Republik Maluku Selatan

bekas negara

Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan Maluku yang diproklamasikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya adalah Seram, Ambon, dan Buru.[butuh rujukan] RMS di Ambon dikalahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di Seram masih berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda pada tahun 1966. Ketika pemimpin pemberontak Dr. Chris Soumokil ditangkap militer Indonesia dan dieksekusi tahun 1966, presiden dalam pengasingan dilantik di Belanda. Pemerintahan terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete, pengacara berusia 55 tahun, yang dilantik pada April 2010.

Republik Maluku Selatan

1950–hari ini
Bendera Maluku Selatan
Bendera
{{{coat_alt}}}
Lambang
Teritori yang diklaim Republik Maluku Selatan.
Teritori yang diklaim Republik Maluku Selatan.
StatusTerasingkan sejak 1963
Ibu kotaAmbon
PemerintahanRepublik
Presidena 
• April–Mei 1950
Johanis Manuhutu
• 1950–1966
Chris Soumokil
• 1966–1992
Johan Manusama
• 1993–2010
Frans Tutuhatunewa
• 2010–sekarang
John Wattilete
Sejarah 
• Didirikan
25 April 1950
• Dibubarkan
Desember hari ini
Didahului oleh
Digantikan oleh
Hindia Belanda
Indonesia
  1. Terasingkan sejak 1966.
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Penaklukan Belanda mengerahkan kontrol kolonial di seluruh kepulauan pada abat ke-19, mendirikan pemerintahan kesatuan . Perbatasan indonesia saat ini dibentuk melalui ekspansi kolonial yang diselesaikan pada abad ke-20. Setelah pendudukan oleh Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II berakhir pada 1945, para pemimpin nasionalis di Jawa secara sepihak mendeklarasikan Kemerdekaan Indonesia . Tidak semua wilayah dan masyarakat Indonesia saat ini segera berlangganan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan.

Perlawanan masyarakat adat awal yang teroganisir datang dari Maluku Selatan dengan dukungan dan bantuan dari pemerintah Belanda dan militer. Pemberontak Maluku Selatan awalnya berpegang penuh pada perjanjian pasca-kolonial awal yang menetapkan bentuk negara bagian federal. ketika perjanjian itu, yang disepakati antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda pada Desember 1949, dilanggar, mereka secara sepihak mendeklarasikan Republik Maluku Selatan (RMS) yang sepenuhnya independen pada April 1950. Para Pemimpin Maluku Selatan mendasarkan keputusan mereka pada perjanjian itu, yang menetapkan otonomi masing-masing negara bagian dari federasi.

Setelah kekalahan RMS di Ambon oleh pasukan Indonesia pada bulan November 1950, pemerinrah yang menyatakan diri menarik diri ke Seram, dimana perjuangan bersenjata berlanjut hingga Desember 1963. Pemerintah dalam pengasingan pindah ke Belanda pada tahun 1966, mengikuti pemimpin perlawanan dan presiden Penangkapan dan eksekusi Chris Soumokil oleh otoritas Indonesia. Pemerintah yang diasingkan terus ada, dengan John Wattilete sebagai presiden yang berkuasa sejak April 2010.

Pengasingan

Pertahanan utama RMS di Pulau Ambon dipatahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, sedangkan perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram sampai 1962. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian pemerintahan RMS dari pulau-pulau tersebut dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda.[1] Tahun berikutnya, 12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan "Republik Maluku Selatan".

Di sana, sebagian gerakan RMS melakukan serangan teror di Belanda. Sejumlah penelitian berpendapat bahwa serangan ini muncul akibat frustrasi tidak adanya dukungan dari pemerintah Belanda.[2]

Serangan pertama dilancarkan tahun 1970 di rumah Duta Besar Indonesia di Wassenaar. Seorang polisi Belanda ditembak dan tewas. Serangan ini diikuti oleh pembajakan kereta api di Wijster tahun 1975. Pembajakan tersebut dibarengi oleh serangan buatan lain di konsulat Indonesia di Amsterdam. Tiga sandera dieksekusi di kereta dan seorang berkebangsaan Indonesia cedera parah saat mencoba kabur dari konsulat. Pada tahun 1977, terjadi pembajakan kereta di De Punt yang dibarengi oleh penyanderaan sekolah dasar di Bovensmilde. Aksi-aksi ini diakhiri secara paksa melalui serbuan marinir Bijzondere Bijstands Eenheid (BBE) yang menewaskan enam teroris dan dua sandera. Aksi RMS terakhir terjadi tahun 1978 ketika balai provinsi di Assen diduduki anggota RMS. Aksi ini juga digagalkan oleh pasukan BBE.

Sejak 1980-an sampai sekarang, belum ada serangan baru yang dilancarkan RMS.

Presiden

Presiden pertama RMS dalam pengasingan adalah Prof. Johan Manusama (1966–1993).

Dr. Chris Soumokil J.D. adalah Presiden RMS yang pada tahun 1954 bersembunyi dan memimpin perjuangan gerilya di Pulau Seram. Ia ditangkap ABRI di Seram pada tanggal 2 Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta dan dihukum mati. Ia dieksekusi pada tanggal 12 April 1966.

Pemerintah RMS dalam pengasingan masih berdiri di bawah pimpinan Frans Tutuhatunewa M.D. pada tahun 1993–2010. Mereka tetap tidak menyerukan aksi kekerasan terhadap Belanda maupun Indonesia. Presiden dalam pengasingan menyatakan bahwa generasi muda harus berfokus pada pendidikan dan pengembangan diri mereka di Belanda jika benar-benar ingin mendukung dan membangun Maluku Selatan.

Duta besar Indonesia untuk Belanda Junus Effendi Habibie, adik presiden ketiga Indonesia, mengatakan bahwa ia akan mengusahakan sebisanya untuk membantu pemulangan generasi pertama suku Maluku ke tanah airnya jika mereka berhenti menuntut kemerdekaan.[3][4]

John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis ketimbang presiden-presiden sebelumnya.

Bendera

Bendera RMS terdiri dari warna biru, putih, hijau, dan merah (1:1:1:6) dan memiliki proporsi 2:3. Bendera ini pertama kali dikibarkan tanggal 2 Mei 1950 pukul 10.00. Dua hari kemudian, pemerintah merilis penjelasan tentang arti bendera. Warna biru melambangkan laut dan kesetiaan, putih kesucian, perdamaian, dan pantai putih, hijau tumbuh-tumbuhan, dan merah nenek moyang dan darah rakyat.

Lambang

 
Lambang Republik Maluku Selatan

Lambang RMS menampilkan burung merpati putih Maluku bernama 'Pombo'. Merpati putih dianggap sebagai simbol positif dan harapan baik. 'Pombo' ditunjukkan bersiap-siap terbang, sayapnya setengah terbuka dan di paruhnya terdapat cabang pohon damai. Dadanya bertuliskan 'parang', 'salawaku', dan bentuk tombak.

Bagian blazon dari lambang RMS bertuliskan 'Mena - Moeria'. Slogan ini berasal dari bahasa Maluku Melanesia asli. Sejak dulu, kata-kata ini diteriakkan oleh nakhoda dan pendayung perahu tradisional Maluku, Kora Kora, untuk menyeragamkan gerakan mereka saat ekspedisi lepas pantai. Slogan ini berarti 'Depan - Belakang', tetapi bisa juga diterjemahkan menjadi 'Saya pergi- Kita mengikuti' atau 'Satu untuk semua- Semua untuk satu'.

Lagu kebangsaan

Lagu kebangsaan RMS berjudul "Maluku Tanah Airku" dan dikarang dalam bahasa Melayu oleh Chr. Soumokil dan O. Sahalessy dengan aksara Latin dan Maluku Melanesia.[5]

Lirik

Teks asli

Oh Maluku, tanah airku,
Tanah tumpah darahku.
Ku berbakti padamu
Slama hari hidupku.
Engkaulah pusaka raya
Yang leluhur dan teguh.
Aku junjung selamanya
Hingga sampai ajalku.
Aku ingat terlebih
Sejarahmu yang pedih.

Oh Maluku, tanah airku,
Tanah datuk-datukku.
Atas via dolorosa
Engkau hidup merdeka.
Putra-putri yang sejati
Tumpah darah bagimu.
Ku bersumpah trus berbakti
Serta tanggung nasibmu.
Aku lindung terlebih
Sejarahmu yang pedih.

Mena-Muria, printah leluhur
Segenap jiwaku seru.
Bersegralah membelamu
Seperti laskar yang jujur.
Dengan prisai dan imanku
Behkan harap yang teguh.
Ku berkurban dan berasa
Karena dikaa ibuku
Ku doakan terlebih
Mena-Muria, hiduplah!

Perkembangan RMS saat ini

Perkembangan politik di Belanda

Duta besar Indonesia untuk Belanda, Yunus Effendi Habibie, memberitahu Radio Netherlands Worldwide bahwa Indonesia senang mengetahui bahwa pemerintahan terasing Maluku tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan. Menurut Habibie, penduduk Maluku sudah diberikan hak otonomi, sehingga situasi masa kini tidak perlu diubah lagi. Ia menolak kemerdekaan Maluku. Komentar Habibie muncul setelah Presiden Maluku dalam pengasingan, John Wattilete, mengatakan bahwa negara Maluku tidak lagi menjadi prioritas utamanya. Meski kemerdekaan masih menjadi tujuan terakhir, ia menyatakan puas dengan otonomi yang juga diberlakukan di Aceh. Katanya, "Hal paling penting adalah penduduk Maluku bisa memimpin daerahnya sendiri."[6][7]

Pada bulan April 2010 John Wattilete menjadi presiden kelima RMS. Ia adalah presiden pertama yang berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis dibanding presiden-presiden sebelumnya. Akan tetapi, sehari sebelum kunjungan kenegaraan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, pertama kali sejak 1970,[8] Wattilete mengeluarkan perintah hukum agar Presiden ditahan setelah menginjakkan kaki di Belanda. Meski sejumlah pakar hukum menyebut aksi ini tidak berperasaan dan gagal, Presiden Yudhoyono membatalkan kunjungannya keesokan harinya.[9]

Perkembangan politik di Indonesia

Penduduk Maluku Selatan mayoritas beragama Kristen, tidak seperti wilayah-wilayah lain di Indonesia yang didominasi Muslim. Republik Maluku Selatan juga didukung oleh Muslim Maluku pada masa-masa awalnya. Saat ini, meski mayoritas penganut Kristen di Maluku tidak mendukung separatisme,[butuh rujukan] ingatan akan RMS dan tujuan-tujuan separatisnya masih bergaung di Indonesia. Umat Kristen Maluku, saat kekerasan sekte 1999-2002 di Maluku, dituduh memperjuangkan kemerdekaan oleh umat Islam Maluku. Tuduhan ini berhasil membakar semangat umat Islam untuk melawan dengan mendirikan Laskar Jihad. Situasi tersebut tidak diperparah oleh fakta bahwa umat Kristen Maluku di luar negeri memang memperjuangkan berdirinya RMS.

Di Maluku, Piagam Malino II ditandatangani untuk mengakhiri konflik dan menciptakan perdamaian di Maluku. Penduduk Maluku mengaku "menolak dan menentang segala jenis gerakan separatis, termasuk Republik Maluku Selatan (RMS), yang mengancam kesatuan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Akan tetapi, saat presiden Indonesia berkunjung ke Ambon pada musim panas 2007, sejumlah simpatisan RMS melancarkan provokasi dengan menari Cakalele dan mengibarkan bendera RMS.[10]

Sejak 1999, sebuah organisasi baru bernama Front Kedaulatan Maluku (FKM) beroperasi di Ambon, mengumpulkan senjata, dan mengibarkan bendera RMS di tempat-tempat umum. Pemimpin FKM, Alex Manuputty, mengungsi ke Amerika Serikat dan terus memperjuangkan kemerdekaan.[11]

Referensi