Rumah Rakit

rumah tradisional di Indonesia
Revisi sejak 4 April 2019 11.07 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Rumah Rakit adalah rumah adat yang berasal dari Provinsi Sumatera Selatan. Rumah ini termasuk salah satu rumah tertua di Sumatera Selatan, diperkirakan sudah ada sejak masa Kerajaan Sriwijaya berdiri. Rumah ini dibangun di atas rakit dan mengapung di tepi Sungai Musi, Sungai Ogan, dan Sungai Komering. Supaya tidak hanyut terbawa arus, rumah diikat pada sebuah serdang (penambat).[1][2]

Sejarah

Kota Palembang memiliki letak yang strategis sehingga menjadikannya sebagai pusat kekuatan politik dan ekonomi pada wilayah Asia Tenggara. Sejak dahulu, Palembang banyak didatangi pelaut dan pedagang asing, seperti Cina, Arab dan Persia.[3] Pada masa Kesultanan Palembang, para pendatang asing tersebut tidak diperbolehkan untuk membangun rumah di darat. Kecuali bangsa Arab dan pendatang muslim yang memiliki kedekatan dengan Kesultanan Palembang.[1] Bentuk dari rumah-rumah menggambarkan kelompok-kelompok masyarakatnya. Rumah panggung hanya bisa dihuni oleh penduduk asli.

Pendatang hanya diperbolehkan membangun rumah di atas rakit, hal ini tidak lepas dari kebijakan yang dibuat pada masa Kesultanan Palembang yang bernuansa politis. kewajiban warga asing tinggal di rumah rakit memudahkan Kesultanan Palembang untuk mengontrol mobilitas warga asing. Pemisahan yang jelas antara penduduk asli dengan pendatang dapat mempermudah penguasa dalam melakukan hukuman terhadap pendatang. Apabila terdapat warga asing bertindak kriminal dan melanggar hukum, penindak hukum akan memotong tali pengikat rumah rakit hingga rumah rakitnya hanyut di sungai.[1][4]

Selain tempat tinggal, rumah rakit dapat digunakan sebagai penginapan, gudang, dan tempat kegiatan ekonomi. Warga asing yang banyak memanfaatkan rumah rakit adalah warga keturunan Tionghoa yang umumnya bermata pencaharian sebagai pedagang.[1] Selain itu, rumah rakit digunakan juga sebagai sarana transportasi bagi penghuninya, rumah ini dapat memudahkan penghuninya melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.[4]

Sejak Belanda menaklukkan Kesultanan Palembang, rumah rakit tidak lagi menjadi tempat orang diasingkan atau terpinggirkan. Para pendatang yang sebelumnya harus tinggal di rumah rakit mulai berangsur-angsur menepi dan tinggal di daratan. Setelah masa kemerdekaan, jumlah rumah rakit semakin berkurang, di antaranya disebabkan oleh sulitnya mencari bambu sebagai alat pengapung, mahalnya harga pembuatan rumah rakit, dan terbatasnya lahan untuk menempatkan dan mengikat rumah. Meskipun demikian, fungsi rumah rakit tetap digunakan sebagai tempat untuk berdagang.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e "Rumah Rakit: Sejarah dan Eksistensinya". majalah1000guru. Diakses tanggal 03 April 2019. 
  2. ^ "Rumah Rakit Kota Palembang". palembang-tourism. Diakses tanggal 03 April 2019. 
  3. ^ Lussetyowati, T (2012). "Peninggalan Aritektur di Tepian Sungai Musi" (PDF). Temu Ilmiah IPLBI 2012. Diakses tanggal 03 April 2019. 
  4. ^ a b Adiyanto, J (September 2008). "Transformasi Bentuk Arsitektural Hunian Masyarakat Keturunan China di Palembang (Pembacaan Arsitektural dengan Metode Hermeneutika Fenomenologi)" (PDF). Seminar Nasional Ke-Bhinekaan Bentuk Arsitektur Nusantara. Diakses tanggal 03 April 2019.