Maulana Mansyuruddin

Revisi sejak 8 April 2019 17.21 oleh Profitnubie (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '{{Infobox royalty| | name = '''Syekh Maulana Mansyuruddin'''<br>(Sultan Haji) | succession = Sultan Banten ke-7 | image = | father = Ageng...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Syekh Maulana Mansyuruddin atau biasa dikenal Sultan Haji beliau adalah seorang ulama / Sultan ke 7 Banten berdarah bangsawan Banten putra dari Sultan Ageng Tirtayasa (Raja Banten ke 6) yang merupakan Penyebar Agama Islam diwilayah Banten Selatan, atau kalau sekarang Pandeglang dan sekitarnya. Beliau Berkuasa hingga 1683 - 1687 di Kesutanan Banten.

Syekh Maulana Mansyuruddin
(Sultan Haji)
Sultan Banten ke-7
Kelahiran1658
Kesultanan Banten Kesultanan Banten
Kematian{1687}
Indonesia Banten, Indonesia
Pemakaman
Desa Cikadeun, Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang, Banten
AyahSultan Ageng Tirtayasa
AgamaSunni Islam

Sejarah

Sejarah Batu Qur’an Versi Pertama

Batu Qur’an ini muncul pertama kali berkaitan erat dengan kisah salah satu ulama’ Banten yang amat terkenal di abad 15 M. Beliau tidak lain adalah Syekh Maulana Mansyur. Dalam versi ini pula di yakini bahwa kemunculan batu qur’an tersebut merupakan lokasi pijakan Syekh maulana Mansyur ketika beliau akan pergi ke tanah suci untuk haji.

Menurut sejarahnya, kala itu beliau hendak ke Makkah dan langkahnya di awali dari lokasi tersebut dengan membaca basmalah saja. kemudian sampailah Syekh Maulana Mansyur di Makkah tanpa melakukan perjalanan darat ataupun laut. Karena berangkat dari sana, maka dalam kepulangannya pun beliau juga muncul dari sana bersamaan dengan air yang tak berhenti mengucur.

Menurut masyarakat setempat, air yang tidak berhenti mengucur tersebut di yakini sebagai air zam-zam. Nah, melihat kucurannya yang tidak mau berhenti, maka syekh Maulana Mansyur pun berkeinginan untuk menghentikannya. Dan untuk memulai usahanya terhadap air tersebut, beliau bermunajat kepada Allah. Hal ini di lakukan dengan sholat dua rakaat di dekat kucuran air.

Selanjutnya, ketika beliau sudah selesai dengan munajatnya, turunlah petunjuk agar Syek Maulana Mansyur menutup kucuran air dengan Al-Qur’an. Akhirnya, atas izin Allah kucuran air pun berhenti dan berubahlah menjadi batu. Karena itulah di namakan dengan batu Qur’an yang hingga sekarang airnya tidak pernah kering. Dan sampai di sinilah sejarah batu qur’an Banten versi pertama.

Sejarah Batu Qur’an Versi Kedua

Dalam ranah sosial, Syeh Mansyuruddin adalah salah satu penyebar agama Islam di Banten. Selain ahli di bidang agama, beliau juga terkenal sakti. Syekh Mansyuruddin sendiri kehidupannya berada di sekitar abad ke 17 M. Sementara nasab, beliau adalah putra dari Sultan Ageng Tirtayasa . Sementara kesaktian Syekh Mansyaruddin sendiri hingga saat ini masih terkenal. Dia banyak yang kenal sebagai ulama yang mampu bersahabat denga bangsa jin dan mampu menakhlukkan harimau hingga keturunan-keturunannya.

Di percaya kala itu Syekh Mansyuruddin sedang berada di Makkah. Ketika beliau akan pulang ke Nusantara, beliau masuk dalam sumur air zam-zam. Kemudian, beliau muncul di sebuah mata air di Banten, tepatnya di sekitar daerah Cibulakan. Ketika beliau keluar, ternyata air tersebut tidak mau berhenti dan tetap saja mengucur. Akhirnya, beliau mencoba menghentikannya dengan sebuah Al-Qur’an. Dan atas kuasa Allah kucuran tersebut akhirnya berhenti. Kemudian, dengan jari telunjuknya, beliau mengukirkan tulisan Alqur’an pada batu. Kini, batu tersebut di kenal dengan nama batu Qur’an.

Sejarah Batu Qur’an Versi Ketiga

Dalam versi terakhir, riwayat batu quran Banten ini merujuk pada keyakinan bahwa batu tersebut merupakan replika dari batu qur’an yang berada Sang Hyang Sirah. Sedangkan terkait dengan sejarahnya, di yakini berkaitan erat dengan Sayyidina Ali, Prabu Munidng Wangi dan prabu Kian Santang di mana prabu Kian Santang dalam kisahnya belajar ke tanah suci pada Sayyidina Ali.

Nah, ketika beliau pulang ke tanah Pasundan, beliau mengirim utusan untuk lebih banyak mengenal tentang hukum Islam mengenai Khitan pada Sayyidina Ali di Makkah. Kemudian, di kisahkan pula bahwa Sayyidina Ali pun akhirnya datang ke Nusantara, tepatnya di Pasundan, untuk menyerahkan kitab suci pada muridnya, Prabu Kian Santang.

Sayang sekali pada saat itu sang Prabu sedang berada di Sahyang Sirah, Ujung Kulon untuk menemui Prabu Munding Wangi. Kemudian, pergilah Sayyidina Ali ke tempat tersebut dan shalat terlebih dahulu di atas batu karang. Namun, usai shalat beliau pun menghilang dan kemungkinan telah kembali ke tanah asalnya, di Jazirah Arab.

Kemudian, setelah beberapa abad, cerita menarik ini di ketahuilah oleh Syekh Maulana Mansyur. Dengan penuh kekaguman, berangkatlah beliau ke Sahyang Sirah untuk menyaksikan langsung mukjizat Allah dalam kolam bening bertuliskan Alqur’an tersebut. Nah, karena Sahyang Sirah mungkin terlalu jauh, akhirnya di buatlah replika batu tersebut di Kabupaten Pandeglang.

Lokasi Batu Quran

Batu Quran sudah menjadi temat yang selalu ramai dikunjungi oleh para penggemar atau peziarah. Lokasi Batu Qur'an di Jl. Cikoromoy, Gunungsari, Mandalawangi, Kadubungbang, Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten

Referensi