Arat Sabulungan
Arat Sabulungan adalah kepercayaan bagi masyarakat suku bangsa Mentawai yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.[1] Secara bahasa, Arat berarti adat, Sa berarti sekitar, dan bulungan artinya daun. Sebutan Sabulungan lahir karena acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya bisa menjadi perantara hubungan manusia dengan tuhan yang disebut dengan Ulau Manua.[2]
Kepercayaan Arat Sabulungan mengandung dua keyakinan, yaitu keyakinan mengenai adanya hubungan gaib antara berbagai hal yang berbeda. Kemudian keyakinan kedua adalah adanya kekuatan gaib yang memiliki kesaktian namun tidak berkemauan dalam alam sekitar manusia.[1] Meski mayoritas masyarakat Mentawai sudah menganut agama Katolik di sampung Protestan, Islam, atau Baha'i, kepercayaan Arat Sabulungan masih mampu bertahan bersama sebagian penganutnya,[2]
Arat Sabulungan mengajarkan agar adanya keseimbangan antara alam dan manusia. Artinya, manusia sudah semestinya memperlakukan alam dan seisinya seperti tumbuh-tumbuhan, air, dan hewan seperti mereka memperlakukan dirinya sendiri. Ajaran mengenai keseimbangan manusia dan alam terefleksi dari bagaimana alam dimaknai oleh penganutnya. Alam dianggap sebagai tempat bersemayamnya para dewa sehingga harus dihormati. Jika sikap hormat itu tidak ada, maka manusia akan ditimpa malapetaka.[2] Menurut antropolog Reimar Schefold, wawasan orang Mentawai mengenai alam lingkungan dan jagat raya tidak berasal dari cerita dongeng, melainkan dari kisah yang benar-benar pernah terjadi.[3]
Pada jaman dahulu, Arat Sabulungan menjadi patokan norma untuk mengatur hubungan antara manusia dan alam serta dalam hubungan batin dengan tuhan. Dari sini, kemudian terjalin sikap hormat orang Mentawai terhadap alam. Jika alam dirusak, maka pemiliknya yang memiliki kekuatan sangat besar pun akan mengirim bencana. Pelanggaran terhadap aturan pun akan berakibat hukuman. Hukuman ini ditentukan melalui musyawarah di uma. Jika ada satu orang yang melanggar, maka seluruh anggota masyarakat juga dianggap akan terkena dampaknya.[2]
Sistem Kepercayaan
Dalam kepercayaan Arat Sabulungan, diyakini bahwa roh leluhur nenek moyang yang disebut Ketsat adalah zat yang memiliki kesaktian. Selain itu, dipercaya bahwa roh terkandung dalam setiap obyek yang ada di dunia, baik itu benda mati maupun makhluk hidup. Roh ini terpisah dari jasad yang berkeliaran secara bebas di alam luas. Pemahaman ini berbeda dengan agama-agama Samawi yang dominan di Indonesia dewasa ini di mana roh diyakini hanya terdapat pada makhluk hidup.[1]
Arat Sabulungan mengajarkan bahwa bukan manusia saja yang memiliki jiwa. Roh setiap obyek di dunia dipercaya menempati seluruh ruang di alam semesta, baik itu di darat, laut, dan udara. Perlu diketahui, gagasan mengenai roh dan jiwa adalah hal yang berbeda di mana jiwa dapat berdiam di dalam tubuh manusia yang sudah meninggal dunia meski rohnya sudah pergi.[1]
Ada beberapa roh yang dikenal dalam kepercayaan Arat Sabulungan di mana roh-roh tersebut memiliki peran dan karakter yang berbeda satu-sama lain. Konsep pengetahuan akan hal gaib berupa roh yang menyebabkan orang dapat hidup disebut dengan Simagre. Roh yang dikenal di antaranya Sabulungan, yaitu roh yang keluar dari tubuh dan dianggap keluarnya terkadang hanya untuk sesaat, misalnya ketika seseorang sedang terkejut. Selain itu ada pula roh yang tidak pergi jauh dari tempat yang dihuni manusia di bumi, di air, udara, hutan belantara dan pegunungan. Di dalam uma, yaitu rumah yang berfungsi sebagai balai pertemuan dan tempat digelarnya acara-cara adat Mentawai juga bahkan dikenal terdapat roh penunggu. Roh ini disebut dengan nama kina.[1]
Tak hanya roh baik, dikenal pula roh yang bersifat jahat yang kerjanya menebarkan penyakit dan menimbulkan gangguan bagi manusia yang disebut sanitu. Roh ini berasal dari roh manusia yang bergentayangan setelah mati dengan cara yang tidak wajar, misalnya mati dibunuh atau bunuh diri.[1]
Sementara itu, istilah magere digunakan untuk merujuk pada jiwa manusia. Magere ini diyakini beerada di bagian ubun-ubun kepala. Magere bisa keluar dari tempatnya berdiam dan melakukan petualangan saat manusia sedang tertidur hingga menimbulkan mimpi. Jika magere bertemu dengan roh jahat ketika sedang keluar, maka tubuh manusia tersebut akan sekit. Sedangkan jika tubuh meminta pertolongan kepada leluhur maka tubuh akan meninggal dengan roh yang telah pergi. Perginya roh sekaligus membuat tubuh hanya ditempat oleh jiwa yang disebut pitok.[1]
Pitok adalah sosok yang ditakuti oleh masyarakat Mentawai. Pitok dipercaya mencari tubuh manusia lain sebagai korban agar ia bisa terus berada di bumi. Karena alasan inilah masyarakat Mentawai kerap menggelar upacara-upacara untuk mengusir pitok.[1]
Selain roh dan jiwa, pengakuan terhadap keberdaaan dewa-dewa juga dikenal dalam Arat Sabulungan. Setidaknya ada tiga dewa yang diposisikan secara terhormat. Pertama Tai Kalelu, yakni dewa hutan dan gunung. Kedua Tai Leubagat, yaitu dewa laut. Yang ketiga adalah dewa langit pemberi hujan dan kehidupan yang disebut Tai Kamanua.[2]
Ritual dan Upacara
Ada beberapa ritual yang biasa dilakukan masyarakat Mentawai penganut kepercayaan Arat Sabulungan. Misalnya ada masa nyepi di mana oang-orang akan menghentikan aktifitas rutinnya untuk sementara. Masa nyepi ini ada dua macam, aitu Lia dan Punen. Lia adalah menghentikan akfitas karena adanya peristiwa-peristiwa hidup yang dianggap penting seperti kelahiran, kematian, atau ada anggota keluarga yang sakit. Kegiatan pembuatan perahu pun termasuk masa-masa yang perlu diiringi dengan lia.[1]
Sementara itu, punen adalah nyepi yang dilakukan oleh masyarakat secara keseluruhan di mana pelaksanannya menyangkut masa pembangunan uma, kecelakaan, merebaknya wabah penyakit, atau adanya pembunuhan.[1]
Selama pelaksanaan lia dan punen, masyarakat tidak diperbolehkan bekerja. Sedangkan kegiatan makan dan minum masih diizinkan untuk dilakukan.[1]
Perkembangan Saat Ini
Masuknya pengaruh dari luar ke Mentawai turut berpengaruh terhadap keberadaan Arat Sabulungan. Pada perkembangannya, Arat Sabulungan tidak lagi dilaksanakan secara formal. Terlebih setelah hadirnya agama-agama baru, posisi Arat Sabulungan menjadi semakin terpojok pada tahun 1950-an.[2]
Awalnya kehadiran agama baru menuai pertentangan dari masyarakat Mentawai. Perlawanan fisik bahkan tidak terhindarkan karena mereka merasa sudah punya agama yang dijadikan pegangan hidup. Meski demikian, kemudian yang terjadi adalah sejumlah penduduk ditangkap dan dipaksa meninggalkan Arat Sabulungan lalu memeluk agama baru. Arat Sabulungan juga dianggap sebagai kepercayaan sesat hingga segala atribur mereka dibakar dan dihancurkan.[2]
Ancaman dan pemaksaan yang ada sempat membuat masyarakat takut untuk melaksanakan ritual. Namun, Mentawai bagian Siberut masih mempertahankan kepercayaannya dengan gigih sementara di wilayah lain tradisinya telah meluntur.[2]
- ^ a b c d e f g h i j k "Arat Sabulungan; Kepercayaan Orang Mentawai". WACANA (dalam bahasa Inggris). 2013-05-16. Diakses tanggal 2019-04-09.
- ^ a b c d e f g h "Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai yang Nyaris Punah". Sportourism.id. Diakses tanggal 2019-04-09.
- ^ "Kisah Penggulungan Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai | Padangkita.com". Berita Sumatera Barat Terkini. 2017-11-08. Diakses tanggal 2019-04-09.