Abu al-Hassan al-Kharaqani
Abu Hassan al Kharqani bin Ahmad (atau ibn Jaʻfar) bin Salmān al-Kharaqāni (Arabic: شیخ ابوالحسن خرقانی) adalah seorang guru sufi yang terkenal sebagai salah satu Mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyah dari aliran sufi yang terdapat pada agama Islam. Dia lahir pada tahun 963 Masehi (352 H) dari Persia atau sekarang Iran. Orang tuanya berasal dari Khorasan disebuah desa yang sekarang sering disebut Kharaqan. terletak di provinsi Semnan, Iran dekat Bastam). Beliau meninggal pada hari Asyura yaitu 1033 (10 Muharram, 425 H).
Abu Hassan al Kharqani |
---|
Beliau adalah Ghawts (Busur Perantara) di masanya dan memiliki maqam yang unik. Ia juga adalah Qiblah, pusat perhatian umatnya dan Samudera pengetahuan dari siapa para wali masih menerima gelombang cahaya dan pengetahuan spiritual. Ia menghindari dari segala hal keesaan Allah dan menolak segala gelar dan aspirasi bagi dirinya. Ia tidak ingin dikenal sebagai pengikut ilmu apapun, bahkan ilmu spiritual, dan ia berkata: “Aku bukan rahib (pertapa). Aku bukan zahid (ascetic). Aku bukan pembicara. Aku bukan Sufi. O Allah, Kau adalah Esa, dan aku bersatu dalam KeesaanMu.” Dalam hal pengetahuan dan ibadah, ia berpendapat: “Di dunia ini banyak yang berilmu dan berhamba tetapi hal itu tidak bermanfaat kecuali kau melibatkan diri untuk kepuasan Allah, dan dari pagi sampai malam dilalui dengan perbuatan yang diridhoi Allah.”
Tentang Menjadi Seorang Sufi
“Sufi bukanlah orang yang selalu membawa sajadah ataupun yang memakai baju bertambal dan memiliki kebiasaan dan penampilan tertentu, tetapi Sufi adalah fokus setiap orang meski ia bersembunyi.”
“Sufi adalah orang yang perlu matahari di siang hari dan tidak perlu bulan di malam hari. Inti Sufisme adalah non-eksistensi total selain eksistensi Allah.”
Pendapatnya tentang Kebenaran, “Kebenaran adalah ucapan rasa salah dan benar.” Pendapatnya tentang hati: “Apakah yang terbaik? Hati yang selalu mengingat Allah (dhikr Allah).”
“Hati terbaik ialah hati yang tidak berisi apa-apa kecuali kehadiran Allah.”
“Hari ini sudah 40 tahun Allah melihat ke dalam hatiku dan tidak melihat apa-apa kecuali dirinya. Kecuali Allah, hati dan dada ku kosong selama 40 tahun; sementara egoku menginginkan air dingin dan susu, tapi aku tidak mengikutinya selama 40 tahun untuk mengendalikan diriku.”
“Penglihatan mata kepala tidak membawa kebahagiaan, tetapi penglihatan mata hati dan rahasia yang Allah berikan kepada ruh membawa kebahagiaan.”
Pendapatnya tentang Bayazid: “ketika Abu Yazid berkata, “Aku ingin untuk tidak berkeinginan, itulah rasa ingin (irada) yang sesungguhnya”.
Ia ditanya seseorang, “Siapakah yang paling tepat untuk bicara soal fana’ (kekosongan total) dan baqa’ (keabadian)?” ia menjawab, “Itu adalah pengetahuan bagi seseorang di bumi yang terkait oleh benang sutra surgawi dimana terjadi badai hebat yang mencampakkan semua pohon, rumah, gunung ke samudra, hingga penuh. Kalau badai itu, maka ialah orang yang tepat untuk bicara mengenai fana’ dan baqa.”
Suatu ketika Sultan Mahmoud al-Ghazali berkunjung Abul Hassan dan meminta pendapatnya tentang Bayazid al-Bistami. Ia berkata, “Siapapun yng mengikuti Bayazid akan mendapat panduan. Dan siapapun yang melihatnya dan merasakan cinta didalam hatinya, maka ia akan merasa bahagia.”
Sultan Mahmoud bertanya, “Bagaimana hal itu mungkin, ketika Abu Jahl melihat Nabi, ia tidak bhagia tapi malah bersedih?” Ia menjawab, “Itu karena Abu Jahl tidak melihat Nabi tetapi melihat Muhammad bin ‘Abdullah. Kalau ia melihat Utusan Allah, maka ia akan dikeluarkan dari kesedihan dan diberi kebahagiaan. Seperti sabda Allah, “Kalian melihat mereka tapi tanpa penglihatan yang jelas” [7:198]. Ia melanjutkan dengan kalimat yang pernah diutarakan, “penglihatan dengan mata kepala….”
Beberapa pernyataan yang lain:
“Mohon kesusahan agar kalian bis menangis karena Allah mencintai mereka yang menangis,” Ingat nasehat Nabi agar banyak menangis.
“Dengan cara apapun kalian memohon kepada Allah, tetap gunakan cara melalui Qur’an. Jangan memohon kepada Allah kecuali melalui Qur’an.”
“Pewaris Nabi ialah orang yang mengikuti jejak beliau dan tidak pernah menodai Buku Akhlak beliau.”
Abul-Hasan al-Kharqani wafat pada hari Selasa, 10 Muharram, tahun 425 H. (1033 CE). Ia dimakamkan di Kharqan, suatu desa di kota Bistam di Persia.