Peutron Aneuk
Peutron Aneuk merupakan upacara adat turun-temurun Masyarakat Aceh bagi bayi yang baru lahir untuk dibawa keluar rumah (Peutron dalam Bahasa Acehnya[1]), turun ke tanah atau menjejakkan kaki si bayi (Aneuk Manyak) ke tanah untuk yang pertama kalinya[2].
Tradisi ini biasanya dilaksanakan serentak dengan upacara Geuboh Nan (prosesi memberikan nama kepada bayi) dan Aqīqah. Hanya saja orang-orang yang menghadiri upacara tersebut terbiasa menyebutnya sebagai Peutron Aneuk, atau dianggap sudah mencakup ketiga upacara tadi[3].
Ada bermacam-macam sebutan untuk Peutron Aneuk, sebut saja Troen Bak Tanoeh, Peutron Aneuk U Tanoh, Peutron Aneuk Mit[4], atau Peugidong Tanoh, sebutan oleh masyarakat Gampong Tokoh, salah satu desa di Kecamatan Manggeng, Kabupaten Aceh Barat Daya[5].
Tidak hanya penyebutan, prosesi juga bisa berbeda-beda tiap daerah. Misalnya, pada Masyarakat Gampong Tokoh, bayi dibawa keluar rumah lalu diajak turun ke tanah lalu berkeliling sekitar rumah. Sedangkan pada masyarakat Gampong yang lain, seusai menjejakkan tanah, ada yang membawa si bayi ke Mesjid untuk kemudian dimandikan.
Bahkan ada juga yang membawa bayinya ke kuburan (berziarah) yang dianggap keramat (mulia) di kampung itu atau ke kuburan terdekat. Mereka membawa sedikit bunga, kemenyan, dan sepotong kain putih untuk membungkus nisan makam yang diziarahi[1].
Begitu juga usia bayi yang di-patreunkan juga bisa berbeda-beda. Meski nama, tata cara dan istilah satu sama lain bisa berbeda-beda di tiap daerah, namun prinsip-prinsip dan makna yang terkandung di dalamnya tetap saja sama[6].
Asal Usul
Peutron Aneuk (dan tradisi Orang Aceh lainnya) merupakan bagian dari unsur kebudayaan Hindu. Agama Hindu lebih dahulu masuk ke Aceh ketimbang Agama Islam. Meski tidak berkembang sepesat Islam, namun keberadaan agama Hindu tetap saja turut mempengaruhi kebudayaan dan adat istadat asli orang Aceh.
Beberapa tradisi orang Aceh asli berakulturasi dengan kebudayaan Hindu, sebut saja tradisi Peusijuek, upacara Boh Gaca (memberi inai), Kanduri Blang (syukuran ke sawah), juga upacara Peutron Aneuk[7].
Namun seiring masuknya Ajaran Islam ke bumi Serambi Mekah, Peutron Aneuk dalam pelaksanaan dan maknanya kini lalu disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam. Maka segala upacara adat pasti dimulai dengan bismillah, ada doa selamat dan melantunkan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW[8].
Upacara adat Peutron Anuek dipercaya Orang Aceh dilakukan turun-temurun sejak zaman pertengahan abad ke-13 Masehi, atau dimasa Kesultanan Pasai (Kerajaan Islam Samudera Pasai) berjaya, diteruskan Kerajaan Aceh Darussalam (1496 - 1903), dan masih berlanjut hingga saat ini[6].
Sultan Mansur Syah-Putri Raja Indra Bangsa pun turut melaksanan Patreun Aneuk, menyambut kelahiran bayi mereka yang dinamai Sultan Iskandar Muda yang lahir pada tahun 1593 Masehi. Tentu saja upacara dilaksanakan dengan sangat meriah. Prosesi tersebut menginspirasi Orang Aceh sampai sekarang.
Pada zaman itu jika bayinya laki-laki, biasanya meriam dibunyikan bersahut-sahutan. Para pendekar lalu memotong tiga batang pisang dengan pedang. Ini merupakan harapan agar anak kelak menjadi orang yang pemberani, khususnya ketika berlaga di medan perang dan memiliki jiwa ksatria.
Usia Bayi & Jenis Kelamin
Mengenai berapa usia bayi yang boleh mengikuti prosesi ini juga berbeda-beda. Ada yang melaksanakannya pada hari ke-7 setelah lahir, ketika usia bayi sudah mencapai umur 44 hari, dan ada juga yang melangsungkannya setelah bayi berusia lebih dari setahun[4].
Mengenai mengapa dilakukan saat bayi berumur 7 hari, hal ini mengikuti Syariat Islam dan Sunnah Rasul, termasuk Aqiqah dan pemberian nama.
Bahkan untuk wilayah tertentu tradisi ini disepakati bersama dituangkan secara tertulis dalam hukum adat di daerah tersebut. Contoh untuk wilayah Kemukiman Cot Jeumpa di Kabupaten Pidie, tradisi ini dilakukan ketika bayi sudah berusia tiga bulan, lima bulan dan boleh dilakukan pada usia anak sudah sampai tujuh bulan[9].
Pada Kemukiman Blang Me ketentuan usia sama dengan Kemukiman (Gampong) Cot Jeumpa, bedanya Peutron Aneuk secara hukum adat yang berlaku di sana hanya untuk anak pertama saja[10].
Hal berbeda soal umur berlaku pada Masyarakat Gampong Sawang. Mereka malah melakukannya dikala bayi sudah berumur 44 hari[11], dan berlaku sama untuk wilayah lain, seperti: Gampong Kunyet[12], dan pada masyarakat Aneuk Jamee. Sedangkan pada Masyarakat Gayo, Peutron Aneuk dilakukan pada hari ke-7 setelah bayi lahir, berbarengan dengan tradisi Cuko’ok, Geuboh Nan dan Aqiqah. Dahulu bahkan dilaksanakan saat bayi berusia satu sampai dua tahun, apalagi jika bayi adalah anak sulung. Hal ini karena upacara Peutron Aneuk untuk anak pertama pasti lebih besar[13].
Penerapan prosesi berbeda pada saat dituruntanahkan bergantung pula pada jenis kelamin[4]. Jika bayi itu perempuan, para anggota keluarga menyapu dan menampi beras sebagai simbol dari kerajinan. DIharapkan kelak sang bayi perempuan itu menjadi anak yang rajin.
Sebaliknya, jika bayi berjenis kelamin laki-laki, maka akan dilakukan prosesi mencangkul tanah dan mencincang batang pisang, keladi atau batang tebu. Harapannya agar kelak si anak menjadi seorang lelaki yang senantiasa bekerja keras dan berjiwa ksatria.
Persiapan
Sebelum Peutron Aneuk dimulai harus ada persiapan yang matang. Pertama, keluarga yang punya hajatan mesti berembuk terlebih dahulu untuk menentukan kapan hari pelaksanaannya. Lalu mereka mempersiapkan bahan-bahan yang nanti digunakan saat Peutron Aneuk, Peusijuk Cuko’ok Geuboh Nan, dan Peucicap[5].
Tidak lupa juga turut dipersiapkan berbagai hidangan untuk disantap para undangan setelah acara inti selesai. Hal ini agar kebahagiaan orang tua bayi turut dirasakan juga oleh para tamu yang hadir. Selanjutnya mengundang kerabat dekat, tokoh-tokoh adat-agama, serta tetangga dan warga lainnya. Bisa juga diundang kerabat jauh bila memungkinkan, namun yang terpenting adalah kehadiran tua-tua adat, karena mereka inilah yang memimpin Upacara Peutron Aneuk. Tetua Adat ini biasanya merangkap pemuka agama. Tetua Adat dipilih agar kelak si anak bisa mengikuti jejak-nya, bijak dan memahami Agama Islam[4].
Untuk diperhatikan biaya upacara atau kenduri Peutron Aneuk bisa mahal, bisa juga berbiaya murah. Hal ini tentu disesuaikan dengan kondisi kemampuan ekonomi orang tua yang bersangkutan[1]. Biasanya jika yang punya hajat adalah orang berada dan bayinya itu merupakan anak pertama, maka dipotonglah kerbau atau lembu[5]. Jika keluarga bayi dengan kemampuan ekonomi biasa saja maka cukup dengan memotong kambing. Hewan yang dikurbankan ini berjenis kelamin laki-laki. Hewan-hewan itu disembelih, lalu dimasak bersama-sama dan dinikmati bersama-sama dengan para undangan saat acara kendurian[2].
Prosesi Peutron Aneuk
Makna Peutron Aneuk secara luas adalah media untuk membangun tanggung jawab bersama terhadap tumbuh kembang si bayi[14], dan simbolisasi untuk memperkenalkan lingkungan masyarakat kepada anak[3].
Aceh merupakan tempat dimana Agama Islam dan adat menjadi dua pilar penting dalam kehidupan sosialnya. Tidak heran kebanyakan upacara adat orang Aceh mengandung unsur-unsur Islam, tidak terkecuali Petron Aneuk. Salawat Nabi (lagu-lagu islami), dan pembacaan Barzanji mengiringi bayi menuju tangga. Bayi digendong oleh Teungku Agam sambil memegang pedang.
Jika berjenis kelamin laki-laki maka yang menggendongnya adalah Teungku Agam (Teungku laki-laki). Sebaliknya jika dia perempuan, yang menggendong adalah Teungku Inong (Teungku wanita). Sambil digendong bayi dipayungi oleh orang yang telah ditentukan sebelumnya.
Saat melangkah di anak tangga pertama, yang berdiri di dekat Teungku Agam, membelah kelapa di atas payung. Belahan kelapa dilemparkan ke halaman sebelah kiri dan kanan.
Setelah kelapa dibelah Teungku turun ke halaman rumah dengan lebih cepat. Ia pun mencincang dengan pedang pohon pisang dan pohon tebu yang sudah ditanam sebelumnya. Untuk anak perempuan prosesi mencincang tidak berlaku, makanya saat menggendong bayi Teungku Inong tidak memegang pedang.
Tidak berapa lama Teungku lalu menurunkan bayi di atas tanah. Saat kaki sang bayi menyentuh tanah diucapkan pula lagee tanoh nyoe teutap, beumeunankeuh teutap hate gata, selanjutnya bayi ditahtehkan (diajak berjalan) di atas tanah[15].
Hal ini merupakan simbol perkenalan bayi dengan tanah dan lingkungan sekaligus harapan agar si bayi memiliki pendirian teguh dan iman yang kekal, sebagaimana sifat tanah, kekal. Teungku atau orang yang menjejakkan kaki bayi ke tanah biasanya akan mengucapkan secara lisan, diawali hitungan dari satu sampai tujuh. Ada juga yang sekadar meniatkan saja dalam hati sambil menyentuhkan kaki bayi ke bumi[14].
Bayi kemudian digendong lagi dibawa menuju ke Meunasah, diikuti rombongan, lalu membasuhi muka bayi. Selesai itu rombongan kembali ke rumah, untuk kemudian menyerahkan kembali si bayi kepada ibunya[3]
Tak lupa sang bayi juga dibawa ke masjid, agar hatinya terpaut dengan rumah Allah. Akhirnya bayi dibawa pulang kembali dengan mengucapkan assalamualaikum waktu masuk ke dalam rumah
Prosesi membelah kelapa pada Masyarakat Gampong Tokoh agak berbeda dengan yang telah diuraikan tadi. Kelapa dibelah di atas payung kuning yang memayungi bayi. Ketika kelapa sudah terbelah, kelapa dilemparkan ke atas genteng rumah dengan mengarah ke depan. Makna membelah kelapa adalah adalah agar cara berfikir bayi kelak terbuka. Sedangkan dilempar ke atas genteng rumah adalah simbol dari harapan agar kelak si bayi memiliki cita-cita yang tinggi, siap berjuang untuk mencapai kesuksesan
Setelah proses membelah kelapa selesai, yang menggendong bayi lalu menebang batang pisang, tebu, pinang yang ditanam secara berselang-seling. Maknanya adalah jika suatu saat nanti anak mendapatkan rintangan (termasuk musuh), maka ia hendaknya memiliki cara atau ilmu untuk menyelesaikan masalah tersebut
Setelah imemotong lalu diadakanlah atraksi bela diri silat, sebelum untuk kemudian dibawa ke Mesjid untuk dimandikan. Makna dari silat itu sendiri adalah agar anak menjadi pejuang, berani berperang dalam melawan kemungkaran dengan tujuan membela kebaikan (kebenaran).
Untuk Prosesi Baerzanji di Gampong Tokoh bisa dilaksanakan, bisa juga tidak. Ini terserah yang berhajat. Tradisi ini untuk lebih memeriahkan Upacara Peutrron Aneuk. Selain itu sebagai tanda kegembiraan buat keluarga bayi karena dikaruniai anak.
Dalam Ritual Baerzanji bayi diberikan nasihat, sementara si bayi diletakkan dalam ayunan yang sudah dihias. Sambil diayunkan, dilantunkanlah syair-syair atau do’a yang berisi nasihat-nasihat kebaikan ke telinganya. Hal ini dimaksud agar kelak dewasa nanti bisa menjadi orang yang soleh atau solehah[5].
Prosesi Terkait
Setelah semua hal sudah dipersiapkan, kini masuklah pada prosesi pertama, yakni Peusijuk. Pada masyarakat Gampong Tokoh dilakukan juga berbarengan dengan Peutron Aneuk, seperti Cuko’ok, Peucicap, Geuboh Nan, dan Aqiqah.
Peusijuk merupakan prosesi adat yang hampir ada dalam semua kegiatan adat masyarakat di Aceh. Intinya adalah sebagai ungkapan syukur terhadap apa yang diberikan oleh Allah SWT, memohon kepadaNya agar dijauhkan dari segala mara bahaya[5], sekaligus simbol dari ketentraman, perestuan dan saling memaafkan
Peusijuk bisa dilakukan ketika orang Aceh memiliki rumah baru, perkawinan, lulus sekolah, menanam padi, membangun rumah, naik haji hingga menyelesaikan perselisihan[16]. Prosesi Peusijuk dalam Peutron Aneuk dimaksudkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT karena orang tua telah dinugerahi seorang bayi.
Peusijuk dimulai dengan pembacaan Basmallah. Ini dimaksud agar terbangun silaturrahmi keluarga (kerabat), hidup dalam kebersamaan dan tolong-menolong (peukong syedara kaom)[5].
Lalu nasi ketan diambil sedikit, diletakkan di telinga bayi. Beras yang sudah diwarnai diambil di dalam gelas untuk kemudian ditaburkan ke bayi. Setelah itu oen (daun) seneujuk dan naleung sambo (daun rumput panjang) diikat menjadi satu, kemudian dicelupkan ke dalam gelas yang sudah diisi air, lalu dicipratkan (atau dalam Bahasa Acehnya seupreuk) ke arah bayi. Maksudnya adalah agar ketika bayi nanti mendapatkan masalah dalam hidup, dia bisa menghadapinya dengan kepala dingin. Seupreuk air itu sendiri melambangkan cara mendinginkan masalah besar nantinya.
Dalam ritual Peusijuk keluarga bayi diberikan uang adat dan cincin, gelang atau anting emas. Berapa besar harga pemberian tergantung jarak hubungan kekerabatannya, juga tentunya sesuai kemampuan dan kerelaan masing-masing. Tradisi ini merupakan bentuk komitmen kekuatan keluarga dalam membangun persatuan dan tolong-menolong sebagai penegakan harkat dan martabat keluarga besar (kaya miskin menyatu di dalamnya).
Cuko'ok. Prosesi mencukur sebagian rambut si bayi. Rambut yang dipotong kemudian dimasukkan ke dalam kelapa muda yang telah dikupas terlebih dahulu. Maknanya membuang semua kotoran-kotoran sampai bersih. Ritual ini sekaligus juga identik dengan Sunnah Rasul. Upacara cukur rambut biasanya dilakukan oleh bidan ataupun seorang tua yang telah lazim mengerjakan pekerjaan tersebut[5].
Ada keluarga yang melakukan cukur rambut setelah lahiran hari kedua, ketiga (contoh di daerah Tamiang), ketujuh atau bisa juga pada saat bayi sudah berumur 1 bulan. Tradisi ini disertai dengan pemberian nama bayi. Memotong rambut bertujuan membuang rambut kotor yang dibawa sejak lahir dan agar rambut bayi tumbuh lebih subur lagi[13].
Ada juga tradisi di Aceh setelah rambut dimasukkan ke dalam kelapa muda, lalu kelapa muda tersebut ditanam di belakang rumah dekat pohon pisang. Aksi ini bertujuan agar ke depan sang anak dapat menghadapi segala permasalahan dengan kepala dingin atau sabar. Kepala dingin digambarkan oleh pohon pisang[3].
Peucicap. Dalam bagian ini si bayi dicicipkan rasa manis ke lidahnya. Bisa madu, air gula, buah srikaya, bisa juga aneka buah manis. Maknanya bagi Orang Aceh adalah agar bayi mengenal bahwa hidup ini ada hal-hal kebaikan yang harus selalu dijaga dalam diri bayi[5].
Dilakukan oleh orang tua si bayi. Ia colek satu-satu dengan ujung jarinya, kemudian dicicipi ke lidah bayi. Sejurus kemudian, ia membolak-balikkan hati ayam. Ritual ini bertujuannya agar si anak ketika besar nanti cerdas dan kreatif dalam berpikir, tak buntu. Pada Masyarakat Gampong Tokoh membolak-balik hati ayam tujuannya adalah kelak jika dihadapkan dengan masalah si anak pasti diberikan solusi oleh Allah SWT[5].
Geuboh Nan. Di sinilah bayi diberikan nama, biasanya nama-nama yang Islami. Dengan nama yang Islami diharapkan akan membawa keberkahan buat si anak, dan juga akan selalu dipanggil dengan doa yang baik.
Menurut Imam An Nawawi dalam Shahih Muslim nama-nama yang dianjurkan untuk nama bayi adalah Abdullah, Ibrahim dan nama-nama nabi lainnya[17], bisa juga dengan nama Abd al-Rahmān, atau yang semakna dengan nama-nama tersebut. Menurut Nabi, Allah SWT memang menyukai nama-nama tersebut.
Aqiqah. Masyarakat Aceh menganggap bahwa upacara Aqīqah (hakikah dalam bahasa Aceh) terkait dengan ajaran Agama Islam yang mereka anut. Acara ini disesuaikan kemampuan ekonomi keluarga. Jika kurang mampu, maka dipotonglah seekor kambing. Daging Aqiqah harus habis dimakan pada hari yang sama upacara dilangsungkan. Jika bersisa maka wajib dibagi-bagikan kepada keluarga dan tetangga. Hal demikian sesuai dengan hadist Nabi[3].
- ^ a b c Hoesein, Moehammad (1970). Adat Atjeh. Banda Aceh: Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Atceh.
- ^ a b Gardjito, Murdiati; Santoso, Umar; Utami, Nurullia Nur (2018). Ragam Kuliner Aceh: Nikmat yang Sulit Dianggap Remeh. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ISBN 978-602-386-284-9.
- ^ a b c d e Astuti A. Samad, Sri (Maret 2015). "Pengaruh Agama Dalam Tradisi Mendidik Anak Di Aceh: Telaah Terhadap Masa Sebelum Dan Pasca Kelahiran". Gender Equality: Internasional Journal of Child and Gender Studies. Vol. 1, No. 1. Diakses tanggal 21 Maret 2019.
- ^ a b c d "Adat Peutron Aneuk, Upacara Turun Tanah Masyarakat Aceh". wacana. 2 Agustus 2015. Diakses tanggal 20 Maret 2019.
- ^ a b c d e f g h i Saifurrohman, Muzaki (December 2018). "Peutron Aneuk Dalam Budaya Aceh". ResearchGate. Diakses tanggal 21 Maret 2019.
- ^ a b Mardira, Salman (2 November 2014). "Tradisi Peutroen Aneuk Ada Sejak Kerajaan Samudera Pasai". okezone. Diakses tanggal 22 Maret 2019.
- ^ Riezal, Chaerol; Joebagio, Hermanu; Susanto (2018). "Konstruksi Makna Tradisi Peusijuek Dalam Budaya Aceh". JURNAL ANTROPOLOGI (JANTRO). Vol. 20 (2) (Sosial Budaya). ISSN 2355-5963. Diakses tanggal 24 Maret 2019.
- ^ Altas, Fakhrunnisa (2017). "Tari Ratoeh Duek Perspektif Nilai Estetika Islam". Gesture: Jurnal Seni Tari. 6, No 2. doi:10.24114/senitari.v6i2.7203.
- ^ "Pendokumentasian Aturan Adat Kemukiman Cot Jeumpa". Pusat Data Peraturan: Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh. jkma-aceh. 2009. Diakses tanggal 21 Maret 2019.
- ^ "Pendokumentasian Aturan Adat Kemukiman Blang Me". Pusat Data Peraturan: Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh. jkma-aceh. Diakses tanggal 24 Maret 2019.
- ^ Maulida, Rahmatul (2017). "Rabu Nehah (Studi Etnografi tentang Larangan Turun Kesawan pada Masyarakat Gampong Paloh Kayee Kunyet Kecamatan Nisam)". Aceh Anthropological Journal Edisi. 1 No. 1.
- ^ "Pendokumentasian Aturan Adat Kemukiman Kunyet". Pusat Data Peraturan: Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh. jkma-aceh. 2013. Diakses tanggal 24 Maret 2019.
- ^ a b Koten, Thomas (14 November 2017). "Upacara Kelahiran Bayi Adat Aceh, Sungguh Unik, Tak Ada Bandingan". netralnews. Diakses tanggal 25 Maret 2019.
- ^ a b Mardira, Salman (2 November 2014). "Makna di Balik Peutroen Anuek & Puecicap". okezone. Diakses tanggal 21 Maret 2019.
- ^ Zainun, Asnawi. "Anak Dalam Asuhan Adat". acehprov. Diakses tanggal 23 Maret 2019.
- ^ Trisnawaty, Cut (2014). Sejuta Makna Dalam Peusijuk: Kenali Aceh, Kenali Peusijuk. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. ISBN 978-602-02-4676-5.
- ^ El-Langkawi, Helmi Abu Bakar. "Fiqh Kelahiran (I): Pentingnya Tahnik (Peucicap) Bayi dalam Islam". portalsatu. Diakses tanggal 25 Maret 2019.