Pinde Rume merupakan salah satu upacara adat Orang Betawi ketika meninggalkan rumah lama untuk masuk menempati rumah yang baru. Upacara Pinde Rume pada Orang Betawi sangat lekat dengan ajaran Agama Islam. Biasanya bukan hanya alim ulama yang diundang, prosesinya diwarnai shalawatan dari kumpulan pengajian ataupun qori[1].

Persiapan

Dalam prosesi Pinde Rume keluarga yang hendak pindahan rumah biasanya mengundang para tetangga, tokoh masyarakat, alim ulama, kelompok pengajian atau qori, bahkan sampai pawang hujan[1].

Masyarakat Betawi kebanyakan melibatkan Pawang Hujan dalam setiap hajatan mereka, mulai dari pernikahan, sunatan, syukuran rumah baru dan lain-lain. Mereka percaya sang dukun punya kemampuan menggagalkan hujan di lokasi hajatan, dengan memindahkan energi hujan dari satu tempat ke tempat lainnya.

Orang Betawi tempo dulu menyebutnya sebagai Dukun Rangkeng atau Dukun Duduk Sajen. Hal ini karena ketika si dukun melaksanakan tugasnya, dia duduk di dalam sebuah kerangkeng bambu, biasanya di dalam kamar yang tertutup rapat. Yang punya hajat wajib menyajikan sesajen[2].

Setelah itu yang musti dipersiapkan adalah mengumpulkan tanah dari halaman rumah lama, untuk kemudian dibungkus dengan kain putih. Tanah bagi Orang Betawi sangatlah penting, karena bagi mereka di dalam tanah rumah lama itulah (pernah) ditanami (dikubur) ari-ari (placenta) anak yang baru dilahirkan[1].

Orang Betawi menyebut ari-ari sebagai saudara tuanya si bayi. Untuk itu harus diperlakukan dengan baik, tidak boleh dibuang sembarangan, namun harus dipelihara. Caranya, dikubur di tanah atau dihanyutkan ke sungai/laut.[3].

Setelah tanah dibungkus, dipersiapkan juga alat-alat rumah tangga seadanya yang wajib dibawa saat prosesi Pinde Rume dilakukan: pendaringan, lampu gembreng, tempayan, bumbu dapur, kaca dan tempat sirih[1].

Prosesi

Upacara Pinde Rume dilakukan di lokasi rumah yang akan ditempati. Tanah yang tadi dibungkus kain putih langsung ditebarkan ke sekeliling rumah sambil mengucapkan bismilah[1].

Maksud dari menebarkan tanah dari rumah lama adalah agar suasana rumah yang ditinggalkan tetap terasa di rumah yang baru. Diharapkan seluruh anggota keluarga betah mendiami rumah baru seperti di rumah sebelumnya.

Selanjutnya di depan pintu rumah yang baru dilantunkanlah shalawat dustur oleh grup ngaji atau qori tadi. Usai shalawat diucapkanlah Bismillah sebanyak 3 kali.

Upacara Pinde Rume diakhiri dengan acara makan bersama, menyantap nasi kebuli atau nasi uduk, juga kue-kue khas Betawi[1], seperti misalnya kue gemblong, talam, geplak, pancong, rangi atau bandros, kue mangkok Betawi dan masih banyak lagi[4]. Ketika para undangan pulang, tidak lupa mereka masing-masing diberikan bungkusan nasi berkat[1].

Alat-alat rumah tangga yang tadi dipersiapkan memiliki makna filosofis masing-masing:

Pendaringan. Adalah tempat menyimpan beras. Benda ini dianggap sebagai pusaka, makanya Orang Betawi tidak main-main terhadap benda ini. Orang Betawi jaman dulu pantang melihat langsung pendaringan, terlebih lagi pendaringan milik orang lain[5].

Lampu Gembreng. Diibaratkan sebagai penerangan hati dalam mempelajari segala macam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu Agama Islam. Jika dipelajari dengan benar Orang Betawi yakin mampu menyeimbangkan hidupnya dan tidak akan kehilangan pegangan hidup. Orang Betawi sering menyebutnya dengan blendes atau cempor.

Tempayan. Merupakan tempat menyimpan air.

Bumbu Dapur. Orang Betawi memandang dirinya sebagai orang yang mandiri, namun mereka sadar hidup bersama-sama orang (suku) lainnya yang digambarkan sebagai bumbu dapur yang beraneka ragam.

Kaca. Melambangkan kerendahan hati orang Betawi.

Tempat Sirih. Dipakai sebagai pengobatan.

Referensi

  1. ^ a b c d e f g "Pinde Rume". jakarta. 3 Agustus 2017. Diakses tanggal 27 Maret 2019. 
  2. ^ "Jakarta Zaman Baheula, Pawang Hujan Dikerangkeng". tempo online. 31 Desember 2013. Diakses tanggal 27 Maret 2019. 
  3. ^ Yunus, Ahmad; Kartikasari, Tatiek; Rosyadi (1993). "Arti Dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup Pada Masyarakat Betawi" (PDF). kemdikbud. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai•Nilai Budaya. Diakses tanggal 27 Maret 2019. 
  4. ^ T. Erwin, Lilly; Erwin, Abang (2008). Peta 100 Tempat Makan Makanan Khas Betawi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 
  5. ^ Swadarma, Dodi; Aryanto, Yunus (2013). Rumah Etnik Betawi. Jakarta: Griya Kreasi (Penebar Swadaya Grup).