Mohammad Hatta

Wakil Presiden Indonesia ke-1 (1945–1956) dan Perdana Menteri Indonesia ke-3 (1948–1950)
Revisi sejak 8 April 2019 12.43 oleh 115.178.235.167 (bicara) (Judul buku : Mohammad Hatta Nama pengarang : Amrin Imran Tahun terbit : 1991 Penerbit : Mutiara sumber Widya Jumlah halaman : 156 Resume : Sejak tahun 1076 kese IPhatan Hatta mulai menurun . Umurnya 74 tahun . Dalam Minggu pertama bulan Maret 1976, ia sering merasa pusing . Dokter meminta supaya ia bersedia di rawat di rumah sakit. Dokter ragu-ragu . Tetapi Hatta berkata dengan tegas " Lakukan Operasi itu!" Ia tidak gentar sedikitpun . Operasi itu berjalan lancar . Hatta terbaring tak sadar...)

Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer sebagai Bung Hatta; 12 Agustus 1902 – 14 Maret 1980) adalah tokoh pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.[1][2]

Mohammad Hatta
Wakil Presiden Indonesia ke-1
Masa jabatan
18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956
PresidenSoekarno
Perdana Menteri
Sebelum
Pendahulu
Tidak ada, jabatan baru
Perdana Menteri Indonesia ke-3
Masa jabatan
29 Januari 1948 – 5 September 1950
PresidenSoekarno
Menteri Pertahanan Indonesia
ad-interim
Masa jabatan
29 Januari 1948 – 15 Juli 1948
PresidenSoekarno
Ketua Umum Palang Merah Indonesia ke-1
Masa jabatan
1945–1946
Sebelum
Pendahulu
Tidak Ada
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir
Muhammad Athar

(1902-08-12)12 Agustus 1902
Belanda Fort de Kock, Hindia Belanda
(Kota Bukittinggi, Sumatra Barat)
Meninggal14 Maret 1980(1980-03-14) (umur 77)
Indonesia Jakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Partai politikNon partai
Suami/istriRahmi Rachim
AnakMeutia Hatta
Gemala Hatta
Halida Hatta
Tanda tangan
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Bandar udara internasional Tangerang Banten, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat.[3] Pada tahun 1980, ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986.Kesalahan pengutipan: Tag <ref> harus ditutup oleh </ref>

Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam) untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia. Pelantikan dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi. Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana Bung Karno bersama Bung Hatta diculik kemudian dibawa ke sebuah rumah milik salah seorang pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di sebuah kota kecil Rengasdengklok (dekat Karawang, Jawa Barat).[4]

Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka menemui somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa kaitan lagi dengan Jepang.[5]

1945-1956: Menjadi Wakil Presiden pertama di Indonesia

Pada 17 Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia dia bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta pukul 10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi Presiden Soekarno.[6]

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan dengan nada sangat marah, menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah Linggarjati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari – 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6 Maret 1947.[7]

Pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, Hatta dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia masih berada di Pematangsiantar. Dia dengan selamat bersama dengan Gubernur Sumatra Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya yang menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi di Indonesia. Kemudian dalam Kongres Koperasi II di Bandung tanggal 12 Juli 1953, Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia.[8]

Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil Presiden hendak memperjuangkan sampai berhasil Perjanjian Renville dengan berakibat jatuhnya Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan.[9]

Suasana panas waktu timbul Pemberontakan PKI Madiun dalam bulan September 1948, memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Bung Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. Pada tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke Menumbing, Bangka. Beberapa waktu setelah pengasingan karena mengalami adanya sebuah perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley datang mewakili Australia dan Cochran mewakili Amerika.[10]

Mohammad Hatta berpidato di hadapan para peserta Konferensi Persiapan Nasional di Jakarta pada 26 November 1949. Tampak Sartono (duduk deretan depan no.2 dari kiri) mendengarkan dengan saksama.

Pada Juli 1949, terjadi kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun ini, terjadilah sebuah perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949 kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.[9][11]

Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga pada akhirnya negara Indonesia menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan berkedudukan di Jakarta dan Bung Karno menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak berlangsung lama, dan pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dan Perdana Menteri Mohammad Natsir.[12] Bung Hatta menjadi Wakil Presiden RI lagi dan berdinas di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta.

Kunjungan kerja Wakil Presiden Moh.Hatta ke Yogyakarta tahun 1950. Tampak dalam gambar,paling kiri, Mayor Pranoto Reksosamodra sebagai Komandan Militer Kota Besar Yogyakarta.

Pada tahun 1955, Mohammad Hatta membuat pernyataan bahwa bila parlemen dan konstituante pilihan rakyat sudah terbentuk, dia akan mengundurkan diri sebagai wakil presiden.[13] Menurutnya, dalam negara yang mempunyai kabinet parlementer, Kepala Negara adalah sekadar simbol saja, sehingga Wakil Presiden tidak diperlukan lagi.

Pada tanggal 20 Juli 1956, Mohammad Hatta menulis sepucuk surat kepada Ketua DPR pada saat itu, Sartono yang isinya antara lain, "Merdeka, Bersama ini saya beritahukan dengan hormat, bahwa sekarang, setelah Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih rakyat mulai bekerja, dan Konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, setelah Konstituante dilantik, saya akan meletakkan jabatan itu secara resmi."[14]

DPR menolak secara halus permintaan Mohammad Hatta tersebut, dengan cara mendiamkan surat tersebut. Kemudian, pada tanggal 23 November 1956, Bung Hatta menulis surat susulan yang isinya sama, bahwa tanggal 1 Desember 1956, dia akan berhenti sebagai Wakil Presiden RI. Akhirnya, pada sidang DPR pada 30 November 1956, DPR akhirnya menyetujui permintaan Mohammad Hatta untuk mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden, jabatan yang telah dipegangnya selama 11 tahun.[15]

Di akhir tahun 1956 juga, Hatta tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan unsur komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sebelum ia mundur, dia mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sebenarnya gelar Doctor Honoris Causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar tersebut baru diberikan pada 27 November 1956.[16] Demikian pula Universitas Indonesia pada tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum bersedia menerimanya. Kata dia, “Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun.”.

1956-1980: Setelah pensiun

Foto terakhir Bung Hatta sebelum masuk rumah sakit, tanggal 1 Maret 1980. Di sebelah kanan adalah Ny. Moenadji Soerjohadikoesoemo.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI tampak serius berbicara dengan Mohammad Hatta.

Setelah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956, dia dan keluarga berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57. Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan yang telah ia buat. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun adalah menambah dari penghasilan menulis buku dan mengajar. Meskipun sudah tak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden, pada tahun 1957 dia berangkat ke Cina karena mendapat undangan dari Pemerintah RRC. Rakyat sana masih menganggap dia sebagai “a great son of his country”, terbukti dari penyambutan yang seharusnya diberikan kepada seorang kepala negara di mana PM Zhou Enlai sendiri menyambut dia yang bukan lagi sebagai wakil presiden.[17]

Mereka yang sibuk pada masa Revolusi berkumpul kembali tahun 1979 ketika Richard C. Kirby, yang dulu mewakili Australia dalam Komite Jasa Baik PBB untuk Indonesia (KTN), berkunjung ke Jakarta. Dari kanan : Ali Budiardjo (pembantu politik Hamengkubuwono IX menjelang RIS), Mohammad Hatta, Richard C. Kirby, Mohammad Roem, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Subadio Sastrosatomo, Mohammad Natsir, Tamzil, dan Thomas K. Critchley yang menggantikan Kirby dalam Komite PBB.

Tahun 1963 Bung Hatta pertama kali mengalami jatuh sakit dan mendapatkan perawatan di Stockholm, Swedia atas perintah Soekarno, dengan biaya negara, karena perlengkapan medis di sana lebih lengkap.[18]

Pada 31 Januari 1970, melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi Empat yang bertugas mengusut masalah korupsi. Untuk keperluan itu Dr. Moh. Hatta (mantan Wakil Presiden RI) telah diangkat menjadi Penasehat Presiden dalam masalah pemberantasan Korupsi. Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo, SH, dengan anggota-anggota: IJ Kasimo, Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar Tjokroaminoto, dengan sekretaris Kepala Bakin/Sekretaris Kopkamtib, Mayjen. Sutopo Juwono. Dr. Moh. Hatta juga ditunjuk sebagai Penasehat Komisi Empat tersebut. Tetapi secara kontroversial, Presiden Suharto membubarkan komisi tersebut dan hanya memberikan izin untuk mengusut tuntas 2 kasus korupsi saja.[19]

Hatta dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Anggota Dewan Penasehat Presiden. Pada 15 Agustus 1972, Bung Hatta mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah Republik Indonesia. Kemudian, pada tahun yang sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga utama Ibukota Jakarta dengan segala fasilitasnya, seperti perbaikan besarnya pensiun dan penetapan rumah dia menjadi salah satu gedung yang bersejarah di Jakarta.

Kemudian, pada tahun 1975, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama Prof Mr. Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi pengertian mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir dan batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Ternyata, Bung Hatta resmi menjadi Ketua Panitia Lima. Tak hanya itu, Bung Hatta kembali mendapatkan gelar doctor honouris causa sebagai tokoh proklamator dari Universitas Indonesia yang seharusnya diberikan pada tahun 1951. Pemberian gelar tersebut dilakukan di Jakarta pada 30 Juli 1975 dan diberikan secara langsung oleh Rektor Mahar Mardjono.[20]

Pada Tahun 1978 bersama-sama Jenderal Abdul Haris Nasution, Bung Hatta mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi yang bertujuan mengkritik penggunaan Pancasila dan UUD 1945 untuk kepentingan rezim otoriter Suharto.[21]

Dan pada tahun 1979, dimana tahun tersebut merupakan tahun ke-5 Bung Hatta masuk ke rumah sakit. Kesehatan Bung Hatta semakin menurun. Walaupun begitu, semangatnya tetap saja tinggi. Ia masih mengikuti perkembangan politik dunia.

Wafat

Berkas:Bung Hatta Anti-Corruption Award.jpg
Logo Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA).

Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 pk18.56 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Selama hidupnya, Bung Hatta telah dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun 1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan harinya, dia disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam Malik. Ia ditetapkan sebagai pahlawan proklamator pada tahun 1986 oleh pemerintahan Soeharto.[22][23]

Mendapat gelar pahlawan

Setelah wafat, Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan mendiang Bung Karno. Pada 7 November 2012, Bung Hatta secara resmi bersama dengan Bung Karno ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Pahlawan Nasional.[24]

Bung Hatta Award

Sejak 9 April 2003, Perkumpulan BHACA yang diprakarsai oleh Theodore Permadi Rachmat dan Teten Masduki menyelenggarakan perhelatan penganugerahan Bung Hatta Award yang diserahkan kepada para tokoh Indonesia dari berbagai latar belakang profesi yang dinilai memiliki komitmen anti-korupsi. Beberapa tokoh yang pernah menerima penghargaan tersebut antara lain Tri Risma Harini, Basuki Tjahaja Purnama, dan Joko Widodo.[25]

Lihat pula

Catatan bawah

Referensi

  1. ^ Mohammad Hatta, Buku 1 Kebangsaan dan Kerakyatan, PT Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998.
  2. ^ Galeri Buku Jakarta: Mohammad Hatta: Di Atas Segala Lapangan Tanah Air Aku Hidup, Aku Gembira, diakses 20 Juni 2017
  3. ^ Postcode.nl: Mohammed Hattastraat 4, 2033CJ, Haarlem, diakses 20 Juni 2017
  4. ^ "Kisah penculikan Soekarno dan Hatta". Merdeka.com. 12 Agustus 2012. Diakses tanggal 14 Juni 2017. 
  5. ^ Kebudayaan-Depdiknas: Peristiwa Rengasdengklok
  6. ^ Bogor Indonet: Indoensia Tugu Peringatan Jerman, diakses 13 Juni 2017
  7. ^ Media Indonesia: Perundingan Linggarjati Ditandatangani, diakses 15 Juni 2017
  8. ^ Rachmat. Ringkasan Pengetahuan Sosial. Grasindo. hlm. 144. Diakses tanggal 14 Juni 2017. 
  9. ^ a b Ide Anak Agung Gde Agung (1973) Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945-1965 Mouton & Co ISBN 979-8139-06-2
  10. ^ Historia.id: Akhir Tragis Republik Komunis, Diakses tanggal 30 September 2015.
  11. ^ Kahin, George McTurnan (1952) Nationalism and Revolution in Indonesia Cornell University Press, ISBN 0-8014-9108-8
  12. ^ "NKRI: Gagasan Mosi Integral Natsir". detikNews. 12 November 2008. Diakses tanggal 15 Juni 2017. 
  13. ^ "Sang Proklamator". Tokoh Indonesia. Diakses tanggal 14 Juni 2017. 
  14. ^ Merdeka: Berpolitik tanpa bermusuhan (3): Soekarno dan Hatta, diakses 20 Juni 2017
  15. ^ Merdeka: Bung Hatta terjepit Soekarno dan Soeharto, diakses 13 Juni 2017
  16. ^ "Soekarno-Hatta, Penerima Gelar Doktor Honoris Causa Pertama Dari UGM". Universitas Gadjah Mada. 17 Desember 2014. Diakses tanggal 14 Juni 2017. 
  17. ^ BigMagz: Biografi Singkat Mohammad Hatta diakses 2 Juli 2017
  18. ^ Google Books: Demi Bangsaku: Pertentangan Sukarno vs Hatt, Wawan Tunggul SH, Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003, diakses 20 Juni 2017
  19. ^ Keputusan Presiden No. 12 tahun 1970
  20. ^ Perpustaaan Nasional RI: Panitia Lima, diakses 13 Juni 2017
  21. ^ Trove.NLA.gov.au: Lembaga Kesadaran Berkonstitusi 45. Publikasi I-III., diakses 13 Juni 2017
  22. ^ Soeharto: Bung Hatta Wafat, diakses 13 Juni 2017
  23. ^ Harian Sejarah: Kematian Bung Hatta 14 Maret 1980, diakses 13 Juni 2017
  24. ^ The Jakarta Post: Aritonang 2012, Sukarno, Hatta, diakses 19 Februari 2013
  25. ^ The Jakarta Post: Ahok Gets 2013 Bung Hatta Anti Corruption Award, diakses 19 Mei 2015

Daftar pustaka

Bacaan lanjutan

  • Hatta, Mohammad, Mohammad Hatta Memoir, Tinta Mas Jakarta, 1979
  • Deliar Noer. 1990. Mohammad Hatta, Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.
  • Greta O. Wilson (ed.). 1978. Regents, reformers, and revolutionaries: Indonesian Voices of Colonial Days. Asian Studies at Hawaii, no 21. The University Press of Hawaii.
  • George McTurnan Kahin. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornell University Press.
  • Sekretariat Negara Republik Indonesia. 1975. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada
  • Swasono, Meutia Farida. 1981. Bung Hatta Pribadinya Dalam Kenangan. Jakarta: Sinar Harapan
  • Team Dokumentasi Presiden RI. 2003. Jejak Langkah Pak Harto 28 Maret 1968-23 Maret 1973. Jakarta: PT. Citra Kharisma Bunda
  • Tim Penyusun. 1981. Bung Hatta. Jakarta: (unknown)
  • Wahyu, Christoporus. 2012. Pemerintah Akhirnya Akui Bung Karno-Bung Hatta Pahlawan Nasional. Tersedia: http://nasional.kompas.com/read/2012/11/06/18304773/Pemerintah.Akhirnya.Akui.Bung.Karno-Bung.Hatta.Pahlawan.Nasional [11 November 2014]

Pranala luar

Jabatan politik
Posisi baru Wakil Presiden Indonesia
1945–1956
Jabatan lowong
Selanjutnya dijabat oleh
Hamengkubuwono IX
Didahului oleh:
Amir Sjarifoeddin
Perdana Menteri Indonesia
1948–1950
Diteruskan oleh:
Abdul Halim
Didahului oleh:
Agus Salim
Menteri Luar Negeri Indonesia
1949–1950
Diteruskan oleh:
Mohammad Roem