Suku Donggo

suku bangsa di Indonesia
Revisi sejak 10 April 2019 02.51 oleh DYAHSARS (bicara | kontrib) (pakaian adat)

Suku Donggo atau disebut juga dengan Dou Donggo adalah suku bangsa di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Suku ini merupakan kelompok penduduk asli, masyarakat Donggo yang bermukim di pegunungan dan dataran tinggi di sebelah barat dan tenggara teluk Bima yang dikenal dengan Dou (Orang) Donggo Ipa dan Donggo Ele. Orang (Dou) Donggo Ipa bermukim di sebelah barat teluk Bima yaitu di gugusan pegunungan Soromandi. Sedangkan Dou Donggo Ele bermukim di sekitar pegunungan La Mbitu. Dengan demikian, Dou Donggo Ele diartikan sebagai orang dataran tinggi sebelah timur. Sedangkan Dou Donggo Ipa berarti juga orang dataran tinggi sebelah barat teluk Bima.[1]

Bahasa

Terdapat sedikit perbedaan bahasa yang digunakan pada masyarakat Donggo Ipa dan Donggo Ele. Bahasa dan budaya yang berkembang dalam masyarakat Donggo Barat (Donggo Ipa) hampir sama dengan bahasa dan budaya yang berkembang pada masyarakat Bima pada umumnya. Sedangkan, masyarakat Donggo Timur atau Donggo Ele (Dou Donggo Ele) adalah kelompok masyarakat Bima (Mbojo) yang berdomisili di daerah sekitar puncak Gunung La Mbitu. Berbeda dengan masyarakat Donggo Ipa, masyarakat Donggo Ele memiliki bahasa dan budaya tersendiri. Oleh masyarakat Bima pada umumnya, bahasa orang Donggo Ele lebih sering dirujuk sebagai Nggahi Sambori (Bahasa Sambori) walaupun sebenarnya bahasa tersebut digunakan juga di Kuta, Kawuwu, Kalodu, Tarlawi, Nggelu, dan Baku. Salah satu faktor pendorong pelabelan ini adalah jumlah orang asal Sambori yang menempuh pendidikan di Kota Bima dan daerah sekitarnya relatif lebih banyak dibandingkan dengan daerah Donggo Ele lainnya. Kesamaan bahasa Sambori dengan bahasa Bima dalam hal kosa kata kurang dari 10 % dan layak disebut sebagai bahasa tersendiri.[2]

Karakteristik

Masyarakat Donggo Barat atau Donggo Ipa merupakan masyarakat Bima (Mbojo) yang mendiami wilayah pegunungan Soromandi. Masyarakat ini sering diidentikkan dengan kekerasan, kesaktian dan keteguhan pada pendirian sebagai akibat dari sejarah hidup mereka yang tegas melawan penjajah Belanda (misalnya, dalam Perang Mbawa tahun 1910 dan Perang Kala tahun 1909).[2]

Pakaian adat

Laki-laki tua dan dewasa pada masyarakat dewasa Donggo Ipa mengenakan sambolo (ikat kepala) yang terbuat dari kain kapas bercorak kotak-kotak tanpa disngket dengan baju berkerah warna hitam atau biru tua, tetapi terdapat juga orang yang memakai baju putih berlengan pendek. Salongo (ikat pinggang) terbuat dari kain kapas yang ditenun sendiri. Umumnya Salongo terbuat dari benang kapas yang dipintal sendiri kemudian dicelupkan pada ramuan tumbuhan perdu dari kain pohon tarum. Pisau kecil atau pisau mone digunakan sebagai perlengkapan yang berfungsi untuk meraut daun lontar.

Perempuan tua dan dewasa menggunakan kababu (baju hitam khas Donggo) yang terbuat dari benang katun dengan warna hitam yang dibuat menyerupai baju poro (baju pendek) dengan bentuk yang sederhana. Lalu bawahan menggunakan deko (celana panjang) dibwah lutut atau lebih yang berwarna hitam. Sarung menggunakan tambe me'e kala (kain hitam atau biru tua yang cukup panjang tanpa dijahit). Sarung dipakai dengan dililitkan secara lepas di luar deko dan ujungnya diselempangkan atau diikat satu kali. Perhiasan yang biasanya dipakai adalah kalung dari manik-manik giwang, seperti karabu, jima (gelang) gilo, jima bula, dan jima edi.

Laki-laki remaja mengenakan baju mbolo wo'o (baju leher bundar) yang umumnya seperti kaos. Baju tersebut erbuat dari benag kapas berwarna hitam dan bergaris-garis putih. Salongo yang digunakan berwarna merah atau kuning yang mempunyai fungsi sebagai tempat untuk merapatkan pisau mone (pisau laki-laki). Kemudian aksesoris yang digunakan adalah pisau mone berhulu panjang berbentuk agak menjorok.

Perempuan remaja memakai pakaian yang disebut dengan kani dou sampela. Mereka memakai kababu (baju hitam khas Donggo) yang terbuat dari benang katun dan dibentuk menjadi baju berlengan pendek. Lalu, celana yang dikenakan adalah dekodengan bentuk segitiga yang panjangnya sampai dengan lutut. Sarungnya adalah tembbe Donggo berwarna hitam dengan kotak-kotak putih dipakai dengan mengikatkan dibagian perut. Perhiasan yang dipakai adalah kalung dari manik-maik merah yang dililitkan dan dibiarkan berkali-kali terjuntai dari leher ke dada.

Untuk pakaian bepergian, laki-laki menggunakan sambolo (ikat kepala) sari katun berwarna hitam atau biru tua. Tembe me'e Donggo berwarna hitam dengan garis-garis kecil dan salampe dari kain yang digunakan sebagai ikat pinggang. Alas kaki yang dipakai adalah sapoda, yang merupakan hasil buatan sendiri dari kulit binatang. Perempuan dewasa menggunakan perhiasan kalung manik-manik berwarna merah untuk bepergian dan memakai alas kaki. Untuk pakaian sehari-hari, laki-laki Donggo menggunakan sambolo seperti masyarakat Bima pada umumunya, kababu berwarnahitam atau biru tua, tembe me'e Donggo yang berwarna senada dengan kababu, lalu menggunakan salongo, dan tanpa alas kaki.[3]

Tradisi

Londo Duo

Londo Duo merupakan simbolik keturunandari beberapa klan keluarga di Donggo yang mengungkapkan asal garis keturunan mereka. Londo Duo berguna untuk mengumpulkan anggota keluarga yang masih satu keturunan pada klan keluarga yang bersangkutan.

  1. ^ Inayati, Nurul (2016). "ISLAMISASI DI DONGGO" (PDF). Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. 
  2. ^ a b Yusra, Kamaludin; Lestari, Yuni B.; Ahmadi, Nur (2016). "KEDUDUKAN DIALEKTOLOGIS BAHASA SAMBORI DALAM MASYARAKAT BIMA KONTEMPORER" (PDF). Jurnal Linguistik Indonesia. 34 (2): 147–161. 
  3. ^ "Hitam Yang Menawan - BIMASUMBAWA.COM | Budaya dan Pariwisata". www.bimasumbawa.com. Diakses tanggal 2019-04-10.