Rumbia
Kebun rumbia.
Darmaga, Bogor.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Divisi:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
M. sagu
Nama binomial
Metroxylon sagu
Sinonim

Metroxylon rumphii
M. squarrosum

<p align="justify">Rumbia atau disebut juga (pohon) Sagu adalah nama sejenis palma penghasil tepung sagu. Metroxylon berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata, yaitu Metro/Metra dan Xylon. Metra berarti pith (isi batang atau empulur) dan Xylon berarti xylem. Kata sago atau sagu memiliki arti pati yang terkandung dalam batang palma sagu[1]. Di Indonesia ada beberapa nama daerah untuk tanaman sagu seperti rumbia, kirai (Sunda), ambulung kersulu (Jawa), dan Lapia (Ambon). Warga Malaysia mengenal sagu dengan sebutan rumbia dan balau, lumbia (Philipina), thagu bin (Myanmar), saku (Kamboja), dan sakhu (Thailand)[2]. Sementara nama ilmiahnya adalah Metroxylon sagu.</p>

Informasi Dasar terkait Tanaman

 
Belukar rumbia

Rumbia termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae yang hanya mempunyai satu titik tumbuh sehingga  tanaman ini hanya memiliki satu batang dan tidak bercabang[2]. Batang sagu berbentuk silinder dengan diameter 50-90 cm, batang sagu bebas daun dapat mencapai tinggi 16–20 m pada saat masa panen. Daun-daun besar, majemuk menyirip, panjang hingga 7 m, dengan panjang anak daun lk. 1.5 m; bertangkai panjang dan berpelepah. Sebagaimana gebang, rumbia berbunga dan berbuah sekali (monocarpic) dan sudah itu mati. Karangan bunga bentuk tongkol, panjang hingga 5 m. Berumah satu (monoesis), bunga rumbia berbau kurang enak. Pohon sagu yang masih muda mempunyai kulit yang lebih tipis dibandingkan sagu dewasa. Batang sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur atau isi sagu yang mengandung serat-serat dan pati. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3-5 cm dan bagian tersebut di daerah Maluku sering digunakan sebagai bahan bangunan[3].

Pati yang terdapat dalam empulur sagu sering digunakan sebagai bahan makanan pokok di beberapa daerah di Indonesia, seperti Maluku, Papua, Riau dan Sulawesi karena mengandung karbohidrat yang tinggi. Pati sagu mengandung sekitar 27% amilosa dan 73% amilopektin, dan pada kosentrasi yang sama pati sagu mempunyai viskositas tinggi dibandingkan dengan larutan pati dari serelia lainnya[4]. Sagu  juga dapat dimanfaatkan sebagai  bahan baku industri pangan yang  antara lain dapat diolah menjadi bahan  makanan seperti mutiara sagu, kue  kering, mie, biskuit, dan kerupuk[5].

Batang sagu digunakan sebagai tempat penyimpanan pati sagu selama masa pertumbuhan, sehingga semakin berat dan panjang batang sagu semakin banyak pati yang terkandung di dalamnya. Pada umur panen 10–12 tahun, berat batang sagu dapat mencapai 1,2 ton[6]. Berat kulit batang sagu sekitar 17-25% sedangkan berat empulurnya sekitar 75-83% dari berat batang. Pada umur 3- 5 tahun, empulur batang sagu sedikit mengandung pati, akan tetapi pada umur 11 tahun empulur sagu mengandung 15-20% pati sagu.

Persyaratan Tumbuh dan Penyebaran

Tanaman sagu akan tumbuh dengan baik dan mendapatkan hasil pati yang banyak jika dalam pengelolaan budidaya sagu dilakukan pemeliharaan tanaman sagu dan tata kelola air. Sebagai upaya untuk meningkatkan potensi tanaman sagu, utamanya dalam hal produktifitas, maka pengetahuan akan tindakan budidaya tersebut meliputi pengadaan bahan tanaman, persiapan tanam, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama penyakit tanaman, panen dan pengelolahan pascapanen[5]. Pertumbuhan tanaman sagu dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti faktor internal, dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhui dari dalam tanaman, yaitu kondisi genetis tanaman sagu dan Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan sekitar, seperti intensitas cahaya matahari, curah hujan, ketersediaan air, suhu dan kelembaban udara. Tanaman sagu dapat tumbuh pada berbagai kondisi hidrologi dari yang terendam sepanjang masa sampai lahan yang tidak terendam air. Tanaman sagu memerlukan cahaya matahari dalam intensitas yang cukup, apabila ternaungi kadar pati di dalam batang sagu akan rendah[7].

Lahan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman sagu antara lain yaitu lahan pasang surut. Lahan pasang surut terdiri dari beberapa jenis lahan diantaranya lahan gambut. Luas lahan pasang surut yang direklamasi mencakup luas lahan gambut yang ikut direklamasi pula, sehingga penting untuk mengetahui luas dan penyebaran lahan pasang surut yang baik yang sudah direklamasi maupun belum. Luas kawasan pasang surut sekitar 24, 71 juta hektar, dari jumlah tersebut 9,46 juta hektar dinyatakan cocok untuk pertanian, serta 3,60 juta hektar yang telah direklamasi[8]. Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah bewarna cokelat dan bereaksi agak masam. Habitat tersebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu. Pada tanah-tanah yang tidak cukup tersedia mikroorganisme penyubur tanah, pertumbuhan tanaman sagu kurang baik. Selain itu, pertumbuhan tanaman sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama fosfat, kalium, dan magnesium. Akar napas sagu yang terendam terus menerus akan menghambat pertumbuhan tanaman sagu, sehingga pembentukan pati dalam batang juga terhambat[3].

Tanaman sagu yang dilakukan dengan perawatan, pemberian pupuk, pengendalian hama dan penyakit, dan pengaturan jarak tanam berhubungan erat dengan kerapatan. Semakin rapat tanaman, persaingan untuk mendapatkan faktor tumbuh anakan tanaman semakin kecil. Kerapatan tanaman mempengaruhi penampilan dan produksi tanaman, karena keefisienan penggunaan cahaya matahari, sehingga jarak tanam yang optimal menentukan besarnya produksi tanaman per satuan luas areal[9].

Pertumbuhan tanaman sagu pada umumnya tumbuh di lahan basah, dimana pada lahan basah pertumbuhan sagu akan lebih baik, karena sagu membutuhkan kebutuhan air yang banyak. Akan tetapi sagu juga bisa tumbuh di lahan kering namun tergantung pada varietas yang akan digunakan. Sehingga tentunya dalam hal budidaya akan ada perbedaan baik di lahan basah maupun lahan kering. Menurut Suryana (2007), dikenal dua jenis sagu, yaitu Metroxylon sp dan Arenga sp. Metroxylon sp umumnya tumbuh pada daerah rawa dan lahan marginal sedangkan Arenga sp tumbuh pada daerah kering dan lahan kritis.Sagu merupakan tanaman monokotil dari famili palmae[10].

Faktor lingkungan dapat mempengaruhi pertumbuhan bibit sagu. Faktor lingkungan tersebut diantaranya yaitu kelembaban, intensitas cahaya, dan suhu. Bintoro et.al (2010) menyatakan bahwa sagu tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan suhu 25 ℃ dengan kelembaban nisbi 90% dan intensitas penyinaran matahari sekurang-kurangnya 900 J/cm-2/hari. Faktor lingkungan yang terpenuhi dalam inkubasi untuk syarat tumbuh yaitu kondisi kelembaban dan intensitas cahaya. Kelembaban dalam ruang inkubasi pada pagi hari 96%, siang hari 77%, dan sore hari 66%. Kondisi kelembaban tersebut cukup memenuhi kebutuhan bibit sagu. Bibit sagu juga mendapatkan intensitas sinar matahari 991 J/ cm-2/ hari. Intensitas tesebut sesuai dengan rata-rata minimal yaitu 900 J/ cm-2/ hari. Kondisi suhu belum terpenuhi, karena suhu yang didapatkan hanya 28,86-34,7℃. Suhu terendah terjadi pada saat pagi hari yaitu 28,87℃. Pada siang hari suhu mengalami kenaikan menjadi 33,90℃. Suhu tertinggi terjadi pada sore hari yaitu 34,70 ℃ . Namun, suhu tersebut belum ideal, karena suhu yang dibutuhkan bibit sagu yaitu 25℃[11].

Media tumbuh juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bibit sagu. Media yang dipakai berupa tanah gambut. Secara alami status hara tanah gambut tergolong rendah, baik hara makro maupun mikro. Kandungan unsur hara gambut sangat ditentukan oleh lingkungan pembentukannya. Gambut memiliki pH yang sangat rendah yaitu <3,50-5,25. Media tumbuh masuk kategori masam. Namun, gambut mempunyai kemampuan menyerap dan menyimpan air jauh lebih tinggi dibandingkan media tumbuh lain karena komposisi bahan organik yang dominan menyebabkan gambut mampu menyerap air dalam jumlah yang relatif tinggi. Gambut mampu mengandung air mencapai 300-3.000% dari bobot keringnya, lebih besar dari tanah mineral yang hanya mampu mengandung air sekitar 20-35% dari bobot keringnya[11].

Pertumbuhan bibit sagu dipengaruhi oleh tingkat serangan OPT (organisme pengganggu tanaman). Serangan OPT yang dijumpai pada pembibitan berupa penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Cercosphora sp. Daun yang terserang akan memperlihatkan gejala bercak kecoklatan, kemudian daun menjadi kering dan berlubang-lubang. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan dua teknik yaitu kimia dan teknis. Pengendalian kimia dengan penyemprotan Furadan 3G dan pengendalian secara kultur teknis dengan memisahkan tanaman yang terjangkit[11].

Sagu diperkirakan berasal dari Maluku dan Papua dan telah lama menyebar di nusantara. Luas areal sagu yang terdapat di Indonesia diperkirakan lebih dari satu juta Ha. Bintoro, (1999) menyatakan bahwa perkiraan sebaran sagu di Indonesia meliputi Irian Jaya, Maluku, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa[12]. Flach (1983) menambahkan bahwa sagu yang baik pertumbuhannya terutama ditemukan di Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Pasifik Selatan yang meliputi areal 2,2 juta Ha[13]. Rumbia menyukai tumbuh di rawa-rawa air tawar, aliran sungai dan tanah bencah lainnya, di lingkungan hutan-hutan dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Pada wilayah-wilayah yang sesuai, rumbia dapat membentuk kebun atau hutan sagu yang luas.


Kecepatan Tumbuh dan Produksi

Penentuan pola tata air harus dirancang sedemikian rupa sehingga tujuan pengelolaan air baik untuk kebutuhan tanaman, maupun sebagai sarana lalu lintas dapat dicapai. Komponen tata air ini meliputi : saluran; air, pintu-pintu pengendali air serta tanggul dan jalan. Menurut Darwis (1992) sistem pembuatan drainase, kanal dan pintu air, demikian baiknya sehingga permukaan air tanah dapat diatur tingginya[14]. Tata saluran air terdiri atas saluran induk atau saluran primer, saluran penghubung atau saluran sekunder, dan saluran pengering areal atau saluran tersier[15]. Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tanaman penghasil karbohidrat terbesar di Indonesia. Potensi produksi pati kering sagu 20 40 ton/ha/tahun[16].

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi sagu antara lain:

  1. Benih diadakan secara vegetatif yaitu dari anakan yang tumbuh pada pokok yang sehat. Anakan yang dijadikan bibit berumur minimal 6 bulan atau berbobot sekitar 2-3 kg. Persemaian bibit dilakukan selama kurang lebih 3-4 bulan (sampai memiliki 2-3 daun) sebelum pertanaman ke lapangan untuk memberikan persentase tumbuh bibit yang tinggi.
  2. Bibit ditanam di lubang tanaman yang telah disiapkan pada jarak 8m x 8m x 8m atau 9m x 9m x 9m tergantung dari jenis sagu yang ditanam. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30cm x 30cm x 30cm. Bagian pangkal bibit dimasukkan ke dalam lubang kemudian di sekeliling bibit ditutup kembali dengan tanah hasil galian lubang tanam, top soil dimasukkan terlebih dahulu kemudian diikuti sub soil. Tanah di sekeliling bibit agak dipadatkan agar bibit dapat berdiri kokoh dan tegak.
  3. Pemeliharaan yang akan dilakukan agar pertumbuhan sagu maksimal adalah: (1) inventarisasi pokok dan penyisipan dilakukan sampai umur satu tahun, (2) pengendalian gulma di piringan pokok (circle weeding) dengan frekuensi 3 bulan sekali, (3) pengendalian hama penyakit sesuai keperluan, (4) pemupukan disesuaikan dengan umur dan (5) penjarangan apabila sudah diperlukan[17].

Produksi sagu terbesar pada Perkebunan Rakyat (PR) terjadi tahun 2015 yakni sebesar 277.129 ton sedangkan pada Perkebunan Swasta (PBS) produksi terbesar juga terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 146.817 ton. Luas areal penanaman sagu pada PR terbesar terjadi pada tahun 2015, yakni 176.215 ha sedangkan pada PBS luas areal konstan, yakni sebesar 20.200 ha. Sagu tidak ditanam pada Perkebeunan Negara (PBN). Produktivitas sagu terbesar pada PR terjadi pada tahun 2014 dengan nilai sebesar 4.404 kg/ha sedangkan pada PBS terjadi pada tahun 2015 dengan nilai sebesar 8.462 kg/ha. Volume ekspor sagu Indonesia secara umum menunjukkan tren positif sejak tahun 2010 hingga 2015, meski mengalami penurunan pada tahun 2011. Volume terbesar yakni 10.316 ton terjadi pada tahun 2015. Volume impor Indonesia mengalami fluktuasi dengan nilai terbesar yaitu 6.648 ton pada tahun 2011 dan nilai terkecil yaitu 8 ton pada tahun 2012[18].

Tanaman sagu bisa dipanen saat berumur 10-12 tahun. Panen sagu yang lama menyebabkan petani sagu memerlukan sumber pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga terjerat pada sistem ijon dengan menjual pohon sagu pada usia muda atau sebelum masa panen. Banyak masyarakat Desa Tanjung Peranap yang menebangi hutan dan bakau karena tidak adanya lapangan pekerjaan. Desa Tanjung Peranap terletak di daerah marjinal yaitu lahan gambut, penebangan hutan dan pembuatan kanal untuk mengangkut kayu hasil tebang dapat menyebabkan kebakaran hutan dan ketidak seimbangan ekosistem. Pengambilan bakau di sepanjang garis pantai dapat menyebabkan berkurangnya wilayah daratan karena abrasi. Pendapatan lain bisa didapatkan dengan mengoptimalisasikan penggunaan lahan sagu. Menurut Bintoro et al. (2017) kebun sagu dapat dikombinasikan dengan sistem mina sagu dan tumpang sari. Sistem mina sagu dapat dilakukan dengan membuat di lahan atau kolam terpal di antara tegakan pohon sagu. Selain sistem mina sagu, dapat juga dilakukan tumpang sari penanaman sayuran atau tanaman pangan diantara tegakan sagu. Sayuran yang dapat ditanam seperti jagung, cabai, kangkug, terung, buncis, timun, tomat bayam. Kegiatan mina sagu dan tumpang sari dilakukan agar meningkatkan penghasilan masyarakat pegiat tanaman sagu[16].

Menurut Beets (1982) dibutuhkan teknik budidaya pertanian yang mampu meningkatkan efisiensi penggunaan lahan. Efisiensi penggunaan lahan usahatani yang lebih produktif antara lain dengan mengusahakan beberapa jenis tanaman pada sebidang lahan yang sama. Teknik penanaman yang dapat dilakukan yaitu tumpang sari (inter cropping), tanaman sela (alley cropping), dan tumpang gilir (relay cropping). Tanaman sela (alley cropping) berkontribusi untuk meningkatkan iklim mikro kondisi lahan pertanian yang subur dan dapat meningkatkan hasil panen, lebih efisien penggunaan sumber daya air dan peningkatan efisiensi penggunaan hara. kebutuhan input rendah pupuk, pestisida, dan tenaga kerja, tanaman lorong memiliki potensi untuk meningkatkan nilai ekonomi dari lahan yang subur. Pola tanam tumpang sari dapat mereduksi populasi hama pada tanaman pokok dengan tanaman lainnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Sejalan dengan hal ini, hasil penelitian Setiawati dan Asandhi (2003) menunjukkan bahwa tumpangsari memberikan produktivitas total yang lebih tinggi (91-94%) daripada ditanam secara tunggal. Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan sagu dan pertumbuhan terung sebagai tanaman sela[16].

Kegunaan

Dari empulur batangnya dihasilkan tepung sagu, yang merupakan sumber karbohidrat penting bagi warga kepulauan di bagian timur Nusantara. Pelbagai rupa makanan pokok dan kue-kue diperbuat orang dari tepung sagu ini. Sagu dipanen tatkala kuncup bunga (mayang) telah keluar, namun belum mekar sepenuhnya. Umur panenan ini bervariasi menurut jenis kultivarnya, yang tercepat kira-kira pada usia 6 tahun.

Daun tua dari pohon yang masih muda merupakan bahan atap yang baik; pada masa lalu bahkan rumbia dibudidayakan (dalam kebon-kebon kiray) di sekitar Bogor dan Banten untuk menghasilkan atap rumbia ini. Dari helai-helai daun ini pun dapat dihasilkan semacam tikar yang disebut kajang. Daun-daunnya yang masih kuncup (janur) dari beberapa jenisnya dahulu digunakan pula sebagai daun rokok, sebagaimana pucuk nipah.

Umbutnya, dan juga buahnya yang seperti salak, dimakan orang. Buah ini memiliki rasa sepat, sehingga untuk menghilangkan kelatnya itu buah rumbia biasa direndam dulu beberapa hari di lumpur atau di air laut sebelum dikonsumsi. Tempayak dari sejenis kumbang, yang biasa hidup di batang dan umbut rumbia yang mati, disukai orang -dari Jawa hingga Papua- sebagai sumber protein dan lemak yang gurih dan lezat.

Galeri

Referensi

  1. Flach, M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute. Jerman.
  2. Ruddle, K., D. Johnson, P. K. Townsend and J. D. Rees. (1978). Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. An East-West Center Book, Honolulu.
  3. Haryanto, B. Dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.
  4. Swinkels, J. J. M. (1985). Sources of starch, its chemistry and physics. In Singhal et al., 2007. Industrial Production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers, Volume 72, pp. 1-20.
  5. Hrp, Bakhtiar Ruli et al. 2017. Kajian Budidaya Sagu (Metroxylon spp) Rakyat di Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti. JOM Faperta 4(1):1-14.
  6. Rumalatu, F. J. 1981. Distribusi dan Potensi Produk Pati Dari Batang Beberapa Jenis Sagu (Metroxylon sp.) Di Daerah Seram Barat. Tesis Fakultas Pertanian/Kehutanan Universitas Pattimura, Afiliasi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
  7. Bintoro, M. H., N. Setiadi, D. Allorerung, W. Y. Mofu, dan A. Pinem. 2008. Laporan Hasil Penelitian Pembibitan dan Karekteristik Lingkungan Tumbuh Tanaman Sagu. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyrakat IPB.
  8. Manwan, I,. Ismail, I. G. Alihamsyah, T,. Dan Partohardjono, S. 1992. Teknologi Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut : Potensi, Relevansi, dan Faktor Penentu. Dalam S. Partohardjono dan M. Syam (Eds). Risalah Pertemuan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. SWAMPS II – Puslitbangtan.
  9. Harjadi, Sri Setyanti. 1996. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  10. Suryana A. 2007. Arah dan Strategi pengembangan sagu di indonesia. Makalah  disampaikan pada lokakarya pengembangan sagu indonesia. Batam, 25-26  Juli 2007.
  11. Rahman, Hasan Basri Arif. 2017. Pertumbuhan Bibit Sagu Inkubasi dengan Pemberian Beberapa Taraf Perekat dan Pupuk Daun Majemuk (20-25-25). Skripsi.
  12. Bintoro, H.M.H. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan  Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanaman Perkebunan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. 11 September 1999. 70 hal.
  13. Flach, M. 1983. The Sago Palm: Domestication Exploitation and Products. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
  14. Darwis, SN., 1992. Tata air dan curah hujan pada usaha tani kelapa pasang surut. Prossiding forum komunikasi ilmiah penelitian dan pengembangan kelapa pasang surut, 28-29 Agustus 1992. Puslitbangtri. Bogor.
  15. Pranowo, D., H.T. Luntungan, D. Allorerung, Z. Untu. 1993. Budidaya tanaman kelapa di lahan pasang surut. Seri Pengembangn No. 22/1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
  16. Zuhro, Fatimatus. 2018. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sagu Dengan Tanaman Sela Terung Di Desa Tanjung Peranap Kabupaten Kepulauan Meranti. Skripsi IPB.
  17. Kementerian Pertanian (Kementan). 2012. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan: Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Sagu. Jakarta: Kementan.
  18. Kementerian Pertanian (Kementan). 2016. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Sagu 2015-2017. Jakarta: Kementerian Pertanian.
  19. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 1. Yay. Sarana Wana Jaya, Jakarta. Hal. 380-390.
  20. Steenis, CGGJ van. 1981. Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 136.
  21. McClatchey, W., H.I. Manner, and C.R. Elevitch. (2005). Metroxylon amicarum, M. paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm), ver. 1.1. In: Elevitch, C.R. (ed.) Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. Permanent Agriculture Resources (PAR), Holualoa, Hawaii.

Pranala luar


  1. ^ Flach, M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute. Jerman.
  2. ^ a b Ruddle, K., D. Johnson, P. K. Townsend and J. D. Rees. (1978). Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. An East-West Center Book, Honolulu.
  3. ^ a b Haryanto, B. Dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.
  4. ^ Swinkels, J. J. M. (1985). Sources of starch, its chemistry and physics. In Singhal et al., 2007. Industrial Production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers, Volume 72, pp. 1-20.
  5. ^ a b Hrp, Bakhtiar Ruli et al. 2017. Kajian Budidaya Sagu (Metroxylon spp) Rakyat di Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti. JOM Faperta 4(1):1-14.
  6. ^ Rumalatu, F. J. 1981. Distribusi dan Potensi Produk Pati Dari Batang Beberapa Jenis Sagu (Metroxylon sp.) Di Daerah Seram Barat. Tesis Fakultas Pertanian/Kehutanan Universitas Pattimura, Afiliasi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
  7. ^ Bintoro, M. H., N. Setiadi, D. Allorerung, W. Y. Mofu, dan A. Pinem. 2008. Laporan Hasil Penelitian Pembibitan dan Karekteristik Lingkungan Tumbuh Tanaman Sagu. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyrakat IPB.
  8. ^ Manwan, I,. Ismail, I. G. Alihamsyah, T,. Dan Partohardjono, S. 1992. Teknologi Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut : Potensi, Relevansi, dan Faktor Penentu. Dalam S. Partohardjono dan M. Syam (Eds). Risalah Pertemuan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. SWAMPS II – Puslitbangtan.
  9. ^ Harjadi, Sri Setyanti. 1996. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  10. ^ Suryana A. 2007. Arah dan Strategi pengembangan sagu di indonesia. Makalah  disampaikan pada lokakarya pengembangan sagu indonesia. Batam, 25-26  Juli 2007.
  11. ^ a b c Rahman, Hasan Basri Arif. 2017. Pertumbuhan Bibit Sagu Inkubasi dengan Pemberian Beberapa Taraf Perekat dan Pupuk Daun Majemuk (20-25-25). Skripsi.
  12. ^ Bintoro, H.M.H. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan  Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanaman Perkebunan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. 11 September 1999. 70 hal.
  13. ^ Flach, M. 1983. The Sago Palm: Domestication Exploitation and Products. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
  14. ^ Darwis, SN., 1992. Tata air dan curah hujan pada usaha tani kelapa pasang surut. Prossiding forum komunikasi ilmiah penelitian dan pengembangan kelapa pasang surut, 28-29 Agustus 1992. Puslitbangtri. Bogor.
  15. ^ Pranowo, D., H.T. Luntungan, D. Allorerung, Z. Untu. 1993. Budidaya tanaman kelapa di lahan pasang surut. Seri Pengembangn No. 22/1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
  16. ^ a b c Zuhro, Fatimatus. 2018. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sagu Dengan Tanaman Sela Terung Di Desa Tanjung Peranap Kabupaten Kepulauan Meranti. Skripsi IPB.
  17. ^ Kementerian Pertanian (Kementan). 2012. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan: Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Sagu. Jakarta: Kementan.
  18. ^ Kementerian Pertanian (Kementan). 2016. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Sagu 2015-2017. Jakarta: Kementerian Pertanian.