Revisi sejak 27 Maret 2019 03.26 oleh Kepadalisna (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Budaya Indonesia menggunakan HotCat)

Panjidur atau Panjidor, merupakan kesenian rakyat dari Dusun Jambon, Desa Donomulyo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo[1]. Kesenian tradisonal ini berdiri pada tahun 1948. Sastrodiwiryo adalah inisiator dalam terciptanya kesenian Panjidur[1]. Kesenian tradisional ini berwujud tarian yang awalnya adalah kumpulan ragam gerak yang sederhana, tanpa hiasan-hiasan ragam gerak yang rumit dan diulang-ulang. Iringan musik yang sederhana dengan lantunan syair atau singir yang berisikan kiasan-kiasan tentang nilai-nilai agama Islam dan nilai-nilai moral. Dahulu, kesenian ini berfungsi sebagai sarana dakwah, namun pada tahun 1980 fungsi itu berubah menjadi fungsi sosial dan seni pertunjukan rakyat. Hal ini tak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan zaman yang semakin maju akan memberikan pengaruh kepada masyarakat. Aspek-aspek estetika dan kebutuhan dinamika kesenian yang semakin tak terhindarkan, membuat kesenian tradisional ini harus beradaptasi dengan zaman. Pada tahun 1960, aktivitas kesenian tradisional ini sempat berhenti hingga tahun 1970, dikarenakan situasi politik di Indonesia. Kemudian setelah tahun 1975, kesenian ini kembali hidup dengan gaya yang baru.

Rangkaian Pertunjukan

Kesenian rakyat Panjidur, dengan latar belakang cerita serat menak, bercerita tentang Amir Ambyah dalam lakon ini sering juga disebut Wong Agung Jayengrana. Mempunyai dua komandan prajurit andalannya, yakni Umarmaya dan Umarmadi. Digambarkan Umarmaya dan Umarmadi sedang melatih prajuritnya dalam olah ketrampilan berperang. Uniknya, para prajurit yang sedang berlatih tersebut memakai kostum seperti tentara, dengan pakaian celana hitam, kain, ikat pinggang, kaos tangan warna putih, baju putih lengan panjang, lengkap dengan aksesori pangkat, topi pet, dan kacamata hitam. Secara koreografis, ragam gerak para prajurit itu dikembangkan dalam struktur ragam gerak yang mempunyai simbol dan makna. Kesederhanaan pengembangan ragam gerak yang menyatu memberikan aksen-aksen semakin dinamis. Pola lantainya pun dikembangkan tidak lagi sejajar dan berbaris, tetapi bisa menjadi diagonal, lingkaran, pecah, dan rakit. Pengembangan properti senapan yang terbuat dari kayu itu tidak harus dalam posisi dibawa saja, tetapi bisa diputar seperti senapan, diangkat, diletakkan dalam posisi semua senapan bersandar, dan diberi aksen tembakan. Sedangkan untuk perlengkapan alat musiknya antara lain, kendang, bedug, rebana, dan perkembangannya memakai drumset. Dengan diiringi rampak tetabuhan musik hadrah yang bernuansa Islami. Alunannya terdengar lirih, namun terkadang juga bisa cepat dan keras beriringan mengikuti tabuhan rebana bersama jidor, dan stambul yang saling berganti. Jumlah penari, biasanya mencapai 20 orang, yang diperankan oleh laki-laki[2]. Kesenian Panjidor biasanya hanya tampil di malam hari. Panjidor bisa pentas semalam suntuk dalam sebuah lakon dengan jalinan cerita yang utuh. Untuk keperluan ini, mereka kerap menghadirkan beberapa penari perempuan sebagai daya tariknya. Untuk sekali tampil, kelompok ini biasa mematok harga sekitar 5-6 juta rupiah[2].

Isi Cerita

Cerita utamanya adalah permusuhan antara Wong Agung Jayeng Rana yang beragama Islam dengan Prabu Nursewan yang belum memeluk agama Islam. Sehingga cerita yang melatarbelakangi banyak berasal dari kisah kepahlawan atau heroisme, penaklukan perang oleh pasukan paserbumi sebagai prajurit perang dalam kesenian Panjidor.

Referensi

  1. ^ a b "Kesenian Panjidor » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-03-27. 
  2. ^ a b Media, Harian Jogja Digital (2015-05-21). "TARI TRADISIONAL : Panjidur Langen Kridotomo, Simbol Semangat Juang Generasi Muda". Harianjogja.com. Diakses tanggal 2019-03-27.