Masjid Al Aqsha (bahasa Arab: المسجد الاقصى, Al-Masjid Al-Aqsha, arti harfiah: "masjid terjauh"), juga disebut dengan Baitul Maqdis atau Bait Suci (bahasa Arab: بيت المقدس, bahasa Ibrani: בֵּית־הַמִּקְדָּשׁ‎, Beit HaMikdash), Al Haram Asy Syarif (bahasa Arab: الحرم الشريف, al-Ḥaram asy-Syarīf, "Tanah Suci yang Mulia", atau الحرم القدسي الشريف, al-Ḥaram al-Qudsī asy-Syarīf, "Tanah Suci Yerusalem yang Mulia"), Bukit Bait (Suci) (bahasa Ibrani: הַר הַבַּיִת‎, Har HaBáyit), adalah nama sebuah kompleks seluas 144.000 meter persegi yang berada di Kota Lama Yerusalem. Kompleks ini menjadi tempat yang disucikan oleh umat Islam, Yahudi, dan Kristen. Tempat ini sering dikelirukan dengan Jami' Al Aqsha atau Masjid Al Qibli. Jami' Al Aqsha adalah masjid berkubah biru yang menjadi bagian dari kompleks Masjid Al Aqsha sebelah selatan, sedangkan Masjidil Aqsha sendiri adalah nama dari kompleks tersebut, yang di dalamnya tidak hanya terdiri dari Jami' Al Aqsha (bangunan berkubah biru) itu sendiri, tetapi juga Kubah Shakhrah (bangunan berkubah emas) dan berbagai situs lainnya.

Masjid Al Aqsha
Bukit Bait
المسجد الاقصى, Al Masjid Al Aqsha
הַר הַבַּיִת, Har haBáyith
Titik tertinggi
Ketinggian740 m (2.430 ft)
Geografi
Masjid Al Aqsha Bukit Bait di Jerusalem
Masjid Al Aqsha Bukit Bait
Masjid Al Aqsha
Bukit Bait
PegununganYudea
Geologi
Jenis gunungLimestone[1]

Dalam sudut pandang umat Muslim, Nabi Muhammad diangkat ke Sidratul Muntaha dalam peristiwa Isra' Mi'raj dari tempat ini setelah sebelumnya dibawa dari Masjid Al Haram di Mekkah. Masjid Al Aqsha juga menjadi kiblat umat Islam generasi awal hingga tujuh belas bulan setelah hijrah sampai kemudian dialihkan ke Ka’bah di Masjidil Haram.

Sedangkan menurut kepercayaan Yahudi, tempat yang sekarang menjadi Masjid Al Aqsha juga dipercaya menjadi tempat berdirinya Bait Suci pada masa lalu.[2] Berdasarkan sumber Yahudi, Bait Suci pertama dibangun oleh Sulaiman (Salomo) putra Dawud (Daud) pada tahun 957 SM dan dihancurkan Babilonia pada 586 SM. Bait Suci kedua dibangun pada tahun 516 SM dan dihancurkan oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 70 M. Umat Yahudi dan Kristen juga percaya bahwa peristiwa Ibrahim (Abraham) yang hendak menyembelih putranya, Ishak, juga dilakukan di tempat ini. Masjid Al Aqsha juga memiliki kaitan erat dengan para nabi dan tokoh Bani Israel yang juga disucikan dan dihormati dalam ketiga agama.

Pada masa kepemimpinan Dinasti Ummayyah, para khalifah memerintahkan berbagai pembangunan di kompleks Masjidil Aqsha yang kemudian menghasilkan berbagai bangunan yang masih bertahan hingga saat ini, di antaranya adalah Jami' Al Aqsha dan Kubah Shakhrah.[3] Kubah Shakhrah sendiri diselesaikan pada tahun 692 M, menjadikannya sebagai salah satu bangunan Islam tertua di dunia.

Saat kemenangan umat Kristen pada Perang Salib Pertama pada tahun 1099, pengelolaan Masjidil Aqsha lepas dari tangan umat Islam. Jami' Al Aqsha diubah menjadi istana dan dinamakan Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo), sedangkan Kubah Shakhrah diubah menjadi gereja dan dinamakan Templum Domini atau Kuil Tuhan.[4] Masjidil Aqsha menjadi salah satu lambang penting di Yerusalem dan gambar Kubah Batu tercetak dalam koin yang dikeluarkan oleh Kerajaan Kristen Yerusalem. Masjidil Aqsha dikembalikan fungsinya seperti semula setelah umat Islam berhasil mengambil alih kepemimpinan kompleks ini pada masa Shalahuddin Al Ayyubi. Setelah itu, umat Islam mengelola Masjidil Aqsha sebagai wakaf tanpa gangguan hingga pendudukan Israel atas Yerusalem pada 1967.[5]

Sebagai bagian dari Kota Lama Yerusalem, pihak Israel dan Palestina masing-masing menyatakan sebagai pihak yang lebih berhak dalam mengelola Masjidil Aqsha, dan ini menjadi salah satu titik permasalahan utama Konflik Arab-Israel.[6] Untuk menjaga kompleks ini berada dalam status quo, pemerintah Israel menetapkan larangan untuk ibadah bagi umat non-Islam di tempat ini.[7][8][9]

Etimologi

Secara harfiah, Masjid Al Aqsha berarti “masjid terjauh.” Nama ini berasal dari keterangan dalam Al Qur'an pada Surah Al-Isra' ayat 1 mengenai Isra Mi'raj.

”Maha Suci Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjid Al Haram ke Masjid Al Aqsha yang diberkahi sekelilingnya untuk Kami perlihatkan tanda-tanda Kami, bahwasanya Dia itu Maha Mendengar, Maha Melihat.”

— Qur'an, 17:01

Istilah masjid secara harfiah bermakna "tempat sujud"[10] dan secara syara dapat berarti semua tempat di bumi yang digunakan untuk beribadah kepada Allah[11] sebagaimana sabda Nabi Muhammad, "... dan bumi ini dijadikan bagiku sebagai tempat shalat serta sarana bersuci (tayammum). Maka siapa saja dari umatku yang datang waktu shalat (di suatu tempat), maka hendaklah ia shalat (di sana)."[12] Dengan pengertian ini, tempat-tempat ibadah monoteistik lainnya seperti Bait Salomo atau Kuil Sulaiman juga disebut dengan istilah "masjid".[13] Para sejarawan Barat Heribert Busse dan Neal Robinson berpendapat bahwa itulah penafsiran yang diinginkan.[14][15] Dengan pengertian ini pula, masjid tidak hanya terbatas pada sebuah bangunan saja. Misalnya saja, wilayah di sekitar Ka'bah sudah dikenal lama dengan istilah "Masjid Al Haram" dan tempat itu hanyalah sebuah lapangan terbuka sejak masa Ka'bah dibangun dan keadaannya tetap demikian hingga masa kenabian. Tidak ada pula dinding yang mengelilinginya, hanya bangunan rumah-rumah penduduk Mekkah yang mengelilingi halaman itu, seakan-akan itu adalah dindingnya.[16] Masjid Al Haram mulai berbentuk bangunan pada masa Khalifah Umar bin Khaththab.[17]

Sering terjadi kebingungan antara Masjid Al Aqsha dengan Jami' Al Aqsha (disebut juga Masjid Al Qibli). Selama berabad-abad yang dimaksud dengan Masjid Al Aqsha adalah keseluruhan kompleks,[18] sedangkan Jami' Al Aqsha adalah masjid berkubah biru gelap yang berada di Masjid Al Aqsha bagian selatan. Pada masa pemerintahan Kesultanan Utsmaniyah (kira-kira abad ke-16 sampai awal 1918), kompleks tersebut dinamai Al-Haram Asy-Syarif, sedangkan nama Masjid Al Aqsha menjadi hanya mengerucut kepada Jami' Al Aqsha.[19] Al Haram Asy Syarif sendiri secara harfiah berarti “tanah suci yang mulia.” Berdasarkan penuturan sejarawan Oleg Grabar, “Hanya cenderung belakangan ini bahwa tempat suci umat Muslim di Yerusalem disebut dengan Al Haram Asy Syarif. Meskipun kepastian dari sejarah awal mula istilah ini tidak jelas, tetapi kita tahu hal itu menjadi kebiasaan pada masa Utsmaniyyah … Sebelum (masa) Utsmaniyyah, tempat tersebut biasanya disebut Masjid Al Aqsha.”[20]

Nama lain untuk tempat ini adalah Baitul Maqdis yang secara harfiah bermakna “Bait (Rumah) Suci”. Dalam bahasa Ibrani disebut Beit HaMikdash. Istilah lain yang juga kerap digunakan untuk merujuk kepada tempat ini dalam bahasa Ibrani adalah adalah Har HaBáyit, secara harfiah bermakna “Bukit Bait” atau “Bukit Kuil”. Maknanya adalah Bukit Bait Tuhan atau Bukit Rumah Tuhan.

Sejarah

Masa Bani Israel

Bukit tempat Masjid Al Aqsha berada dipercaya telah dihuni sejak millenium keempat sebelum Masehi. Menurut Alkitab Ibrani, Nabi Dawud (Raja Daud) membeli sebidang tanah di Yerusalem dari salah satu suku Yebus, suku Kan’an untuk dibangun sebuah tempat ibadah di atasnya. Namun keinginan itu baru terwujud pada masa putra dan penerusnya, Sulaiman (Salomo), yang kemudian membangun tempat ibadah yang dikenal dengan Bait Suci pertama, Bait Salomo, atau Kuil Sulaiman. Lokasi pasti dari Bait Suci pertama ini masih tidak diketahui, tetapi dipercaya berada pada tempat yang sekarang menjadi kompleks Masjid Al Aqsha.

Masa kekuasaan Persia, Hashmonayim, dan Herodes

Setelah Nebukadnezar II, Raja Babilonia, menghancurkan Bait Suci pertama pada 586 SM, Raja Koresh yang Agung memulai pembangunan Bait Suci kedua pada tahun 538 SM. Sekitar tahun 19 SM, Raja Herodes yang Agung membangun ulang dan memperlebar Bait Suci, melibatkan sampai 10.000 pekerja.[21]

Pada tahun 66 M, umat Yahudi melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Romawi. Empat tahun kemudian, pasukan Romawi di bawah kepemimpinan Titus Flavius Vespasianus menyerang dan menghancurkan Yerusalem beserta Bait Suci kedua.

Masa Romawi

Pada tahun 130 M, Kaisar Hadrianus menjanjikan untuk membangun ulang Yerusalem, tetapi umat Yahudi merasa dikhianati karena sang kaisar hendak membangun kota berdasarkan kepercayaan pagannya, juga hendak membangun kuil yang dipersembahkan bagi pemujaan Dewa Yupiter di bekas reruntuhan Bait Suci kedua. Ketegangan antara pemerintah Romawi dan umat Yahudi semakin memanas saat sang kaisar juga melarang perintah sunat yang dipandang sebagai sebentuk mutilasi bagi kaisar yang menganut seorang penganut Helenis taat. Hal ini berujung pada pemberontakan yang dipimpin Simon Bar Kokhba. Namun pemberontakan itu berhasil dihancurkan pihak Romawi pada tahun 135 M. Akibatnya, umat Yahudi diusir dari Palestina, dilarangnya penggunaan hukum Taurat dan penanggalan Yahudi, dan menghukum mati ahli Yahudi. Kaisar Hadrianus membangun ulang kota Yerusalem sebagai sebuah kota Romawi bernama Aelia Capitolina dan umat Yahudi dilarang memasukinya. Di sisi lain, agama Kristen mulai bangkit dan menyebar di tubuh Kekaisaran Romawi hingga pada akhirnya menjadi agama resmi negara. Kaisar Konstantinus I melakukan kristenisasi masyarakat Romawi dan mengunggulkannya atas pemujaan paganisme. Kuil Yupiter yang dibangun Kaisar Hadrianus di reruntuhan Bait Suci kedua dihancurkan segera setelah Konsili Nicea I atas perintah Konstantinus I.

Keponakan Konstantin, Kaisar Flavius Claudius Julianus memberikan izin kepada umat Yahudi kembali dan membangun ulang Bait Suci mereka pada tahun 363.[22][23] Julianus sendiri memandang bahwa Tuhan umat Yahudi merupakan anggota yang sesuai untuk Dewa-Dewa Pantheon yang dia percaya, selain dia juga adalah penentang kuat Kristen.[22][24] Sejarawan gereja menyatakan bahwa umat Yahudi mulai membersihkan puing-puing di Bukit Bait, tetapi gagal lantaran gempa bumi dan kemudian kemunculan api dari dalam bumi.[25] Namun bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa terdapat bangunan gereja, biara, atau bangunan umum lain yang berdiri di atas Bukit Bait pada masa kekuasaan Romawi Timur.[26]

Masa Sasania

Pada tahun 610, Kekaisaran Sasania Persia mengalahkan Romawi dan merebut Palestina. Umat Yahudi diberi wewenang untuk mendirikan negara bawahan dan mulai membangun Bait Suci. Namun lima tahun kemudian, Romawi kembali mengambil alih Palestina dan umat Kristen menghancurkan Bait Suci yang belum selesai pembangunannya dan menjadikan tempat itu sebagai tempat pembuangan sampah.[27]

Masa kekhalifahan

Pada tahun 637, umat Islam mengambil alih kepemimpinan atas Yerusalem dari tangan Romawi Timur pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab. Kompleks reruntuhan Bait Suci, dikenal sebagai Masjid Al Aqsha atau Baitul Maqdis oleh umat Islam, ditemukan Umar dalam keadaan tidak terawat. Meski begitu, Umar kemudian menemukan Batu Fondasi atas bantuan Ka’b Al Ahbar, seorang Yahudi yang telah masuk Islam. Batu ini diyakini sebagai titik pijakan Nabi Muhammad naik ke langit dalam kepercayaan umat Islam dan tempat Nabi Ibrahim (Abraham) hendak menyembelih anaknya, Ishaq, dalam kepercayaan umat Yahudi. Al Ahbar mengusulkan untuk membangun masjid di sebelah utara batu tersebut agar umat Islam dapat menghadap ke arah Ka’bah dan batu tersebut dalam satu garis lurus saat shalat. Namun Umar menolak gagasan itu dan membangun masjid di selatan batu.[28] Pernyataan saksi mata yang pertama diketahui berasal dari Arcluf yang mengunjungi Masjid Al Aqsha pada tahun 670. Berdasar pernyataan Arcluf yang dicatat oleh Adomnán, dia melihat bangunan ibadah kayu persegi panjang dibangun di atas reruntuhan dan dapat menampung setidaknya 3.000 jamaah.[29][30]

Pada masa Kekhalifahan Umayyah, mulai didirikan beberapa bangunan di tanah Masjid Al Aqsha. Pada tahun 691, didirikan sebuah bangunan segi delapan berkubah yang menaungi Batu Fondasi oleh Khalifah Abdul Malik. Bangunan itu yang kemudian dikenal dengan Kubah Shakhrah, secara harfiah bermakna kubah batu.

Masa Ksatria Salib

Setelah kemenangan umat Kristen pada Perang Salib Pertama pada tahun 1099, kepemimpinan Yerusalem beralih ke tangan umat Kristen. Umat Muslim berlindung di Masjid Al Aqsha, tetapi hal tersebut tidak menolong. Gesta Francorum menyatakan “(Orang-orang kita) membunuh dan menyembelih bahkan di Bait Salomo (Masjid Al Aqsha), pembantaian begitu besar sampai orang-orang kita mengarungi darah setinggi mata kaki.” Fulcher, pendeta yang turut serta dalam Perang Salib pertama, menyatakan, “Di Bait (Suci) 10.000 orang terbunuh. Memang, jika Anda di sana, Anda akan melihat kaki Anda diwarnai darah dari orang-orang yang terbunuh sampai mata kaki. Tapi apa lagi yang harus saya hubungkan? Tak satupun dari mereka dibiarkan hidup, baik wanita maupun anak-anak tidak diampuni.” [31] Setelah peristiwa ini, Kerajaan Kristen Yerusalem didirikan. Jami' Al Aqsha diubah menjadi istana kerajaan dengan nama Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo) dan Kubah Shakhrah diubah menjadi gereja dengan nama Templum Domini (Kuil atau Bait Tuhan).

Masa kekhalifahan dan Israel

Kepemimpinan Yerusalem beralih kembali ke tangan umat Islam pada 1187 setelah kemenangan Shalahuddin Al Ayyubi. Semua jejak dan bekas peribadahan Kristen di Masjid Al Aqsha dihilangkan dan kompleks tersebut kembali kepada kegunaan asalnya. Kewenangan umat Islam terhadap Masjid Al Aqsha cenderung tanpa gangguan hingga lepasnya wilayahnya Palestina dari Utsmaniyyah. Setelah Perang Enam Hari, pemerintah Israel mengambil alih kepemimpinan Kota Lama Yerusalem, termasuk di dalamnya Masjid Al Aqsha. Kepala Rabi dari Pasukan Pertahanan Israel, Shlomo Goren, memimpin pasukan melaukan perayaan keagamaan di Masjid Al Aqsha dan Tembok Barat dan mengeluarkan maklumat untuk menjadikan hari tersebut sebagai hari raya “Yom Yerushalayim” (Hari Yerusalem). Beberapa hari setelah itu, 200.000 umat Yahudi berbondong-bondong mendatangi Tembok Barat dan ini adalah ziarah massal pertama umat Yahudi ke kompleks ini sejak tahun 70 M. Awalnya pihak berwenang Muslim tidak menghalangi Goren ketika dia beribadah di Masjid Al Aqsha, hingga pada hari Tisha B’Av dia membawa lima puluh pengikutnya sembari membawa dan mengenalkan shofar (terompet Yahudi) dan tabut portable saat ibadah, membuat ini dipandang sebagai peringatan keras bagi Lembaga Waqaf Yerusalem yang menggiring kepada buruknya hubungan antara pemerintah Israel dan pihak berwenang Muslim.[32]

Pada Juni 1969, seorang Australia berusaha membakar Jami' Al Aqsha. Pada 11 April 1982, seorang Yahudi bersembunyi di Kubah Shakhrah dan melepaskan tembakan, membunuh dua orang Palestina dan 44 terluka. Pada 1974, 1977, dan 1983, kelompok yang dipimpin Yoel Lerner merancang makar untuk meledakkan Kubah Shakhrah dan Jami' Al Aqsha. Pada 26 Januari 1984, penjaga menemukan anggota B’nei Yehuda mencoba menyusup ke dalam kawasan Masjid Al Aqsha dan meledakkannya. Pada 8 Oktober 1990, pasukan Israel yang berpatroli di daerah tersebut memblokir jamaah untuk masuk ke Al Aqsha. Gas air mata ditembakkan kepada jamaah wanita yang menyebabkan ketegangan meningkat. Pada tanggal 12 Oktober 1990, umat Islam Palestina memprotes keras niat beberapa orang Yahudi untuk meletakkan batu penjuru di lokasi Kuil Baru sebagai awal penghancuran masjid-masjid Muslim.Upaya tersebut dihambat oleh pihak berwenang Israel , tetapi para demonstran dilaporkan secara luas karena telah melempari batu kepada umat Yahudi di Tembk Barat. Menurut sejarawan Palestina Rasyid Khalidi, jurnalisme investigatif menunjukkan bahwa tuduhan ini salah. Batu-batu akhirnya dilempar sementara pasukan keamanan melepaskan tembakan yang menewaskan 21 orang dan melukai 150 lainnya. Pada bulan Desember 1997, Badan Keamanan Israel mendahului upaya ekstrimis Yahudi untuk melempar kepala babi yang terbungkus halaman Al Qur’an ke daerah tersebut untuk menyulut kerusuhan dan mempermalukan pemerintah.

 
Husain, Raja Yordania (berkuasa tahun 1952–1999)

Antara tahun 1992 sampai 1994, pemerintah Yordania melapisi kubah dari Kubah Shakhrah dengan 5.000 pelat emas. Mimbar Shalahuddin juga dipulihkan. Perbaikan ini diperintahkan Husain, Raja Yordania, dengan anggaran pribadi sebanyak $8 juta.

Pada 28 September 2000, pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon mengunjungi Masjid Al Aqsha bersama dengan utusan Partai Likud dan sejumlah polisi anti huru-hara Israel. Kunjungan itu dipandang sebagai isyarat provokatif bagi rakyat Palestina yang kemudian berkumpul di tempat tersebut. Demonstrasi dengan cepat berubah menjadi kerusuhan dan ini menjadi pemicu terjadinya Intifadhah Kedua.

Keadaan kembali memanas saat tiga pria keturunan Arab melakukan tembakan terhadap dua polisi Israel pada Jum’at, 14 Juli 2017. Sebagai tanggapan atas peristiwa tersebut, dua pria itu ditembak mati setelah sebelumnya mencoba melarikan diri dan melakukan penutupan atas Masjid Al Aqsha dan melarang Muslim Palestina untuk shalat di sana. Mufti Agung Yerusalem, Syaikh Muhammad Ahmad Husain mengecam penutupan tersebut dan kemudian ditahan oleh polisi Israel setelah memimpin doa terbuka di dekat tempat kejadian perkara, meski kemudian dibebaskan dengan sejumlah jaminan.[33]

Nilai penting

Yahudi

Masjid Al Aqsha atau Bukit Bait Suci adalah tempat paling suci dalam keyakinan Yahudi, yang menjadi tempat hadirnya keberadaan Ilahi lebih dari di tempat lain dan menjadi tempat umat Yahudi menghadap dalam berdoa. Dikarenakan kesuciannya yang sangat, banyak Yahudi yang sengaja tidak berjalan di bukit itu sendiri untuk mencegah wilayah tempat ruang mahakudus berada, karena berdasarkan hukum rabbi, beberapa bagian dari keberadaan Ilahi masih berada di kompleks tersebut.[34]

Keterikatan umat Yahudi atas kompleks ini bisa dikatakan lantaran keberadaan Batu Fondasi yang, menurut para rabbi, merupakan tempat asal dunia diciptakan dan berkembang hingga menjadi seperti sekarang. Beberapa tradisi Yahudi juga menyatakan bahwa tempat itu merupakan tempat beberapa kejadian penting terjadi yang diterangkan dalam Alkitab, seperti penyembelihan Ishaq, mimpi Ya’qub, dan doa Ishaq dan Ribka.[35]

Umat Yahudi percaya bahwa Bait Suci pertama dan kedua berdiri di tempat yang sekarang menjadi kompleks Masjid Al Aqsha modern, meskipun bukti-bukti arkeologi hanya mengungkapkan keberadaan Bait Suci kedua.[36] Umat Yahudi meyakini bahwa Bait Suci ketiga kelak akan dibangun di kompleks Masjid Al Aqsha oleh Mesias. Namun sejumlah kelompok Yahudi menganjurkan pembangunan Bait Suci ketiga tanpa penundaan lagi demi mewujudkan “rencana kenabian akhir zaman Israel dan seluruh dunia.” [37]

Kristen

Keberadaan dan nilai penting dari Bait Suci disebutkan dalam Perjanjian Lama Kristen. Dalam Perjanjian Baru juga disebutkan bahwa Bait Suci kedua merupakan tempat beberapa peristiwa penting dalam kehidupan Yesus (Nabi Isa).[38][39][40] Setelah penghancuran Bait Suci pada tahun 70 M, umat Kristen mula-mula memandang bahwa peristiwa ini sebagai bentuk hukuman Ilahi kepada umat Yahudi.[41][42] Bukit Bait Suci kehilangan arti pentingnya untuk ibadah Kristen dan menganggapnya sebagai penggenapan nubuat Yesus, misalnya di Matius 23:28 atau 24:2, sebagai bukti pemenuhan nubuat Alkitab dan kemenangan umat Kristen atas bangsa Yahudi.[43] Umat Kristen Romawi, meskipun ada beberapa tanda-tanda pengerjaan pembangunan di lapangan terbuka,[44] umumnya cenderung mengabaikan Bukit Bait Suci, terutama ketika upaya umat Yahudi untuk membangun ulang Bait Suci terhalang karena gempa bumi tahun 363,[45] yang pada akhirnya justru menjadi tempat pembuangan sampah kota.[46] Pusat peribadatan umat Kristen di Yerusalem sendiri terpusat ke Gereja Makam Kudus dan peran Yerusalem sebagai pusat Kekristenan diganti oleh Roma.[47]

Islam

Masjid Al Aqsha adalah tempat suci ketiga umat Islam setelah Masjid Al Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Dalam kepercayaan umat Islam, Masjid Al Aqsha adalah tempat ibadah tertua di dunia setelah Masjid Al Haram. Imam Muslim menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzar Al-Ghifari:

Saya bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai masjid yang mula-mula dibangun di atas bumi ini.
Rasulullah saw. menjawab, "Masjid Al-Haram."
Saya bertanya, "Kemudian masjid mana?"
Rasulullah saw. menjawab, "Masjid Al Aqsha."
Saya bertanya, "Berapa jarak waktu antara keduanya?"
Rasulullah saw. menjawab, "Empat puluh tahun. Kemudian seluruh bumi Allah adalah tempat sujud bagimu. Maka di manapun kamu mendapati waktu salat, maka shalatlah."[48][49]

Saat kepemimpinan Yerusalem diambil alih umat Islam pada tahun 638, Masjid Al Aqsha berupa puing-puing dan tempat pembuangan sampah. Umar bin Khaththab kemudian memerintahkan pembersihan[50] dan memberi akses pada umat Yahudi ke dalam kompleks tersebut.[51] Tempat ini kemudian dijadikan pusat wilayah Muslim di Yerusalem karena sudah ditinggalkan umat Kristen, untuk menghindari mengganggu wilayah bagian Kristen di Yerusalem.[52] Pada masa-masa selanjutnya, pemerintah Muslim mendirikan beberapa bangunan di kawasan Masjid Al Aqsha yang dulunya berupa puing-puing tersebut, di antaranya adalah Jami' Al Aqsha yang berada di bagian selatan kawasan tersebut. Batu Fondasi yang berada di tengah kompleks ditutup dengan bangunan yang kemudian menjadi Kubah Shakhrah (secara harfiah bermakna Kubah Batu).

Maimunah binti Sa’ad dalam hadits tentang berziarah ke Masjid Al Aqsha menyebutkan, "Ya Nabi Allah, berikan fatwa kepadaku tentang Baitul Maqdis." Nabi bersabda, "Tempat dikumpulkannya dan disebarkannya (manusia). Maka datangilah ia dan shalat di dalamnya, karena shalat di dalamnya seperti salat 1.000 rakaat di selainnya." Maimunah berkata lagi, "Bagaimana jika aku tidak bisa?" "Maka berikanlah minyak untuk penerangannya. Barang siapa yang memberikannya maka seolah ia telah mendatanginya."[53][54][55] Kompleks ini juga memiliki keterikatan dengan para nabi dan tokoh penting yang juga dihormati dan disucikan oleh umat Islam, seperti Ibrahim (Abraham), Dawud (Daud), Sulaiman (Salomo), Zakariyya, Yahya (Yohanes Pembaptis), Maryam (Maria), dan Isa (Yesus).

Isra' Mi'raj

Isra Mi'raj adalah perjalanan yang dilakukan Muhammad dari Masjid Al Haram menuju Masjid Al Aqsha, dan kemudian naik ke surga.[56][57] Dalam kitab Shahih Bukhari dijelaskan bahwa Muhammad dalam perjalanan tersebut mengendarai Al-Buraq[58] dan setibanya di sana ia shalat dua rakaat di Bukit Bait Suci. Setelah usai, malaikat Jibril membawanya naik ke surga, di mana ia bertemu dengan beberapa nabi lainnya, dan kemudian menerima perintah dari Allah yang menetapkan kewajiban bagi umat Islam agar menjalankan shalat lima waktu setiap harinya.[59][60] Ia kemudian kembali ke Mekkah.

Kiblat pertama

Sejarah penting Masjid Al Aqsha dalam Islam juga mendapatkan penekanan lebih lanjut, karena umat Islam ketika shalat pernah berkiblat ke arah Al Aqsha selama empat belas atau tujuh belas bulan[61] setelah peristiwa hijrah mereka ke Madinah tahun 624.[62] Menurut Allamah Thabathaba'i, Allah menyiapkan umat Islam untuk perpindahan kiblat tersebut, pertama-tama dengan mengungkapkan kisah tentang Ibrahim dan anaknya Ismail, doa-doa mereka untuk Ka'bah dan Mekkah, upaya mereka membangun Baitullah (Ka'bah), serta perintah membersihkannya untuk digunakan sebagai tempat beribadah kepada Allah. Kemudian diturunkanlah ayat-ayat Al Qur'an yang memerintahkan umat Islam untuk menghadap ke arah Masjid Al Haram dalam salat mereka.[59]

Perubahan arah kiblat adalah alasan Umar bin Khattab, salah seorang Khulafaur Rasyidin, tidak shalat menghadap Batu Fondasi atau Ash Shakhrah di Bukit Bait Suci ataupun membangun bangunan di sekitarnya; meskipun ketika Umar tiba di sana pada tahun 638, ia mengenali batu tersebut yang diyakini sebagai tempat Muhammad memulai perjalanannya naik ke surga. Hal ini karena berdasarkan yurisprudensi Islam, setelah arah kiblat berpindah, maka Kab'ah di Mekkah telah menjadi lebih penting daripada tempat batu Ash Shakhrah di Bukit Bait Suci tersebut.[63]

Berdasarkan riwayat-riwayat yang umum dikenal dalam tradisi Islam, Umar memasuki Yerusalem setelah penaklukannya pada tahun 638. Ia diceritakan bercakap-cakap dengan Ka'ab Al-Ahbar, seorang Yahudi yang telah masuk Islam dan ikut datang bersamanya dari Madinah, mengenai tempat terbaik untuk membangun sebuah masjid. Al Ahbar menyarankan agar masjid dibangun di belakang batu Ash-Shakhrah "... maka seluruh Al-Quds (berada) di depan Anda". Umar menjawab, "Ka'ab, Anda sudah meniru ajaran Yahudi".[64] Namun, segera setelah percakapan ini Umar dengan jubahnya mulai membersihkan tempat yang telah dipenuhi dengan sampah dan puing-puing tersebut. Demikian pula kaum Muslim pengikutnya turut serta membersihkan tempat itu. Umar kemudian mendirikan shalat di tempat yang diyakini sebagai tempat salat Muhammad pada saat Isra Mi'raj, dan Umar di tempat itu membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dari Surah Sad.[63] Oleh karenanya, berdasarkan riwayat tersebut maka Umar dianggap telah menyucikan kembali situs tersebut sebagai masjid.[65]

Mengingat kesucian Bukit Bait Suci, sebagai tempat yang dipercayai pernah digunakan untuk berdoa oleh Ibrahim, Dawud, dan Sulaiman, maka Umar mendirikan sebuah rumah ibadah kecil di sudut sebelah selatan area tersebut. Ia secara berhati-hati menghindarkan agar batu Ash Shakhrah tidak terletak segaris lurus di antara masjid itu dan Ka'bah, sehingga umat Islam hanya akan menghadap ke arah Mekkah saja ketika mereka shalat.[63]

Status keagamaan

 
Gambar di dinding sebuah rumah di Tunisia, menampilkan tiga tempat suci Islam.

Yerusalem oleh banyak kalangan umat Islam dianggap sebagai tempat yang suci, sesuai penafsiran mereka atas ayat-ayat suci Al Qur'an dan berbagai hadist. Abdallah El Khatib berpendapat bahwa kira-kira terdapat tujuh puluh tempat di dalam Al Qur'an di mana Yerusalem disebutkan secara tersirat.[66] Yerusalem juga sering disebut-sebut di dalam kitab-kitab hadist. Beberapa akademisi berpendapat bahwa status kesucian Yerusalem mungkin dipengaruhi oleh meningkatnya penyebarnya sejenis genre sastra tertentu, yaitu Al Fadhail (sejarah kota-kota); sehingga kaum Muslim yang terinspirasi, khususnya selama periode Umayyah, mengangkat status kesucian kota itu melebihi statusnya menurut kitab suci.[67] Akademisi-akademisi lainnya mempertanyakan keberadaan motif-motif politik Dinasti Umayyah, sehingga Yerusalem kemudian dianggap suci bagi umat Islam.[68]

Naskah-naskah abad pertengahan, sebagaimana pula tulisan-tulisan politis era modern ini, cenderung menempatkan Masjid Al Aqsha sebagai tempat suci ketiga bagi umat Islam.[69] Sebagai contoh, kitab Sahih Bukhari mengutip Abu Hurairah dari Nabi Muhammad SAW, yang mengatakan, "Janganlah perjalanan itu memberatkan (kamu) kecuali ke tiga masjid yaitu Masjid Al-Haram, Masjid Rasulullah SAW, dan Masjid Al Aqsha."[70] Selain itu, Organisasi Konferensi Islam (yang alasan pendiriannya adalah "untuk membebaskan Al Aqsha dari pendudukan Zionis [Israel]") menyebut Masjid Al Aqsha dalam sebuah resolusi yang mengutuk tindakan-tindakan Israel pada kota itu, sebagai tempat tersuci ketiga bagi umat Islam.[71]

Bagian-bagian Masjid Al Aqsha

   
Dua bagian utama Masjid Al Aqsha. Kiri: Masjid Al Qibli atau Jami' Al Aqsha. Kanan: Kubah Shakhrah

Luas keseluruhan kompleks Masjid Al Aqsha adalah sekitar 144.000 meter persegi dan dapat menampung 400.000 jamaah. Beberapa bangunan yang terdapat dalam Masjid Al Aqsha adalah:

Masjid Al Qibli atau Jami' Al Aqsha

Masjid Al Qibli (bahasa Arab:المسجد القِبْلي) atau Jami' Al Aqsha (bahasa Arab:الجامع الاقصى) adalah tempat shalat yang berada di Masjid Al Aqsha bagian selatan. Ciri khas dari bangunan ini adalah kubah biru keabu-abuannya. Luas bangunan ini sekitar 35.000 meter persegi dan dapat menampung sekitar 5.000 jamaah.

Ada beberapa pendapat terkait waktu Masjid Al Qibli atau Jami' Al Aqsha pertama kali dibangun. Pendapat yang paling masyhur adalah Jami' Al Aqsha adalah tempat Umar bin Khaththab melaksanakan shalat jamaah saat berkunjung ke Yerusalem dan Umar pula yang memerintahkan pendirian bangunan tersebut.[19][28][63] Awalnya Umar sengaja untuk tidak membuat Kubah Shakhrah, mihrab Jami' Al Aqsha, dan Ka'bah tidak berada pada satu garis lurus. Namun saat Jami' Al Aqsha dibangun ulang oleh Kekhalifahan Umayyah, mihrab masjid tersebut digeser 40 meter ke barat sehingga mihrab masjid segaris lurus dengan Kubah Shakhrah di utara dan Ka'bah di selatan. Mihrab lama dalam masjid diberi nama "mihrab Umar."

Sejarawan arsitektur, Sir Archibal Creswell, merujuk pada pendapat seorang biarawan Galia bernama Arculf yang berziarah ke Palestina pada 679-682, berpendapat bahwa Umar bin Khaththab mungkin adalah orang yang pertama kali mendirikan bangunan persegi empat berkapasitas 3.000 jamaah di suatu tempat di komples Al Aqsha. Meskipun begitu, ada kemungkinan bahwa Muawiyah, khalifah kedua dari Dinasti Umayyah, yang sebenarnya memerintahkan pembangunan dan bukan Umar. Pendapat terakhir ini didukung oleh tulisan dari ulama Yerusalem awal Al-Mutahhar bin Tahir Al-Maqdisi.[72]

Setelah Perang Salib Pertama, tentara Salib menduduki Yerusalem dan turut menguasai Masjid Al Aqsha pada 1099. Jami' Al Aqsha atau Masjid Al Qibli diubah menjadi istana kerajaan dengan nama Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo). Fungsi Jami' Al Aqsha dikembalikan seperti semula setelah Shalahuddin Al Ayyubi mengambil alih kepemimpinan Yerusalem berikut Masjid Al Aqsha setelah kemenangannya pada Perang Salib Kedua.

Kubah Shakhrah

Kubah Shakhrah atau Kubah Batu (bahasa Arab:قبة الصخرة, Qubbat Ash Shakhrah; bahasa Inggris: Dome of the Rock) adalah bangunan berbentuk persegi delapan berkubah emas yang berdiri di Masjid Al Aqsha bagian tengah. Bangunan ini diperkirakan dibangun pada masa Khalifah Bani Umayyah Abdul Malik dan putranya, Al Walid I. Menurut Sibt Ibn Jauzi, pembangunan Kubah Shakhrah dimulai sejak tahun 687. Bangunan ini sempat menjadi gereja bernama Templum Domini (Kuil atau Bait Tuhan) selama di bawah kepemimpinan Kerajaan Kristen Yerusalem.

Bangunan ini menaungi sebuah batu (shakhrah) yang dalam kepercayaan umat Yahudi disebut Even ha-Shtiyya atau Batu Fondasi dan menjadi tempat paling suci dalam kepercayaan Yahudi. Umat Yahudi di seluruh dunia berdoa menghadap ke arah batu ini. Batu ini juga diyakini sebagai tempat Nabi Ibrahim (Abraham) hendak mengorbankan putranya, Ishaq. Sedangkan menurut pendapat beberapa ulama, batu ini juga yang merupakan titik Nabi Muhammad berpijak[73] menuju ke langit saat peristiwa Isra’ Mi’raj.

Mushala Al Marwani

Mushala Al Marwani (bahasa Arab:المصلى المرواني‎‎) adalah ruang bawah tanah seluas 500 meter persegi yang digunakan sebagai tempat shalat. Letaknya berada di Masjid Al Aqsha bagian tenggara. Tempat ini mulai digunakan sebagai tempat shalat pada Desember 1996 dengan menambahkan penerangan dan ubin. Mushala Al Marwani menjadi tempat shalat terluas di Masjid Al Aqsha, bahkan melebihi Jami' Al Aqsha sendiri, dengan daya tampung mencapai 10.000 jamaah.

Pada masa pendudukan Tentara Salib, tempat ini dinamakan “Kandang Kuda Salomo (Sulaiman).” Nama Salomo mengacu pada Bait Suci yang diyakini dibangun oleh Sulaiman (Salomo) di kompleks tersebut, sedangkan ‘kandang kuda’ mengacu pada fungsinya sebagai kandang kuda oleh Tentara Salib pada masa Baldwin, Raja Yerusalem yang berkuasa pada 1118-1131 M.[74] Menurut peneliti Yordania, Raef Yusuf Najm, Mushala Al Marwani dulunya adalah penampungan air yang dibangun pada masa Hadrianus, Kaisar Romawi, pada abad kedua.[75]

Kubah Kenaikan (Mi’raj)

Kubah Mi’raj (bahasa Arab: قبة المعراج, Qubbat Al Mi'raj; bahasa Inggris: Dome of the Ascension) adalah kubah mandiri yang berdiri di sebelah utara Kubah Shakhrah. Bangunan ini didirikan oleh Tentara Salib sebagai bagian dari Templum Domini, sangat mungkin digunakan untuk tempat pembaptisan. Dokumen Arab tertanggal 1200-1201 menyatakan bahwa bangunan ini dipersembahkan ulang untuk wakaf.[76][77]

Kubah Silsilah

Kubah Silsilah atau Kubah Rantai (bahasa Arab: قبة السلسلة, Qubbat As Silsilah; bahasa Inggris: Dome of the Chain) adalah kubah mandiri yang berdiri di sebelah timur Kubah Shakhrah. Kubah ini didirikan pada tahun 691 oleh Khalifah Umayyah, Abdul Malik.[78][79] Tidak diketahui kegunaan awal kubah ini.[80] Pada masa pendudukan Tentara Salib, bangunan ini menjadi kapel yang dipersembahkan kepada Santo Yakobus yang diyakini gugur di titik ini. Sekarang tempat ini menjadi mushala untuk umat Islam. Sebelum dibangun ulang oleh Kekhalifahan Umayyah, letak Ka'bah, mihrab Jami' Al Aqsha, dan tempat yang sekarang menjadi Kubah Silsilah berada dalam satu garis lurus.

Kubah Nabi

Kubah Nabi (bahasa Arab: فبة النبي) atau Kubah Jibril adalah kubah mandiri yang berada di Masjid Al Aqsha sebelah utara dan lebih digunakan sebagai monumen simbolis daripada bangunan keagamaan. Kubah ini didirikan pada tahun 1538 oleh Muhammad Bey, Gubernur Yerusalem pada masa Utsmaniyah.[81][82] Sebagian menyatakan bahwa Kubah Nabi adalah tempat Nabi Muhammad berdiri mengimami para Nabi dalam shalat jamaah pada peristiwa Isra’ Mi’raj.

Al Mawazin

Al Mawazin adalah delapan gerbang yang berdiri mandiri yang berdiri mengelilingi Kubah Batu. Setiap gerbang terdiri dari dua sampai empat lengkungan.

Museum Islam

Museum Islam ini berdiri di dekat Jami' Al Aqsha. Tempat ini menjadi ruang pertemuan untuk Madrasah Fakhruddin Muhammad, madrasah yang didirikan pada masa Al Mansur Qalawun, Sultan Mamluk Mesir, pada 1282 M. Tempat ini kemudian dijadikan museum pada 1923.

Beberapa benda yang dipamerkan di museum ini adalah ceret sup tembaga besar yang pernah digunakan di Haseki Sultan Imaret, dapur umum untuk kaum papa yang didirikan Hürrem Sultan, permaisuri dari Suleiman Al Qanuni, Sultan Utsmani. Di sini juga ditampilkan meriam penanda waktu berbuka puasa Ramadhan, beberapa koleksi senjata, dan sisa-sisa mimbar yang dibangun Nururuddin Zangi sekitar tahun 1170 dan dihancurkan oleh turis Australia pada 1969, dan pakaian berlumuran darah milik 17 orang Palestina yang tewas pada kerusuhan Al Aqsha tahun 1990.[83] Museum ini juga menampilkan enam ratus salinan Al Qur’an yang disumbangkan kepada Masjid Al Aqsha pada masa pemerintahan Umayyah, Abbasiyyah, Fatimiyyah, Mamluk, dan Utsmani.

Air Mancur Qayt Bay

Air mancur Qayt Bay adalah air mancur umum yang terletak di Masjidil Aqsha bagian barat,[79] lima puluh meter sebelah barat Kubah Shakhrah.[84] Air mancur ini dibangun pada tahun 1455 atas perintah Al Ashraf Saifuddin Enal, Sultan Mesir, dan dibangun ulang oleh penerusnya, Sultan Qayt Bay.

Air Mancur Qasim Pasya

Air mancur Qasim Pasya (bahasa Arab: سبيل قاسم باشا), juga dikenal dengan Air Mancur Jeruk Pahit, adalah air mancur tempat wudhu dan minum yang terletak di pelataran barat Masjid Al Aqsha di Kota Lama Yerusalem. Bangunan ini terletak di depan Gerbang Silsilah.[79] Yerusalem Utsmaniyyah, pada tahun 1527 dan menjadi bangunan umum pertama di kompleks Masjid Al Aqsha pada masa pemerintahan Turki Utsmani.

Gerbang-Gerbang

Urutan gerbang Masjidil Aqsha berlawanan arah jarum jam.

  • Gerbang Asbat (Bab Al Asbat) berada di bagian timur laut Masjidil Aqsha.
  • Gerbang Pengampunan (Bab Al Huttah) berada di bagian utara Masjid Al Aqsha.
  • Gerbang Kegelapan (Bab Al Atim) berada di bagian utara Masjid Al Aqsha.
  • Gerbang Bani Ghanim (Bab Al Ghawanima‎‎) berada di bagian barat laut Masjid Al Aqsha.
  • Gerbang Istana (Bab As Saray) berada di bagian utara tembok barat.
  • Gerbang Majelis (Bab Al Majlis), dikenal juga dengan Gerbang Pemeriksa (Bab An Nazir), berada di bagian utara tembok barat.
  • Gerbang Besi (Bab Al Hadid), berada di bagian barat Masjid Al Aqsha.
  • Gerbang Pedagang Kapas (Bab Al Qattanin), dibangun oleh pemimpin Damaskus, Tankiz, pada masa kekuasaan Ibnul Qawun, Sultan Mamluk Mesir. *Gerbang ini adalah tempat paling dekat seseorang dapat mendekat di Batu Fondasi tanpa menginjakkan kaki di bukit tersebut, sehingga tempat ini menjadi tempat yang sering dikunjungi umat Yahudi untuk beribadah.
  • Gerbang Penyucian (Bab Al Matharah), berada di bagian barat Masjid Al Aqsha.
  • Gerbang Salam (Bab As Salam) atau Gerbang Sakina (Bab As Sakina), berada di bagian tengah tembok barat Al Aqsha.
  • Gerbang Rantai atau Gerbang Silsilah (Bab As Silsilah), berada di bagian barat Al Aqsha.
  • Gerbang Moor atau Gerbang Mughrabi, berada di bagian barat Al Aqsha.

Menara masjid

Masjid ini memiliki empat menara di sisi selatan, utara, dan barat.[85] Menara pertama, dikenal sebagai Al Fakhariyyah, dibangun pada tahun 1278 di bagian barat daya masjid atas perintah Sultan Mamluk, Lajin. Menara ini dibangun dalam gaya tradisional Suriah, dengan landasan dan poros bangunan berbentuk persegi, serta dibagi menjadi tiga lantai dengan cetakan hias. Pada bagian atasnya terdapat dua deret muqarnas (ceruk hias) sebagai dekorasi untuk balkon muazin. Ceruk hias ini dilingkupi oleh suatu bilik persegi yang pada bagian atasnya terdapat kubah batu berlapis timah.[86]

 
Menara Al Ghawanimah, 1900.

Menara kedua, yang dikenal dengan nama Al Ghawanimah, dibangun di sisi barat laut kompleks Al Aqsha pada tahun 1297–1298 oleh arsitek Qadi Sharafuddin Al Khalili, atas perintah Sultan Lajin. Menara ini memiliki tinggi 37 meter[86] dan hampir seluruhnya terbuat dari batu, selain dari kanopi kayu yang terletak di atas balkon muazin. Dikarenakan struktur bangunannya yang kokoh, menara Al Ghawanimah hampir tidak terpengaruh oleh berbagai gempa bumi yang terjadi. Menara ini dibagi menjadi beberapa tingkat oleh cetakan batu dan galeri-galeri dengan bentuk hiasan menyerupai stalaktit. Dua tingkat pertama berukuran lebih luas dan menjadi landasan menara. Keempat tingkat selanjutnya dilingkupi oleh ruangan berbentuk silinder dan sebuah kubah bulat. Tangga untuk dua lantai pertama terletak di luar bangunan, tetapi kemundian menjadi tangga dalam berbentuk spiral sejak dari lantai tiga sampai mencapai balkon muazin.[87]

Tankiz, gubernur Mamluk di Suriah, pada tahun 1329 memerintahkan pembangunan menara ketiga yang dikenal sebagai Bab As Silsilah. Menara ini terletak di sisi barat Jami' Al Aqsha. Menara ini, yang mungkin dibangun untuk menggantikan menara Umayyah sebelumnya, dibangun berbentuk persegi menurut gaya tradisional Suriah dan seluruhnya terbuat dari batu.[88] Berdasarkan tradisi lama Muslim setempat muazin terbaik melakukan azan dari menara ini, karena seruan azan pertama untuk setiap awal shalat lima waktu selalu dikumandangkan dari sini.[86]

Tembok Ratapan

Tembok Ratapan adalah tembok bagian barat Masjid Al Aqsha yang asalnya dibangun setelah perluasan Bait Suci kedua. Tembok ini dipandang suci karena ini adalah bagian yang tersisa dari tembok kuno yang merupakan bagian dari Bait Suci kedua.[89][90] Tempat ini menjadi tempat berdoa bagi umat Yahudi. Tembok ini juga disebut Tembok Buraq karena diyakini tempat inilah buraq ditambatkan pada peristiwa isra’ mi’raj.

Keadaan saat ini

Administrasi

Kementerian Wakaf Yordania memegang kontrol atas Masjid Al Aqsha hingga Perang Enam Hari tahun 1967. Setelah memenangkan perang, Israel menyerahkan kekuasaan masjid dan Bukit Bait Suci kepada lembaga wakaf Islam yang mandiri dari pemerintahan Israel. Namun, Angkatan Pertahanan Israel diperbolehkan berpatroli dan melakukan pencarian di wilayah masjid. Setelah pembakaran tahun 1969, lembaga wakaf tersebut mempekerjakan arsitek, teknisi, dan pengrajin dalam sebuah komite untuk melakukan perawatan. Untuk mengimbangi berbagai kebijakan Israel dan semakin meningkatnya kehadiran pasukan keamanan Israel di sekitar lokasi ini sejak Intifadhah al-Aqsha, Gerakan Islam bekerjasama dengan lembaga wakaf telah berusaha untuk meningkatkan kendali Muslim di dalam lingkungan Masjid Al Aqsha. Beberapa kegiatannya termasuk memperbarui dan merenovasi kembali bangunan-bangunan yang terbengkalai.[91]

Saat ini, imam utama dan pengurus Masjid Al Aqsha adalah Muhammad Ahmad Hussein. Ia diangkat menjadi Mufti Besar Yerusalem pada tahun 2006 oleh Presiden Palestina Mahmud Abbas.[92] Imam-imam lainnya termasuk Syaikh Yusuf Abu Sneina, Mufti Palestina sebelumnya Syaikh Ikrimah Sa'id Sabri, serta mantan Imam Al Aqsha Syaikh Muhammad Abu Shusha yang sekarang tinggal di Amman, Yordania.

Kepemilikan Masjid Al Aqsha merupakan salah satu isu dalam konflik Israel-Palestina. Israel mengklaim kekekuasaan atas masjid tersebut dan juga seluruh Bukit Bait Suci, tetapi Palestina memegang perwalian secara tak resmi melalui lembaga wakaf. Selama negosiasi di Pertemuan Camp David 2000, Palestina meminta kepemilikan penuh masjid ini serta situs-situs suci Islam lainnya yang berada di Yerusalem Timur.[93]

Akses

 
Papan keterangan dalam bahasa Ibrani dan Inggris di luar Bait Suci menampilkan larangan menurut Taurat untuk memasuki area ini.

Sementara semua warganegara Israel yang muslim diperbolehkan untuk masuk dan beribadah di Masjid Al Aqsha, Israel pada waktu-waktu tertentu menetapkan pembatasan ketat akses masuk ke masjid untuk orang Yahudi, Muslim Palestina yang tinggal di Tepi Barat atau Jalur Gaza, atau pembatasan berdasarkan usia untuk warga Palestina dan warganegara Israel keturunan Arab, seperti memberi izin masuk hanya untuk pria yang telah menikah dan setidaknya berusia 40 atau 50 tahun. Wanita Arab kadang-kadang juga dibatasi sehubungan dengan status perkawinan dan usia mereka. Alasan Israel untuk pembatasan tersebut adalah bahwa pria Palestina yang berusia tua dan telah menikah cenderung "tidak menyebabkan masalah",[94] yaitu bahwa secara keamanan mereka lebih tidak beresiko.

Banyak rabbi, termasuk para ketua rabbi Israel sejak tahun 1967, telah memutuskan bahwa orang Yahudi tidak boleh berjalan di Bukit Bait Suci karena terdapat kemungkinan mereka menginjak Kodesh Hakodashim, yaitu lokasi yang dianggap tersuci oleh orang Yahudi.[95] Pembatasan dari pemerintah Israel hanya melarang dilakukannya doa Yahudi di Bukit Bait Suci, tetapi tetap mengizinkan orang Yahudi maupun non-Muslim lainnya untuk berkunjung pada berjam-jam tertentu selama hari-hari tertentu dalam seminggu. Beberapa rabbi dan para pemimpin Zionis telah mengajukan tuntutan agar orang-orang Yahudi diperbolehkan untuk berdoa di tempat itu pada hari-hari raya Yahudi.[96] Meskipun Mahkamah Agung Israel telah mendukung hak berdoa perorangan (bukan secara berkelompok), namun dalam praktiknya polisi Israel melarang orang Yahudi untuk berdoa "secara terang-terangan dalam bentuk apapun juga di Bukit Bait Suci, meskipun bila hanya menggerak-gerakkan bibirnya saja ketika berdoa".[97]

Intifadah Al Aqsha

Pada tanggal 28 September 2000, Ariel Sharon dan para anggota Partai Likud beserta 1.000 orang penjaga bersenjata, melakukan kunjungan ke Al Aqsha. Hal ini membuat sekelompok besar orang Palestina datang untuk memprotes kunjungan tersebut. Setelah Sharon dan para anggota Partai Likud meninggalkan lokasi, demonstrasi meletus menjadi kerusuhan dan sekelompok orang Palestina yang berada di Al Aqsha mulai melemparkan batu dan benda-benda lainnya kepada polisi anti huru hara Israel. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet kepada kerumunan demonstran, sehingga melukai 24 orang. Kunjungan tersebut memicu gerakan perlawanan rakyat Palestina selama lima tahun, yang biasa disebut sebagai Intifadah Al Aqsha.[98] Pada tanggal 29 September, pemerintah Israel mengerahkan 2.000 polisi anti huru hara ke masjid ini. Sekelompok orang Palestina yang meninggalkan masjid setelah shalat Jumat mulai melempari polisi dengan batu. Polisi kemudian menyerbu kompleks masjid serta menembakkan baik peluru tajam maupun peluru karet kepada kelompok Palestina tersebut, sehingga jatuh korban empat orang tewas dan sekitar 200 orang lainnya luka-luka.[99]

Penggalian

Beberapa penggalian di wilayah Masjid Al Aqsha terjadi sepanjang tahun 1970-an. Tahun 1970, pemerintah Israel memulai penggalian intensif langsung di bawah masjid pada sisi selatan dan baratnya. Pada tahun 1977, penggalian berlanjut dan sebuah terowongan besar dibuka di bawah ruangan ibadah wanita, serta sebuah terowongan baru digali di bawah masjid, mengarah dari timur ke barat pada tahun 1979. Selain itu, Departemen Arkeologi yang berada di bawah Kementerian Agama Israel, juga menggali sebuah terowongan di dekat sisi barat masjid pada tahun 1984.[100]

Pada bulan Februari 2007, Departemen tersebut memulai situs penggalian untuk mencari peninggalan arkeologi di sebuah lokasi tempat pemerintah ingin membangun kembali sebuah jembatan penyeberangan yang runtuh. Situs ini berjarak 60 meter dari masjid.[101] Penggalian memicu kemarahan di banyak negara dunia Islam, dan Israel dituduh telah mencoba menghancurkan pondasi masjid. Ismail Haniya, saat itu Perdana Menteri Otoritas Nasional Palestina dan pemimpin Hamas,[102] menyerukan Palestina untuk bersatu dalam menentang penggalian, sedangkan Fatah menyatakan bahwa mereka akan mengakhiri gencatan senjata mereka dengan Israel.[103] Israel membantah semua tuduhan tersebut, dan menyebutnya sebagai hal yang "menggelikan".[104]

Foto

Panorama

Panorama Masjid Al Aqsha dilihat dari Bukit Zaitun


Catatan kaki

  1. ^ New Jerusalem Finds Point to the Temple Mount
  2. ^ "BBC - Science & Nature - Horizon". bbc.co.uk. 
  3. ^ Nicolle, David (1994). Yarmuk AD 636: The Muslim Conquest of Syria. Osprey Publishing.
  4. ^ Jeffery, George (2010-10-31). A Brief Description of the Holy Sepulchre Jerusalem and Other Christian Churches in the Holy City: With Some Account of the Mediaeval Copies of the Holy Sepulchre Surviving in Europe (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 9781108016049. 
  5. ^ Haram al-Sharif Diarsipkan 2011-09-24 di Wayback Machine., ArchNet
  6. ^ Israeli Police Storm Disputed Jerusalem Holy Site Diarsipkan 2009-10-31 di Wayback Machine.
  7. ^ Gilbert, Lela (21 September 2015). "The Temple Mount – Outrageous Lies and Escalating Dangers". Hudson Institute. Diakses tanggal 4 November 2015. 
  8. ^ Yashar, Ari (28 October 2015). "Watch: Waqf bans 'Religious Christians' from Temple Mount". Arutz Sheva. Diakses tanggal 4 November 2015. 
  9. ^ "The Temple Mount". Jewish Virtual Library. Diakses tanggal 4 November 2015. 
  10. ^ Hillenbrand, R. "Masdjid. I. In the central Islamic lands". Dalam P.J. Bearman, Th. Bianquis, C.E. Bosworth, E. van Donzel and W.P. Heinrichs. Encyclopaedia of Islam Online. Brill Academic Publishers. ISSN 1573-3912. 
  11. ^ Az Zarkasyi. I’laamus Saajid bi Ahkaamil Masajid.
  12. ^ Muttafaq ‘alaih: Al Bukhari, kitab At Tayammum, bab Haddatsanaa Abdullah bin Yusuf (no. 335) dan Muslim kitab Al Masaajid, bab Al Masaajid wa maudhi’ush shalaah (no. 521)
  13. ^ [Qur'an 17:7]
  14. ^ Busse, Heribert. (1991). Jerusalem in the Story of prophet Muhammad's Night Journey and Ascension. Jerusalem Studies in Arabic and Islam, 14 pp.1–40
  15. ^ Robinson, Neal. (1996). Discovering The Qur'ân: A Contemporary Approach To A Veiled Text. SCM Press Ltd: London, p.192
  16. ^ Ath-Thabaqat, Ibnu Sa'id bin Muhammad Sa'id Al-Baghdadi, Dar Shadr, Beirut, Bab 2 Hal 95-105
  17. ^ Islam web.net
  18. ^ Saed, Muhammad (2003). Islam: Questions and Answers - Islamic History and Biography. MSA Publication Limited. hlm. 12. ISBN 1861793235. 
  19. ^ a b Jarrar, Sabri (1998). Gülru Necipoğlu, ed. Muqarnas: An Annual on the Visual Culture of the Islamic World (edisi ke-Ilustrasi, anotasi). BRILL. hlm. 85. ISBN 9004110844, 9789004110847 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  20. ^ Grabar 2000, p. 203.
  21. ^ Gonen (2003), p. 69
  22. ^ a b Yoram Tsafrir (2009). "70–638: The Temple-less Mountain". Dalam Oleg Grabar and Benjamin Z. Kedar. Where Heaven and Earth Meet: Jerusalem's Sacred Esplanade. University of Texas Press. hlm. 86–87. 
  23. ^ Har-El, Menashe Golden Jerusalem" Gefen Books 2004 p. 29
  24. ^ Hagith Sivan (2008). Palestine in Late Antiquity. Oxford University Press. hlm. 205. 
  25. ^ F. E. Peters (1985). Jerusalem. Princeton University Press. hlm. 145–147. 
  26. ^ Was the Aksa Mosque built over the remains of a Byzantine church?, By Etgar Lefkovits, Jerusalem Post, November 16, 2008
  27. ^ Karmi, Ghada (1997). Jerusalem Today: What Future for the Peace Process?. Garnet & Ithaca Press. hlm. 116. ISBN 0-86372-226-1. 
  28. ^ a b F. E. Peters (1985). Jerusalem. Princeton University Press. hlm. 186–192. 
  29. ^ Dan Bahat (1990). The Illustrated Atlas of Jerusalem. Simon & Schuster. hlm. 81–82. 
  30. ^ John Wilkinson (2002). Jerusalem Pilgrims before the Crusades. hlm. 170. 
  31. ^ Fulcher of Chartres, "The Siege of the City of Jerusalem", Gesta Francorum Jerusalem Expugnantium.
  32. ^ Gonen, Rivka (2003). Contested holiness : Jewish, Muslim, and Christian perspectives on the Temple Mount in Jerusalem. Jersey City (N. J.): KTAV. hlm. 149–155. ISBN 9780881257984. 
  33. ^ "SINDOnews | Berita Internasional" Periksa nilai |url= (bantuan). international.sindonews.com. Diakses tanggal 2017-08-06. 
  34. ^ Maimonides, Mishneh Torah, Avoda (Divine Service): The laws of the Temple in Jerusalem, chapter 6, rule 14
  35. ^ Toledot 25:21
  36. ^ "BBC - Science & Nature - Horizon". bbc.co.uk. 
  37. ^ Todd Gitlin, 'Apocalypse Soonest,' Tablet 11 November 2014.
  38. ^ Jonathan Klawans, Purity, Sacrifice, and the Temple: Symbolism and Supersessionism in the Study of Ancient Judaism, Oxford University Press, USA, 2006 p.236:'Some analyses rest on the assumption that the ancient Jewish temple was inherently flawed, and in need of replacement. This kind of approach is contradicted by the rather significant evidence that can be marshaled to the effect that early Christians remained loyal to the Jerusalem temple, long after Jesus’ death.'
  39. ^ Jacob Jervell, The Theology of the Acts of the Apostles, Cambridge University Press 1996 p.45.
  40. ^ Jeff S. Anderson, The Internal Diversification of Second Temple Judaism: An Introduction to the Second Temple Period, University Press of America, 2002 p.132.
  41. ^ Catherine Hezser, 'The (In)Significance of Jerusalem in the Yerushalmi Talmud,' in Peter Schäfer, Catherine Hezser (eds.)The Talmud Yerushalmi and Graeco-Roman Culture, Mohr Siebeck, Volume 2, 2000 pp.11-49, p.17.
  42. ^ Jonathan Klawans, Josephus and the Theologies of Ancient Judaism, Oxford University Press, 2013 p.13.
  43. ^ Andrew Marsham, ‘The Architecture of Allegiance in Early Islamic Late Antiquity,’ in Alexander Beihammer, Stavroula Constantinou, Maria G. Parani (eds.), Court Ceremonies and Rituals of Power in Byzantium and the Medieval Mediterranean: Comparative Perspectives, BRILL, 2013 pp.87-114, p.106.
  44. ^ Gideon Avni, The Byzantine-Islamic Transition in Palestine: An Archaeological Approach , Oxford University Press, 2014 p.132.
  45. ^ Robert Shick, ‘A Christian City with a Major Muslim Shrine: Jerusalem in the Umayyad Period,’ in Arietta Papaconstantinou (ed.), Conversion in Late Antiquity: Christianity, Islam, and Beyond: Papers from the Andrew W. Mellon Foundation Sawyer Seminar, University of Oxford, 2009-2010 pp.299-317 p.300, Routledge 2016 p.300.
  46. ^ Shick p.301.
  47. ^ John M. Lundquist, The Temple of Jerusalem: Past, Present, and Future, Greenwood Publishing Group, 2008 p.158.
  48. ^ Sunarto, Achmad (2002). Terjemah Hadits Shahih Muslim, Penerbit Hussaini, Bandung. Hlm. 246.
  49. ^ Masjid al-Aqsa: Second house of prayer established on Earth World Press.
  50. ^ Michael D. Coogan The Oxford History of the Biblical World, Oxford University Press, 2001 p.443-
  51. ^ Daniel Frank, Search Scripture Well: Karaite Exegetes and the Origins of the Jewish Bible Commentary in the Islamic , East BRILL, 2004 p.209.
  52. ^ Gideon Avni, https://books.google.com/books?id=ZLucAgAAQBAJ&pg=PA136 p.136.
  53. ^ (HR. Ibnu Majah).
  54. ^ Virtues of al-Aqsa Friends of Al-Aqsa.
  55. ^ Hadits Imam Ahmad dan Ibnu Majah
  56. ^ "Al-Aqsa Mosque, Jerusalem". Atlas Travel and Tourist Agency. Diakses tanggal 29 June 2008. 
  57. ^ "Lailat al Miraj". BBC News. BBC MMVIII. Diakses tanggal 29 June 2008. 
  58. ^ Sahih al-Bukhari 5, 58, 227
  59. ^ a b Tabatabae, Sayyid Mohammad Hosayn. [[Tafsir al-Mizan|AL-MIZAN:AN EXEGESIS OF THE QUR'AN]], translation by S. Saeed Rizvi. WOFIS. ISBN 9646521142.  Konflik URL–wikilink (bantuan)[pranala nonaktif]
  60. ^ Sahih Muslim, 1:309
  61. ^ Baiquni, Umairul Ahbab, Achmad Sunarto (1996). Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Penerbit Husaini, Bandung. Hlm. 293.
  62. ^ Allen, Edgar (2004). States, Nations, and Borders: The Ethics of Making Boundaries. Cambridge University Press. ISBN 0521525756. Diakses tanggal 9 June 2008. 
  63. ^ a b c d Mosaad, Mohamed. Bayt al-Maqdis: An Islamic Perspective pp.3–8
  64. ^ Aiman, Abu (2007). Rahasia Di Balik Penggalian Al-Aqsha. PT. Cahaya Insan Suci. Cet. I. Hlm. 67. ISBN 979-1238-54-0. Diakses 6 Agustus 2010.
  65. ^ The Furthest Mosque, The History of Al-Aqsa Mosque From Earliest Times Mustaqim Islamic Art & Literature. 5 Januari 2008.
  66. ^ el-Khatib, Abdallah (1 May 2001). "Jerusalem in the Qur'ān" (Abstract). British Journal of Middle Eastern Studies. 28 (1): 25–53. doi:10.1080/13530190120034549. Diakses tanggal 17 November 2006. 
  67. ^ Talhami, Ghada Hashem (2000). "The Modern History of Islamic Jerusalem: Academic Myths and Propaganda". Middle East Policy Journal. Blackwell Publishing. ISSN 1061-1924. Diakses tanggal 17 November 2006. 
  68. ^ Silverman, Jonathan (May 6, 2005). "The opposite of holiness". Diakses tanggal 17 November 2006. 
  69. ^ Doninger, Wendy (1 September 1999). Merriam-Webster's Encyclopedia of World Religions. Merriam-Webster. hlm. 70. ISBN 0-877-79044-2. 
  70. ^ Baiquni, Umairul Ahbab, Achmad Sunarto (1996). Terjemah Hadits Shahih Bukhari, Penerbit Husaini, Bandung. Hlm. 590.
  71. ^ "Resolution No. 2/2-IS". Second Islamic Summit Conference. Organisation of the Islamic Conference. 24 February 1974. Diakses tanggal 17 November 2006. 
  72. ^ Elad, Amikam. (1995). Medieval Jerusalem and Islamic Worship Holy Places, Ceremonies, Pilgrimage BRILL, pp.29–43. ISBN 90-04-10010-5.
  73. ^ Braswell, G. Islam – Its Prophets, People, Politics and Power. Nashville, TN: Broadman and Holman Publishers. 1996. p. 14
  74. ^ Linquist, J.M., The Temple of Jerusalem, Praeger, London, 2008, p.207
  75. ^ Raef Yusuf Najm, Jordan’s Role in ensuring the protection of Islamic and Christian Holy Sites in Al Quds Al Sharif, Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization (ISESCO) conference, Amman, November 2004
  76. ^ Pawer, Jonathan (1996). The History of Jerusalem: The Early Muslim Period (638-1099). New York University Press. hlm. 86. ISBN 0814766390. 
  77. ^ Simon Sebag Montefiore, Jerusalem: The Biography, p. 276.
  78. ^ Al-Aqsa Guide: 31. Dome of the Chain (Silsilah) Al Aqsa Friends 2007. Diarsipkan October 6, 2008, di Wayback Machine.
  79. ^ a b c Dome of the Chain Diarsipkan October 6, 2008, di Wayback Machine. Archnet Digital Library.
  80. ^ Murphy-O'Connor, Jerome. (2008). The Holy Land: An Oxford Archaeological Guide from Earliest Times to 1700 Oxford University Press, p.97. ISBN 0-19-923666-6.
  81. ^ Dome of the Prophet Noble Sanctuary Online Guide.
  82. ^ Visit the Dome of the Rock Kentucky Educational Television.
  83. ^ The Islamic Museum Jerusalemites
  84. ^ Al-Aqsa Guide Al-Aqsa Friends 2007, #29. Diarsipkan October 6, 2008, di Wayback Machine.
  85. ^ Al-Aqsa Mosque, Jerusalem Universal Tours.
  86. ^ a b c Al-Aqsa Guide Friends of al-Aqsa.
  87. ^ Ghawanima Minaret Archnet Digital Library.
  88. ^ Bab al-Silsila Minaret Archnet Digital Library.
  89. ^ Steven J. Mock (2011). Symbols of Defeat in the Construction of National Identity. Cambridge University Press. hlm. 1, 2. Diakses tanggal 19 April 2012. 
  90. ^ "Coins from 17AD found under Jerusalem's Western Wall hints sacred site NOT built by Herod". Daily Mail. 25 November 2011. Diakses tanggal 19 April 2012. 
  91. ^ Social Structure and Geography Palestinian Academic Society for the Study of International Affairs.
  92. ^ Yaniv Berman, "Top Palestinian Muslim Cleric Okays Suicide Bombings", Media Line, 23 October 2006.
  93. ^ Camp David Projections Palestinian Academic Society for the Study of International Affairs. Juli 2000.
  94. ^ Ramadan prayers at al-Aqsa mosque BBC News. 5 September 2008.
  95. ^ Cohen, Yoel. The Political Role of The Israeli Chief Rabbinate in The Temple Mount Question, Jewish Political Studies Review, Volume 11:1-2 (Spring 1999), di situs web Jerusalem Center for Public Affairs. Diakses 16 Agustus 2010.
  96. ^ Klein, Aaron. Jews Demand Right to Pray on the Temple Mount The Temple Institute.
  97. ^ Public Security Minister Avi Dichter, "No moving Jewish lips in prayer on Temple Mount, says Dichter". Haaretz. 1 March 2008. Diakses tanggal 18 May 2009. 
  98. ^ "Provocative' mosque visit sparks riots". BBC News. BBC MMVIII. 28 September 2000. Diakses tanggal 1 July 2008. 
  99. ^ Dean, Lucy (2003). The Middle East and North Africa 2004. Routledge. hlm. 560. ISBN 1857431847. 
  100. ^ Amayreh, Khaled. Catalogue of provocations: Israel's encroachments upon the Al-Aqsa Mosque have not been sporadic, but, rather, a systematic endeavor Al-Ahram Weekly. February 2007.
  101. ^ Lis, Jonathan (2 December 2007). "Majadele: Jerusalem mayor knew Mugrabi dig was illegal". Haaretz. Haaretz. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-12. Diakses tanggal 1 July 2008. 
  102. ^ "Profile: Hamas PM Ismail Haniya". BBC News. BBC MMVIII. 14 December 2006. Diakses tanggal 1 July 2008. 
  103. ^ Rabinovich, Abraham (8 February 2007). "Palestinians unite to fight Temple Mount dig". The Australian. Diakses tanggal 1 July 2008. 
  104. ^ Friedman, Matti (14 October 2007). "Israel to resume dig near Temple Mount". USA Today. Diakses tanggal 1 July 2008. 

Daftar pustaka

Lihat juga

  • Jami' Al-Aqsha atau Masjid Al Qibli, masjid berkubah biru yang berdiri di Masjid Al Aqsha bagian selatan
  • Kubah Shakhrah, bangunan berkubah emas yang berdiri di Masjid Al Aqsha bagian tengah
  • Tembok Ratapan, tembok yang berada di Masjid Al Aqsha bagian barat. Digunakan untuk tempat ibadah umat Yahudi.
  • Masjid Umar (Yerusalem), masjid untuk mengenang pengambilalihan kepemimpinan Yerusalem kepada umat Islam pada masa Umar