Rumbia
Kebun rumbia.
Darmaga, Bogor.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Divisi:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
M. sagu
Nama binomial
Metroxylon sagu
Sinonim

Metroxylon rumphii
M. squarrosum

Rumbia atau disebut juga (pohon) Sagu adalah nama sejenis palma penghasil tepung sagu. Metroxylon berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata, yaitu Metro/Metra dan Xylon. Metra berarti pith (isi batang atau empulur) dan Xylon berarti xylem. Kata sago atau sagu memiliki arti pati yang terkandung dalam batang palma sagu[1]. Di Indonesia ada beberapa nama daerah untuk tanaman sagu seperti rumbia, kirai (Sunda), ambulung kersulu (Jawa), dan Lapia (Ambon). Warga Malaysia mengenal sagu dengan sebutan rumbia dan balau, lumbia (Philipina), thagu bin (Myanmar), saku (Kamboja), dan sakhu (Thailand)[2]. Sementara nama ilmiahnya adalah Metroxylon sagu.

Informasi Dasar terkait Tanaman

 
Belukar rumbia

Rumbia termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae yang hanya mempunyai satu titik tumbuh sehingga  tanaman ini hanya memiliki satu batang dan tidak bercabang[2]. Batang sagu berbentuk silinder dengan diameter 50-90 cm, batang sagu bebas daun dapat mencapai tinggi 16–20 m pada saat masa panen. Daun-daun besar, majemuk menyirip, panjang hingga 7 m, dengan panjang anak daun lk. 1.5 m; bertangkai panjang dan berpelepah. Sebagaimana gebang, rumbia berbunga dan berbuah sekali (monocarpic) dan sudah itu mati. Karangan bunga bentuk tongkol, panjang hingga 5 m. Berumah satu (monoesis), bunga rumbia berbau kurang enak. Pohon sagu yang masih muda mempunyai kulit yang lebih tipis dibandingkan sagu dewasa. Batang sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur atau isi sagu yang mengandung serat-serat dan pati. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3-5 cm dan bagian tersebut di daerah Maluku sering digunakan sebagai bahan bangunan[3].

Pati yang terdapat dalam empulur sagu sering digunakan sebagai bahan makanan pokok di beberapa daerah di Indonesia, seperti Maluku, Papua, Riau dan Sulawesi karena mengandung karbohidrat yang tinggi. Pati sagu mengandung sekitar 27% amilosa dan 73% amilopektin, dan pada kosentrasi yang sama pati sagu mempunyai viskositas tinggi dibandingkan dengan larutan pati dari serelia lainnya[4]. Sagu  juga dapat dimanfaatkan sebagai  bahan baku industri pangan yang  antara lain dapat diolah menjadi bahan  makanan seperti mutiara sagu, kue  kering, mie, biskuit, dan kerupuk[5].

Batang sagu digunakan sebagai tempat penyimpanan pati sagu selama masa pertumbuhan, sehingga semakin berat dan panjang batang sagu semakin banyak pati yang terkandung di dalamnya. Pada umur panen 10–12 tahun, berat batang sagu dapat mencapai 1,2 ton[6]. Berat kulit batang sagu sekitar 17-25% sedangkan berat empulurnya sekitar 75-83% dari berat batang. Pada umur 3- 5 tahun, empulur batang sagu sedikit mengandung pati, akan tetapi pada umur 11 tahun empulur sagu mengandung 15-20% pati sagu.

Persyaratan Tumbuh dan Penyebaran

Tanaman sagu akan tumbuh dengan baik dan mendapatkan hasil pati yang banyak jika dalam pengelolaan budidaya sagu dilakukan pemeliharaan tanaman sagu dan tata kelola air. Sebagai upaya untuk meningkatkan potensi tanaman sagu, utamanya dalam hal produktifitas, maka pengetahuan akan tindakan budidaya tersebut meliputi pengadaan bahan tanaman, persiapan tanam, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama penyakit tanaman, panen dan pengelolahan pascapanen[5]. Pertumbuhan tanaman sagu dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti faktor internal, dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhui dari dalam tanaman, yaitu kondisi genetis tanaman sagu dan Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan sekitar, seperti intensitas cahaya matahari, curah hujan, ketersediaan air, suhu dan kelembaban udara. Tanaman sagu dapat tumbuh pada berbagai kondisi hidrologi dari yang terendam sepanjang masa sampai lahan yang tidak terendam air. Tanaman sagu memerlukan cahaya matahari dalam intensitas yang cukup, apabila ternaungi kadar pati di dalam batang sagu akan rendah[7].

Lahan yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman sagu antara lain yaitu lahan pasang surut. Lahan pasang surut terdiri dari beberapa jenis lahan diantaranya lahan gambut. Luas lahan pasang surut yang direklamasi mencakup luas lahan gambut yang ikut direklamasi pula, sehingga penting untuk mengetahui luas dan penyebaran lahan pasang surut yang baik yang sudah direklamasi maupun belum. Luas kawasan pasang surut sekitar 24, 71 juta hektar, dari jumlah tersebut 9,46 juta hektar dinyatakan cocok untuk pertanian, serta 3,60 juta hektar yang telah direklamasi[8]. Lingkungan yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah daerah yang berlumpur, akar napas tidak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah bewarna cokelat dan bereaksi agak masam. Habitat tersebut cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme yang sangat berguna bagi pertumbuhan tanaman sagu. Pada tanah-tanah yang tidak cukup tersedia mikroorganisme penyubur tanah, pertumbuhan tanaman sagu kurang baik. Selain itu, pertumbuhan tanaman sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar terutama fosfat, kalium, dan magnesium. Akar napas sagu yang terendam terus menerus akan menghambat pertumbuhan tanaman sagu, sehingga pembentukan pati dalam batang juga terhambat[3].

Tanaman sagu yang dilakukan dengan perawatan, pemberian pupuk, pengendalian hama dan penyakit, dan pengaturan jarak tanam berhubungan erat dengan kerapatan. Semakin rapat tanaman, persaingan untuk mendapatkan faktor tumbuh anakan tanaman semakin kecil. Kerapatan tanaman mempengaruhi penampilan dan produksi tanaman, karena keefisienan penggunaan cahaya matahari, sehingga jarak tanam yang optimal menentukan besarnya produksi tanaman per satuan luas areal[9].

Pertumbuhan tanaman sagu pada umumnya tumbuh di lahan basah, dimana pada lahan basah pertumbuhan sagu akan lebih baik, karena sagu membutuhkan kebutuhan air yang banyak. Akan tetapi sagu juga bisa tumbuh di lahan kering namun tergantung pada varietas yang akan digunakan. Sehingga tentunya dalam hal budidaya akan ada perbedaan baik di lahan basah maupun lahan kering. Menurut Suryana (2007), dikenal dua jenis sagu, yaitu Metroxylon sp dan Arenga sp. Metroxylon sp umumnya tumbuh pada daerah rawa dan lahan marginal sedangkan Arenga sp tumbuh pada daerah kering dan lahan kritis.Sagu merupakan tanaman monokotil dari famili palmae[10].

Faktor lingkungan dapat mempengaruhi pertumbuhan bibit sagu. Faktor lingkungan tersebut diantaranya yaitu kelembaban, intensitas cahaya, dan suhu. Bintoro et.al (2010) menyatakan bahwa sagu tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan suhu 25 ℃ dengan kelembaban nisbi 90% dan intensitas penyinaran matahari sekurang-kurangnya 900 J/cm-2/hari. Faktor lingkungan yang terpenuhi dalam inkubasi untuk syarat tumbuh yaitu kondisi kelembaban dan intensitas cahaya. Kelembaban dalam ruang inkubasi pada pagi hari 96%, siang hari 77%, dan sore hari 66%. Kondisi kelembaban tersebut cukup memenuhi kebutuhan bibit sagu. Bibit sagu juga mendapatkan intensitas sinar matahari 991 J/ cm-2/ hari. Intensitas tesebut sesuai dengan rata-rata minimal yaitu 900 J/ cm-2/ hari. Kondisi suhu belum terpenuhi, karena suhu yang didapatkan hanya 28,86-34,7℃. Suhu terendah terjadi pada saat pagi hari yaitu 28,87℃. Pada siang hari suhu mengalami kenaikan menjadi 33,90℃. Suhu tertinggi terjadi pada sore hari yaitu 34,70 ℃ . Namun, suhu tersebut belum ideal, karena suhu yang dibutuhkan bibit sagu yaitu 25℃[11].

Media tumbuh juga memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan bibit sagu. Media yang dipakai berupa tanah gambut. Secara alami status hara tanah gambut tergolong rendah, baik hara makro maupun mikro. Kandungan unsur hara gambut sangat ditentukan oleh lingkungan pembentukannya. Gambut memiliki pH yang sangat rendah yaitu <3,50-5,25. Media tumbuh masuk kategori masam. Namun, gambut mempunyai kemampuan menyerap dan menyimpan air jauh lebih tinggi dibandingkan media tumbuh lain karena komposisi bahan organik yang dominan menyebabkan gambut mampu menyerap air dalam jumlah yang relatif tinggi. Gambut mampu mengandung air mencapai 300-3.000% dari bobot keringnya, lebih besar dari tanah mineral yang hanya mampu mengandung air sekitar 20-35% dari bobot keringnya[11].

Pertumbuhan bibit sagu dipengaruhi oleh tingkat serangan OPT (organisme pengganggu tanaman). Serangan OPT yang dijumpai pada pembibitan berupa penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Cercosphora sp. Daun yang terserang akan memperlihatkan gejala bercak kecoklatan, kemudian daun menjadi kering dan berlubang-lubang. Pengendalian dilakukan dengan menggunakan dua teknik yaitu kimia dan teknis. Pengendalian kimia dengan penyemprotan Furadan 3G dan pengendalian secara kultur teknis dengan memisahkan tanaman yang terjangkit[11].

Sagu diperkirakan berasal dari Maluku dan Papua dan telah lama menyebar di nusantara. Luas areal sagu yang terdapat di Indonesia diperkirakan lebih dari satu juta Ha. Bintoro, (1999) menyatakan bahwa perkiraan sebaran sagu di Indonesia meliputi Irian Jaya, Maluku, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa[12]. Flach (1983) menambahkan bahwa sagu yang baik pertumbuhannya terutama ditemukan di Papua Nugini, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Pasifik Selatan yang meliputi areal 2,2 juta Ha[13]. Rumbia menyukai tumbuh di rawa-rawa air tawar, aliran sungai dan tanah bencah lainnya, di lingkungan hutan-hutan dataran rendah sampai pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Pada wilayah-wilayah yang sesuai, rumbia dapat membentuk kebun atau hutan sagu yang luas.

Kecepatan Tumbuh dan Produksi

Penentuan pola tata air harus dirancang sedemikian rupa sehingga tujuan pengelolaan air baik untuk kebutuhan tanaman, maupun sebagai sarana lalu lintas dapat dicapai. Komponen tata air ini meliputi : saluran; air, pintu-pintu pengendali air serta tanggul dan jalan. Menurut Darwis (1992) sistem pembuatan drainase, kanal dan pintu air, demikian baiknya sehingga permukaan air tanah dapat diatur tingginya[14]. Tata saluran air terdiri atas saluran induk atau saluran primer, saluran penghubung atau saluran sekunder, dan saluran pengering areal atau saluran tersier[15]. Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tanaman penghasil karbohidrat terbesar di Indonesia. Potensi produksi pati kering sagu 20 40 ton/ha/tahun[16].

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi sagu antara lain:

  1. Benih diadakan secara vegetatif yaitu dari anakan yang tumbuh pada pokok yang sehat. Anakan yang dijadikan bibit berumur minimal 6 bulan atau berbobot sekitar 2-3 kg. Persemaian bibit dilakukan selama kurang lebih 3-4 bulan (sampai memiliki 2-3 daun) sebelum pertanaman ke lapangan untuk memberikan persentase tumbuh bibit yang tinggi.

  2. Bibit ditanam di lubang tanaman yang telah disiapkan pada jarak 8m x 8m x 8m atau 9m x 9m x 9m tergantung dari jenis sagu yang ditanam. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 30cm x 30cm x 30cm. Bagian pangkal bibit dimasukkan ke dalam lubang kemudian di sekeliling bibit ditutup kembali dengan tanah hasil galian lubang tanam, top soil dimasukkan terlebih dahulu kemudian diikuti sub soil. Tanah di sekeliling bibit agak dipadatkan agar bibit dapat berdiri kokoh dan tegak.

  3. Pemeliharaan yang akan dilakukan agar pertumbuhan sagu maksimal adalah: (1) inventarisasi pokok dan penyisipan dilakukan sampai umur satu tahun, (2) pengendalian gulma di piringan pokok (circle weeding) dengan frekuensi 3 bulan sekali, (3) pengendalian hama penyakit sesuai keperluan, (4) pemupukan disesuaikan dengan umur dan (5) penjarangan apabila sudah diperlukan.

Produksi sagu terbesar pada Perkebunan Rakyat (PR) terjadi tahun 2015 yakni sebesar 277.129 ton sedangkan pada Perkebunan Swasta (PBS) produksi terbesar juga terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 146.817 ton. Luas areal penanaman sagu pada PR terbesar terjadi pada tahun 2015, yakni 176.215 ha sedangkan pada PBS luas areal konstan, yakni sebesar 20.200 ha. Sagu tidak ditanam pada Perkebeunan Negara (PBN). Produktivitas sagu terbesar pada PR terjadi pada tahun 2014 dengan nilai sebesar 4.404 kg/ha sedangkan pada PBS terjadi pada tahun 2015 dengan nilai sebesar 8.462 kg/ha. Volume ekspor sagu Indonesia secara umum menunjukkan tren positif sejak tahun 2010 hingga 2015, meski mengalami penurunan pada tahun 2011. Volume terbesar yakni 10.316 ton terjadi pada tahun 2015. Volume impor Indonesia mengalami fluktuasi dengan nilai terbesar yaitu 6.648 ton pada tahun 2011 dan nilai terkecil yaitu 8 ton pada tahun 2012.

Tanaman sagu bisa dipanen saat berumur 10-12 tahun. Panen sagu yang lama menyebabkan petani sagu memerlukan sumber pendapatan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga terjerat pada sistem ijon dengan menjual pohon sagu pada usia muda atau sebelum masa panen. Banyak masyarakat Desa Tanjung Peranap yang menebangi hutan dan bakau karena tidak adanya lapangan pekerjaan. Desa Tanjung Peranap terletak di daerah marjinal yaitu lahan gambut, penebangan hutan dan pembuatan kanal untuk mengangkut kayu hasil tebang dapat menyebabkan kebakaran hutan dan ketidak seimbangan ekosistem. Pengambilan bakau di sepanjang garis pantai dapat menyebabkan berkurangnya wilayah daratan karena abrasi. Pendapatan lain bisa didapatkan dengan mengoptimalisasikan penggunaan lahan sagu. Menurut Bintoro et al. (2017) kebun sagu dapat dikombinasikan dengan sistem mina sagu dan tumpang sari. Sistem mina sagu dapat dilakukan dengan membuat di lahan atau kolam terpal di antara tegakan pohon sagu. Selain sistem mina sagu, dapat juga dilakukan tumpang sari penanaman sayuran atau tanaman pangan diantara tegakan sagu. Sayuran yang dapat ditanam seperti jagung, cabai, kangkug, terung, buncis, timun, tomat bayam. Kegiatan mina sagu dan tumpang sari dilakukan agar meningkatkan penghasilan masyarakat pegiat tanaman sagu[16].

Menurut Beets (1982) dibutuhkan teknik budidaya pertanian yang mampu meningkatkan efisiensi penggunaan lahan. Efisiensi penggunaan lahan usahatani yang lebih produktif antara lain dengan mengusahakan beberapa jenis tanaman pada sebidang lahan yang sama. Teknik penanaman yang dapat dilakukan yaitu tumpang sari (inter cropping), tanaman sela (alley cropping), dan tumpang gilir (relay cropping). Tanaman sela (alley cropping) berkontribusi untuk meningkatkan iklim mikro kondisi lahan pertanian yang subur dan dapat meningkatkan hasil panen, lebih efisien penggunaan sumber daya air dan peningkatan efisiensi penggunaan hara. kebutuhan input rendah pupuk, pestisida, dan tenaga kerja, tanaman lorong memiliki potensi untuk meningkatkan nilai ekonomi dari lahan yang subur. Pola tanam tumpang sari dapat mereduksi populasi hama pada tanaman pokok dengan tanaman lainnya, sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Sejalan dengan hal ini, hasil penelitian Setiawati dan Asandhi (2003) menunjukkan bahwa tumpangsari memberikan produktivitas total yang lebih tinggi (91-94%) daripada ditanam secara tunggal. Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan sagu dan pertumbuhan terung sebagai tanaman sela[16].

Potensi di Indonesia

Potensi tanaman sagu di Indonesia cukup besar, diperkirakan sekitar 1.128 juta ha atau 51.3% dari luas areal sagu dunia, dengan daerah penyebaran utama adalah Maluku, Papua dan beberapa daerah lain seperti di Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. Sebagian besar dalam bentuk hutan sagu, yaitu sekitar 1.067.590 ha atau 90,3% dan tanaman sagu yang dibudidayakan secara tradisional sekitar 114.000 ha atau 9,7%[17].

Provinsi dengan jumlah produksi sagu dan luas lahan tanam terbesar di Indonesia pada PR selama tahun 2015 adalah Provinsi Riau yaitu dengan luas lahan sebesar 63.491 ha dengan produksi 219.215 ton. Begitu pula pada PBS, Provinsi Riau memiliki luas lahan tanam dan produksi sagu terbesar bahkan menjadi satu-satunya provinsi yang memiliki PBS sagu di Indonesia, luas lahan sebesar 20.200 ha dan produksi 146.817 ton[18]. Lahan sagu dunia seluas 2,5 juta Ha, terdapat di Indonesia seluas 1,25 juta Ha (50 %), dan dari luas tersebut 1,2 juta Ha terdapat di Papua dan Papua Barat[19]. Jawa Barat bukan salah satu provinsi penghasil sagu di Indoensia namun Jawa Barat mempunyai pabrik tepung sagu yang salah satunya berada di Tangkil, Cintamekar, Serangpanjang, Kabupaten Subang, Jawa Barat.

Salah satu Kabupaten di Riau yang memiliki potensi sagu terbesar adalah Kepulauan Meranti. Berdasarkan data dari Dinas Tanaman Pangan Ketahanan Pangan dan Peternakan Kabupaten Kepulauan Meranti, produksi sagu pertahunnya mencapai 205.051896 ton dengan jumlah lahan sebesar 39.000 hektar kebun masyarakat. Sebagian besar kebun rumbia di Meranti merupakan perkebunan rakyat yang dikelola secara turun temurun dan belum secara budidaya. Meranti bahkan memiliki lebih dari 300 kuliner berbahan dasar sagu. Tak salah jika produksi sagu di Kepulauan Meranti bisa menjadi yang terbaik di Indonesia bahkan dunia. Untuk pasar dalam negeri, pasar di Cirebon jadi andalan utama dari Meranti. Dari Kota Terasi tersebut, sagu Meranti didistribusikan ke daerah lainnya di Nusantara. Sagu dari Meranti pun sudah berhasil menembus pasar ekspor. Tercatat, Meranti mengekspor 32.000 ton sagu kebeberapa negara tetangga dari total produksi. Ekspor sagu itu baru mencapai 15 persen dari total produksi komoditas tersebut dan akan terus ditingkatkan. Pasar ekspor utama dari Sagu Meranti adalah Jepang, setidaknya 50 ton sagu terbang langsung ke Negeri Matahari Terbit tersebut[20].

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Howara et al. pada tahun 2016 di Desa Alindau, Kecamatan Sindue, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, komoditas sagu cukup membantu perekonomian masyarakat setempat meskipun masih kalah dnegan komoditas lain. Usahatani sagu di Desa Alindau saat ini tidak menjadi andalan pendapatan keluarga petani, hal ini disesbabkan karena alih fungsi lahan menjadi uasaha tani lain. Penebangan liar terhadap daun sagu yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk makanan ternak maupun dijual, menyebabkan pohon sagu tidak tumbuh dengan baik. Pendapatan responden yang diperoleh dari usahatani sagu rata-rata sebesar Rp 865.000,00. Pendapatan keluarga yang diperoleh dari usahatani lain, seperti kakao dan padi lebih besar dibandingkan pendapatan yang diperoleh dari usahatani sagu itu sendiri. Sagu yang telah menjadi tepung akan dijual langsung ke pasar ataupun konsumen yang datang langsung ke kebun. Nilai tambah dari sagu itu sendiri tidak ada, karena pengolahan tepung sagu menjadi makanan tradisional di Desa Alindau tidak dilakukan oleh ibu (istri) petani responden[21].

Produk Utama

Sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu sumber karbohidrat penting di beberapa bagian negara di dunia. Lebih dari 50% atau sekitar 1,1 juta ha diantaranya ada di Indonesia. Pati sagu dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan non pangan. Masyarakat di Papua, Maluku dan Sulawesi mengkonsumsi pati sagu sebagai bahan pangan pokok dalam bentuk kapurung atau papeda. Selain itu, pati sagu dikonsumsi dalam bentuk makanan tradisional seperti sagu lempeng/dange dan bagea. Pada sektor industri (pangan maupun non pangan) pati sagu dimanfaatkan dalam bentuk pati termodifikasi seperti pati teroksidasi maupun pati terfosforilasi[22].

Dalam industri kertas, pati teroksidasi digunakan untuk bahan sizing dan coating (pelapis) untuk memproduksi kertas yang bermutu tinggi seperti kertas kalender dan kertas tulis halus. Pati teroksidasi juga digunakan sebagai bahan sizing dalam industri tekstil untuk memproduksi kain-kain halus dari bahan katun dan bahan sintetis campuran lainnya. Sedangkan pati terfosforilasi dapat dimanfaatkan dalam industri pangan, kertas, adhesive, tekstil, obat-obatan dan detergent. Dengan perkembangan teknologi, pati sagu dapat dijadikan bahan baku untuk pembuatan plastik yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradabel (Rindengan dan Karouw, 2003). Dalam industri pangan pati teroksidasi digunakan sebagai bahan pengental, emulsifier, pengikat, pencegah sineresis dan fungsi lainnya untuk mempertahankan mutu suatu produk pangan. Pati teroksidasi yang memiliki sifat gel yang stabil banyak digunakan pada industri candy atau permen[22].

Prospek pasar sagu sebenarnya cukup baik. Permintaan terus meningkat baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Secara nasional permintaan diperkirakan mencapai ± 300.000 ton. Permintaan dalam negeri meningkat seiring dengan perkembangan industri makanan, farmasi dan lainnya. Pasar ekspor yang potensial yaitu Jepang, Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Thailand dan Singapura[22].

Persyaratan tertentu diperlukan untuk memenuhi permintaan pati sagu. Di Indonesia, standar mutu pati sagu dituangkan dalam SNI 01-3729-1995. Penerapan SNI tersebut dimaksudkan untuk pengaturan pasar domestik. Standar mutu yang tersedia, seyogyanya dapat diterima oleh berbagai pelaku pasar. Namun di dalam SNI ada beberapa atribut mutu pati sagu yang dianggap penting tetapi belum dicantumkan. Atribut yang dimaksud antara lain adalah warna, kekentalan dan tingkat kehalusannya. Warna, kekentalan dan kehalusan termasuk sifat pati yang menentukan kegunaannya lebih lanjut. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji beberapa standar mutu pati sagu dan melihat peluang penambahan atribut mutu warna, kekentalan dan kehalusan di dalam SNI. Oleh karena itu, standar mutu idealnya memuat atribut-atribut mutu yang dapat mewakili kualitas pati[22].

Produk Sekunder

Sagu (Metroxylon sago Rottb.) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang sangat potensial dalam mendukung program ketahanan pangan (Tarigans, 2001). Selain itu, sagu berpotensi sebagai substitusi bahan baku pembuatan kue, mie, makanan penyedap, berbagai jenis minuman, perekat, industri farmasi, biodegradable plastic dan sumber bahan baku etanol[23].

Produksi sagu kebanyakan masih dijual dalam bentuk hasil ekstraksi kasar atau produk tepung sagu yang belum dilakukan pengolahan lebih lanjut. Sementara itu jika dilakukan pengolahan lebih lanjut dengan menghasilkan tepung sagu yang siap pakai diharapkan dapat mengurangi impor gandum. Menurut catatan impor gandum yang mencapai 3.576.670 ton, senilai 503,31 juta dolar AS. Gandum merupakan bahan dasar untuk membuat tepung terigu yang banyak digunakan sebagai bahan utama membuat roti. Oleh karena itu diversifikasi pangan merupakan bentuk mengurangi impor gandum sebagai bahan utama tepung terigu dan meningkatkan ketahanan pangan. Upaya menekan impor beras dan tepung terigu melalui program peningkatan produksi bahan pangan dalam negeri dan diversifikasi pangan pada dasarnya adalah meningkatkan ketahanan pangan nasional yang sekaligus meningkatkan kesempatan ekonomi bangsa Indonesia[24].

Pengembangan tepung sagu menjadi bahan pensubtitusi dalam pembuatan roti berbahan sagu menjadi langkah-langka penting dan nyata dalam melakukan diversifikasi pangan dan mengurangi impor gandum. Hal ini disebabkan roti telah menjadi bahan makanan yang popular di masyarakat. Perkembangan industri rumah tangga yang memproduksi roti telah mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir ini, khususnya di Kota Kendari. Jika di dalam pembuatan roti, semuanya menggunakan tepung terigu yang berasal dari gandum dapat dibayangkan kebutuhan akan gandum semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tepung sagu (pati sagu) dapat digunakan sebagai bahan substitusi maupun sebagai bahan utama produk pangan bergantung dari jenis produk yang akan dihasilkan. Pati sagu mengandung karbohidrat dalam jumlah besar, tetapi kandungan gizi lainnya yang dihasilkan berjumlah kecil. Namun perlu dicatat bahwa produk makanan yang dihasilkan dari pati sagu perlu ditambahkan dengan bahan yang memiliki kandungan gizi yang lebih baik dari pati sagu seperti Modified Cassava Flour (MOCAF)[24].

Kajian Metabolomik untuk Peningkatan Kualitas Produk

Secara umum, pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian metabolomik untuk meningkatkan kualitas tanaman sagu dibagi menjadi tiga strategi yang berbeda, antara lain Fingerprinting, Profiling, dan Terget. Fingerprinting, dalam strategi ini, sidik jari kimia atau gambar dibuat dengan analisis langsung dari ekstrak sampel kasar, biasanya oleh MS, nuclear magnetic resonance spectrometry (NMR), atau spektrometri inframerah. Sidik jari ini dapat menjadi alat yang efisien untuk membandingkan dan mengklasifikasikan sampel tetapi tidak selalu memberikan informasi tentang terjadinya metabolit spesifik (apakah mereka diketahui atau tidak diketahui). Derivasi dari sidik jari adalah jejak di mana media pengeluaran bebas sel dianalisis untuk metabolit kiri (kadang-kadang juga disebut exometabolome). Profiling, ini bertujuan untuk mendeteksi sebanyak mungkin metabolit, apakah ini diketahui atau tidak diketahui. Namun, metabolit yang terdeteksi dengan profil harus dikenali secara konsisten dan juga harus dikuantifikasi. Profil biasanya dilakukan dengan kromatografi dalam kombinasi dengan MS atau dengan capillary electrophoresis (CE) yang dikombinasikan dengan MS. Target, analisis target bertujuan untuk mendeteksi dan mengukur metabolit spesifik. Banyak metode analisis yang berbeda dapat digunakan untuk tujuan ini, masing-masing dapat mendeteksi satu atau lebih metabolit[25].

Galeri

Referensi


  1. ^ Flach, M. 1997. Sago Palm Metroxylon Sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute. Jerman.
  2. ^ a b Ruddle, K., D. Johnson, P. K. Townsend and J. D. Rees. (1978). Palm Sago A Tropical Starch from Marginal Lands. An East-West Center Book, Honolulu.
  3. ^ a b Haryanto, B. Dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.
  4. ^ Swinkels, J. J. M. (1985). Sources of starch, its chemistry and physics. In Singhal et al., 2007. Industrial Production, processing, and utilization of sago palm-derived products. Carbohydrate Polymers, Volume 72, pp. 1-20.
  5. ^ a b Hrp, Bakhtiar Ruli et al. 2017. Kajian Budidaya Sagu (Metroxylon spp) Rakyat di Kecamatan Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti. JOM Faperta 4(1):1-14.
  6. ^ Rumalatu, F. J. 1981. Distribusi dan Potensi Produk Pati Dari Batang Beberapa Jenis Sagu (Metroxylon sp.) Di Daerah Seram Barat. Tesis Fakultas Pertanian/Kehutanan Universitas Pattimura, Afiliasi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor.
  7. ^ Bintoro, M. H., N. Setiadi, D. Allorerung, W. Y. Mofu, dan A. Pinem. 2008. Laporan Hasil Penelitian Pembibitan dan Karekteristik Lingkungan Tumbuh Tanaman Sagu. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyrakat IPB.
  8. ^ Manwan, I,. Ismail, I. G. Alihamsyah, T,. Dan Partohardjono, S. 1992. Teknologi Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut : Potensi, Relevansi, dan Faktor Penentu. Dalam S. Partohardjono dan M. Syam (Eds). Risalah Pertemuan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. SWAMPS II – Puslitbangtan.
  9. ^ Harjadi, Sri Setyanti. 1996. Pengantar Agronomi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  10. ^ Suryana A. 2007. Arah dan Strategi pengembangan sagu di indonesia. Makalah  disampaikan pada lokakarya pengembangan sagu indonesia. Batam, 25-26  Juli 2007.
  11. ^ a b c Rahman, Hasan Basri Arif. 2017. Pertumbuhan Bibit Sagu Inkubasi dengan Pemberian Beberapa Taraf Perekat dan Pupuk Daun Majemuk (20-25-25). Skripsi.
  12. ^ Bintoro, H.M.H. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan  Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanaman Perkebunan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. 11 September 1999. 70 hal.
  13. ^ Flach, M. 1983. The Sago Palm: Domestication Exploitation and Products. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.
  14. ^ Darwis, SN., 1992. Tata air dan curah hujan pada usaha tani kelapa pasang surut. Prossiding forum komunikasi ilmiah penelitian dan pengembangan kelapa pasang surut, 28-29 Agustus 1992. Puslitbangtri. Bogor.
  15. ^ Pranowo, D., H.T. Luntungan, D. Allorerung, Z. Untu. 1993. Budidaya tanaman kelapa di lahan pasang surut. Seri Pengembangn No. 22/1993. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri.
  16. ^ a b c Zuhro, Fatimatus. 2018. Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Sagu Dengan Tanaman Sela Terung Di Desa Tanjung Peranap Kabupaten Kepulauan Meranti. Skripsi IPB.
  17. ^ Budianto J. 2003. Teknologi sagu bagi agribisnis dan ketahanan pangan. Di dalam : Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu ; Manado, 6 Okt 2003. Bogor  : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 5-15.
  18. ^ Kementan. 2016. Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Sagu 2015-2017. Jakarta: Kementerian Pertanian.
  19. ^ Kementan. 2012. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan: Pedoman Teknis Pengembangan Tanaman Sagu. Jakarta: Kementan.
  20. ^ Sinartani. 2018. Sagu Riau Siap Jadi Komoditas Pangan Strategis Indonesia dan Dunia. [online] https://tabloidsinartani.com/detail/indeks/pangan/6763-sagu-riau-siap-jadi-komoditas-pangan-strategis-indonesia-dan-dunia (diakses pada tanggal 5 April 2019, pukul 06.30 WIB).
  21. ^ Howara et al. 2016. Analisis Pendapatan Keluarga Petani Sagu di Desa Alindau Kecamatan Sindue Kabupaten Donggala. J. Agroland 23 (2) : 94 – 100.
  22. ^ a b c d Widianingrum et al. 2005. Kajian terhadap SNI Mutu Pati Sagu. Jurnal Standardisasi 7(3), 91 – 98.
  23. ^ Pranamuda, M., Y. Tokiwa dan H. Tanaja. 1996. Pemanfaatan pati sagu sebagai bahan baku biodegradable plastik. Makalah Simposium Nasional Sagu III. Pekanbaru Riau, 27-28 Febrauri 1996.
  24. ^ a b Wahab, Djukrana. 2013. Pengolahan Roti Berbahan Sagu. AGRIPLUS, 23(3): 226-230, ISSN 0854-0128.
  25. ^ Smedsgaard, Jorn, Silas G. Villas-Bôas, Ute Roessner, Michael A. E. Hansen, dan Jens Nielsen. 2007.  Metabolome Analysis: An Introduction. John Wiley & Sons, Inc.