K.H. Mohammad Wildan Abdulchamid dilahirkan di Kendal, tepatnya tanggal 17 November 1937. Beliau merupakan putra bungsu dari 9 bersaudara pasangan K.H. Abdulchamid dan Nyai Rochmah. Nama kedelapan saudaranya K.H. Achmad Abdulchamid, Muhamad, Muhamad, Umamah, Makmun, Maryam, Anas, dan Aminah.

Wildan kecil tumbuh diasuh oleh ibunya karena ayahnya wafat sejak beliau berusia 7 bulan dalam kandungan. Ketika menginjak usia remaja, ibunya wafat, dan selanjutnya ia diasuh oleh kakak sulungnya yang bernama K.H. Achmad Abdulchamid.

Menginjak usia remaja, Wildan pertama kali nyantri di Pondok Pesantren Lirboyo yang diasuh oleh K.H. Mahrus Ali. Dikarenakan merasa kurang kerasan, tiga bulan kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren al-Fattah, Setinggil, Demak, asuhan K.H. Abdullah Zaini bin Uzair. Sebagaimana lazimnya tradisi santri, Wildan nyantri posonan atau mengaji di bulan Ramadan ke Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, dibawah asuhan K.H. Ali Maksum. Namun justru pada bulan Ramadhan tersebut Kiai Abdullah Zaini bin Uzair wafat, dan akhirnya Wildan memutuskan untuk boyong kembali ke rumah.

Tak lama kemudian, Wildan diantar kakaknya Kyai Achmad Abdulchamid untuk mondok di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, asuhan K.H. Bisri Mustofa. Uniknya, saat sowan, Kiai Bisri Mustofa bilang kepada K.H. Achmad Abdulchamid, adikmu opo kerasan mondok neng Rembang sing panase koyo neroko? (Adikmu apa betah mondok di Rembang yang panasnya seperti neraka). Terbukti, justru di Leteh-lah Wildan betah menghabiskan waktu di pesantren selama kurang lebih 7 tahun.

Tidak seperti santri lainnya, tiap 3 bulan sekali, Wildan selalu disuruh pulang oleh Kiai Bisri Mustofa, tujuannya tak lain agar ia berziarah ke makam abahnya (K.H. Abdulchamid). Alasan Kiai Bisri, agar Wildan menyadari bahwa ayahandanya adalah ulama besar, sehingga agar menambah motivasinya dalam menimba ilmu-ilmu agama. Bahkan Mbah Bisri tak bosan-bosan selalu mengingatkan ke Wildan bahwa sosok K.H. Abdulchamid adalah seorang ulama besar. Diantara pepeling Kiai Bisri; kiai Jowo sing karangane Bahasa Arab angel digoleki salahe yo Abahmu (Kiai Jawa yang karangannya berbahasa Arab sulit ditemukan kesalahan sintaksis dan gramatikanya yaitu Abahmu), yang dimaksud Kiai Bisri ialah karya magnum opus-nya Kiai Hamid, Syarah Manaqib yang diberi nama Jawahirul Asani fi Manaqibi Syaikh Abdul Qadir al Jailani yang dicetak di Mesir, dimana sampai sekarang kitab tersebut dapat ditemukan di Perpustakaan Leiden, Belanda.

Wildan dikenal sebagai santri kesayangan K.H. Bisri Mustofa, sekaligus ia diamanati sebagai lurah pondok. Selama mondok, ia dipercaya untuk menjadi qari’ kitab kuning di pondok Leteh di luar jam mengajar Kiai Bisri.

Setelah memutuskan boyong kembali ke rumah, tepatnya 21 Nopember 1966, Wildan menikah dengan Faizah, gadis asal Semarang dan dikaruniai 8 (delapan) orang anak, Wachidah Ghodif, Rochmah, Fauziyah, Robiatul Adawiyah, Nur Azizah, Atikah, Nihayah, dan Mohammad Farid Fad (Gus Farid) <ref> [http://www.nu.or.id/post/read/68866/innalillahi-kh-wildan-abdul-hamid-mustasyar-pwnu-jateng-wafat].

Menularkan ilmu, merupakan panggilan hati yang selalu konsisten diamalkan oleh Kiai Wildan, baik melalui forum pengajian maupun mendirikan lembaga pendidikan, antara lain dengan mendirikan pondok pesantren yang kemudian diberi nama Raudlatul Muta’allimin pada tahun 2001.

Hal yang patut diteladani dari sosok Kiai Wildan adalah kegigihan dan semangat beliau dalam memperdalam ilmu dan menularkannya. Dalam semangat mengajar, beliau meniru model Kiai Bisri Mustofa, bahkan ketika kondisi mati lampu, pengajian tetap berlangsung, beliau tetap mengajar dengan model hafalan. Pernah ketika mengajar ke Weleri, dimana sarana transportasi amat tak mendukung, beliau tetap semangat mengajar tiap Sabtu malam, yang tak jarang pulangnya menumpang truk yang lewat karena sudah tidak ada angkutan pada malam hari.

Kiprah beliau dalam mengajar pengajian antara lain mengajar Kitab Bulughul Marom (Selasa bakda Subuh di Masjid Agung Kendal), Kitab Ihya ‘Ulumudin (Selasa pagi jam 08.00 di rumah) <ref> [https://pcnukendal.com/wildan-wafat-masyarakat-kendal-berduka-cita/], Kitab Fathul Wahhab (Ahad siang di rumah), Kitab Tajridus Shorih (Ahad sore jam 16.00 di rumah) dan pengajian rutin Ramadhan setiap tahunnya di Masjid Agung Kendal dari tanggal tgl 1 - 21 Romadhon, jam 13.00 (Tafsir Jalalain dan kitab fiqih). Tak hanya itu, disebabkan menyadari akan pentingnya peran wanita dalam mengasuh dan mendidik anak, beliau juga mengasuh pengajian untuk Ibu-ibu pada Jumat bakda shubuh dan pengajian remaja putri pada Ahad pagi di kediaman beliau. Kini, semua majelis pengajian beliau diteruskan oleh putra bungsu beliau, yaitu Mohammad Farid Fad (Gus Farid).

Ditengah kesibukannya menjadi Hakim Pengadilan Agama di Kendal, Kiai Wildan menyempatkan diri untuk terus menularkan ilmunya di jalur pendidikan formal dengan menjadi dosen di IAIN Walisongo Semarang (sejak tahun 1972 sampai dengan mengundurkan diri pada tahun 2000 karena kesibukan mengajar pengajian), dosen IIWS Semarang, dan mendirikan MAN Kendal (dahulu bernama SP IAIN).

Selama masa hidupnya, Kiai Wildan aktif dalam organisasi kemasyarakatan, antara lain Nahdhatul Ulama (beberapa kali menjadi pengurus Syuriah PWNU Jateng dan terakhir menjadi Mustasyar PWNU Jateng sampai beliau wafat), Majelis Ulama Indonesia (beberapa periode menjadi Ketua MUI Jateng dan Ketua Umum MUI Kendal sampai dengan beliau wafat), menjadi Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kendal, Ketua ICMI Kendal dan menjadi Ketua Takmir Masjid Agung Kendal sampai wafat.

Hasil karya beliau yang diwariskan untuk kita pelajari saat ini adalah terjemahan kitab manaqib Syekh Abdulqodir Jailani, dengan nama La-aliul Asani fi Tarjamati Lujainiddani.

Pada tanggal 4 Romadhon 1437 H/ 9 Juni 2017 M dini hari, setelah sebelumnya bertadarus Al-Qur’an bil ghaib dan khatam nderes Alfiyah Ibnu Malik, sekitar pukul 03.00 WIB dini hari <ref> [http://jateng.tribunnews.com/2016/06/09/mantan-ketua-mui-kendal-tutup-usia-tadi-pagi], beliau menghadap kembali kepada Sang Khaliq