Primbon adalah semacam perhitungan atau ramalan bagi Suku Jawa.[1] Primbon biasanya membicarakan tentang watak manusia dan hewan berdasarkan ciri fisik, perhitungan mengenai tempat tinggal (Mirip Seperi ilmu feng sui), baik-buruknya waktu kegiatan seperti upacara perkawinan, pindah rumah, acara adat, dan lainnya.[1] Selain itu, dalam primbon tidak terbatas menentukan ramalan yang berkaitan dengan nasib atau jodoh.[1] Pendek kata, primbon dapat menjawab segala sesuatu tentang kehidupan manusia.[1]

Primbon atau paririmbon berasal dari kata dalam Bahasa Jawa. Primbon secara harfiah berasal dari kata "rimbu" yang berarti simpanan dari bermacam-macam catatan oleh orang jawa di jaman dahulu yang kemudian diturunkan atau disebarluaskan kepada generasi berikutnya.[2]

Catatan-catatan yang memuat pengetahuan penting itu lalu di kumpulkan mejadi sebuah buku primbon yang menjadi sumber rujukan orang-orang dari Suku Jawa sejak zaman dahulu. Primbon digunakan sebagai pedoman atau arahan dalam rangka mencapai keselamatan dan kesejahteraan lahir-batin.[2] Meski lebih menggejala di kalangan masyarakat Jawa, Bali, dan Lombok. Kenyataannya primbon juga bisa ditemukan di kebudayaan suku bangsa Nusantara lain. Di pulau Kalimantan misalnya Alfani Daud pernah menemukan adanya tradisi perhitungan waktu primbon di kalangan masyarakat penganut agama Islam di Banjar.[3]

Isi primbon jawa sebagian besar berisi bahasan mengenai perhitungan, perkiraan, peramalan nasib, meramal watak manusia, dan yang lainnya. Perhitungan serta ramalan yang beragama itu menggunakan penanggalan atau kalender sebagai dasarnya yang terdiri dari gabungan sedemikian rupa dari hari dan weton. Sejak zaman dahulu, perhitungan waktu dengan menggunakan kalender Jawa sudah digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk menentukan waktu bercocok tanam atau acara peringatan.[4]

Sejarah dan Perkembangan

Keberadaan primbon beserta kelahiran dan perkembangannya tidak lepas dari pengaruh Islam di Nusantara, khususnya Pulau Jawa di mana ada banyak nilai-nilai Islam yang diadopsi dan bersanding dengan unsur Hindu dan Budha. Awalnya, primbon hanya berupa catatan-catatan pribadi yang diwariskan secara turun-temurun di lingkungan keraton yang terdiri dari keluarga kerajaan dan abdi dalem. Saat memasuki abad ke-20 barulah naskah primbon mulai dicetak dan dipublikasikan secara bebas. Meski demikian, saat itu belum terbit naskah primbon dalam bentuk buku yang sistematis.[5]

Asal-usul primbon Jawa disebut terkait dengan kehidupan manusia pada masa lampau yang begitu tergantung pada proses mendalami, mencermati, dan memperlajari fenomena-fenomena alam demi menjauhkan diri dari hal buruk berupa kegagalan maupun musibah. Setiap kejadian yang terjadi dicatat di daun tal atau siwalan yang menjadi media tulis sebelum adanya pensil dan kertas seperti di era modern. Catatan pada daun itu kemudian disebut dengan daun lontar, yang berasal dari kata ron yang dalam bahasa Jawa berarti daun dan tal.[6]

Catatan-catatan yang ada kemudian ditata dan disusun dan dikembangkan hingga membentuk sistem penanggalan, musim, dan rasi bintang, serta tanda-tanda alam seperi letak tahi lalat, tafsir mimpi, ilmu kesaktian dan yang lainnya. Sebagai rangkuman, catatan-catatan tersebut dihimpun ke dalam naskah induk yang disebut dengan primbon. Adapun nama primbon beraal dari kata mbon atau mpon dalam yang dalam bahasa Jawa berarti induk yang ditambah awalan pri untuk meluaskan kata dasar. Dari sini, bisa dipahami bahwa primbon berarti induk dari kumpulan catatan mengenai pemikiran orang Jawa kuno.  Primbon kemudian dianggap penting dan dijadikan rujukan bagi orang Jawa sejak dahulu sebagai panduan kehidupan.[6]

Berdasarkan catatan sejarah, primbon dan perubahan yang menyertainya menjadi saksi masuknya Islam ke tanah Jawa. Saat itu para tokoh utama penyebar Islam di Jawa alias wali songo berinisiatif untuk menghimpun catatan-catatan kuno yang sarat pengaruh Hindu dan Budha untuk diubah menjadi bernuansia Islami. Saat itu, primbon sebagai catatan kumpulan ilmu gaib Jawa kuno memang sangat kental dengan mistitisme dari ajaran animisme dan dinamisme yang sebelumnya eksis. Kalimat-kalimat berisi pemujaan kepada para dewa dan makhluk gaib kemudian diganti dengan ayat-ayat Al-Quran. Inilah yang membuat adanya percampuran bahasa Jawa dan Arab dalam mantra primbon.[7]

Dimasukannya nuansa Islami juga terdapat pada sistem penanggalan dari yang tadinya menggunakan tahun Saka menjadi penangalan Hijriyah. Adalah Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo yang menerapkan perubahan sistem penanggalan ini dengan tujuan membuat umat Islam bersatu untuk melawan VOC Belanda sekaligus mencegah pengaruh agama Kristen atau Katolik yang dibawa dari Eropa.[7]

Naskah primbon cetakan tertua tercatat bertahun 1906 dan diterbitkan oleh De Bliksem. Setelah pada tahun 1930, diterbitkanlah primbon dalam bentuk buku yang sistematis. Naskah itu mengajarkan bahwa hari baik adalah langkah dasar dari setiap manusia. Di dalam hari baik itu, diyakini ada pengaruh dari kekuatan alam. Alasan itu pula yang menyebabkan setiap orang punya hari baik yang berbeda-beda pula.[5]

Kepercayaan

Orang Jawa memegang ajaran pendahulunya dalam melakukan perhitungan-perhitungan waktu khusus karena didasari oleh kepercayaan terhadap takdir. Dalam gagasan Jawa, diyakini takdir adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, namun manusia tetap harus berusaha karena takdir ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu Takdir Mubram dan Takdir Muallaq.[8]

Takdir Mubram adalah takdir Allah yang tidak dapat diubah, dipilih oleh manusia. Contoh dari Takdir Mubram adalah bagaimana tata surya bekerja dengan pergerakan planet dan benda-benda langit. Maka dari itu, diketahui ada dua hukum dalam Takdir Mubram, yaitu hukum alam dan hukum kemasyarakatan. Sementara itu, Takdir Mullaq adalah takdir yang dikaitkan dengan sesuatu yang lain dan dapat diubah serta dipilih oleh manusia. Ada dua hal yang menjadi penentu dari Takdir Muallaq, yaitu kesungguhan dalam berusaha atau iktiar serta doa.[8]

Perhitungan dalam Primbon

Dalam primbon, terdapat empat sifat dari hari yang buruk, keempatnya adalah Hari taliwangke (hari sengkala), samparwangke (hari sengkala), kunarpawarsa (tahun bencana), dan sangarwarsa (tahun bencana). Sementara itu sifat dari hari baik ada tiga, yaitu ) bulan rahayu (bulan baik), bulan sarju (bulan sedang), dan Anggara Kasih.[9]

Hari dan pasaran diyakini memiliki angkanya masing-masing. Gabungan dari hari dan pasaran yang disebut nah neptu weton kemudian menjadi acuan untuk mencari hari baik hingga meramal. Adapun hari Minggu memiliki angka 5, Senin 4, Selasa 3, Rabu 7, Kamis 8, Jumat 6, sedangkan Sabtu 9.[5]

Pandangan dari Perspektif Agama

Keberadaan primbon sebagai salah satu pengetahuan lokal Nusantara tidak luput dari sorotan dari agama Samawi, khususnya Islam sebagai agama yang paling banyak dianut masyarakat Jawa. Meski ada pengaruh Islam yang diadopsi dan bercampur dengan unsur kepercayaan Hindu-Budha, pertanyaan mengenai pandangan Islam terhadap primbon kerap dibahas. Terlebih, Islam tidak mengenal adanya hari-hari baik atau buruk seperti yang ada di dalam primbon.[5]

Mengenai apakah primbon bertentangan dengan ajaran Islam, ada pendapat yang berbeda. Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Ahmad Ishomuddin, misalnya berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara primbon dan Islam. Dalam penuturannya kepada media merdeka.com, ia berpendapat bahwa primbon merupakan sebuah budaya yang disertai pertimbangan logika sehingga jika ada masyarakat yang menggunakan primbon sebagai rujukan untuk mencari hal yang baik maka itu tidak masalah. KH Ahmad Ishomuddin juga mengingatkan soal prinsip Islam yang menghormati budaya selama itu tidak berlawanan dengan akidah agama.[5]

Nahdlatul Ulama melalui situs resminya juga memberikan penjelasan mengenai hal ini di mana disebutkan bahwa Imam Syafi'i juga membolehkan perhitungan baik dan buruk meski dengan batasan tertentu. Dalam penjelasannya yang dinukil Syekh Burhanuddin bin Firkah, disebutkan bahwa adalah hal yang diperbolehkan apabila ahli nujum menyakini tidak ada yang bisa memberi pengaruh baik dan buruk selain Allah SWT, namun Allah menjadikan kebiasaan bahwa hal tertentu terjadi pada waktu tertentu sementara yang dapat memberi pengaruh hanyalah Allah semata.[10]

Ada pula ulama yang mengharamkan perhitungan waktu baik dan buruk secara mutlak. Salah satu ulama yang mengharamkannya adalah Syekh Kamaluddin bin Zamlakani yang menilai hal semacam ini sepintas menuju ke arah kesyirikan alias praktik penyekutuan terhadap tuhan. Di sisi lain, pendapat Syekh Kamaluddin bin Zamlakani juga pernah ditanggapi berbeda oleh ulama lain seperti Imam as-Subki yang tidak membaca uraian Imam Syafi'i. Laman NU sendiri di lamannya menulis bahwa harus diakui "praktik semacam ini memang berisiko tergelinciran dalam hal akidah" dan "secara garis besar, tindakan semacam ini sebaiknya dijauhi."[10]

Sementara itu primbon dalam sudut pandang Katolik juga diuraikan oleh situs katolisitas.org yang menjelaskan bahwa umat Katolik sudah seharusnya mengetahui konteks tata kultural masyarakat serta tujuan dasarnya untuk kemudian menjadi acuan dalam mengambil sikap. Diyakini ada hal-hal dalam primbon yang tidak masuk akal dan hanya menimbulkan ketakutan karena sifatnya yang menjadi "kepercayaan membabi-buta." Maka dari itu, primbon sebaiknya dihargai sewajarnya sebagai hasil peradaban pada zamannya namun tidak perlu dipercaya.[11]


Referensi

  1. ^ a b c d Arti Primbon
  2. ^ a b "Sejarah Primbon Jawa" (dalam bahasa Inggris). 
  3. ^ Bay Aji Yusuf, (2009), Konsep Ruang dan Waktu dalam Primbon serta Aplikasinya pada Masyarakat Jawa, Skripsi Program Studi Perbandingan Agama Fakultas Ushluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Hal.3.
  4. ^ Moh. Abid Iqsan, (2015), Primbon: Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung. Hal.34.
  5. ^ a b c d e Winarno, Hery H. "Primbon dalam sudut pandang Islam". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-15. 
  6. ^ a b "Sejarah dan Asal Usul Munculnya Primbon Jawa". Informasi Budaya Jawa. 2017-12-04. Diakses tanggal 2019-04-18. 
  7. ^ a b Moh. Abid Iqsan, (2015), Primbon: Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung. Hal.2.
  8. ^ a b Moh. Abid Iqsan, (2015), Primbon: Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung. Hal.6-7.
  9. ^ Moh. Abid Iqsan, (2015), Primbon: Pernikahan dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Tulungagung. Hal.9.
  10. ^ a b Online, N. U. "Apakah Menghitung Hari Baik-Buruk Termasuk Syirik?". NU Online (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-15. 
  11. ^ katolisitas.org. "Primbon – katolisitas.org" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-15.