Upacara Wetonan

Bancaan

Upacara Wetonan merupakan upacara ada suku Jawa yang memiliki nama lain wedalan. Upacara ini masih lestari hingga saat ini terutama bagi masyarakat suku Jawa dan populer pada daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wetonan mempunyai arti keluar, dalam upacara ini merupakan peringatan bagi lahirnya seseorang. Peringatan ini bermaksut untuk mendoakan bagi sang bayi agar terhindar dari berbagai bahaya dan mendoakan memiliki panjang umur dan juga keberkahan. “Slametan iki kanggo dongakne wong sing di ton;i ben slamet, waras, pinter lan opo wae sing dilakoni iso lancar” dalam bahasa Indonesia memiliki arti Upacara Wetonan atau Slametan Weton ini bertujuan untuk mendo’akan seseorang yang diperingati hari kelahirannya agar diberi keselamatan, kesehatan, kepintaran dan apapun yang dilakukannya bisa berjalan dengan lancar tanpa ada halangan suatu apapun. Secara garis besar tujuan slametan ini adalah untuk menciptakan keadaan yang sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang tampak maupun yang halus, sehingga tercipta suatu keadaan yang disebut slamet. [1]

Upacara Wetonan dalam slametan ini diperingati ketika hari lahir setiap 35 hari sekali. Untuk orang Jawa tradisonal sangat penting untuk mengetahui weton, sesuai dengan kalender Jawa. Dengan mengetahui tanggal, bulan dan tahun kelahiran menurut kalender Masehi, bisa diketahui weton seseorang. Hari kelahiran menurut kalender Jawa atau weton terjadi setiap selapan hari. Slametan Weton ini dilakukan sesudah jam enam sore, karena hari Jawa mengikuti kalender sistem rembulan. [2]

Wetonan itu mirip dengan ulang tahun, tetapi bisa terjadi 9 sampai 10 kali setahun. Tradisi wetonan didasarkan oleh kalender Jawa, dan siklus hari-hari di penanggalan Jawa terjadi setiap 36 hari. Kelima hari di kalender Jawa terdiri dari Pon, Wage, Kliwon, Legi dan Pahing. Misalnya, akan ada Senin Wage, Selasa Wage, Selas Legi dan seterusnya.. Jika Anda lahir pada hari Kamis Kliwon, Anda merayakan wetonan Anda setiap Kamis Kliwon, yang akan ada setiap 36 hari.

Orang Jawa percaya tiap weton memiliki karakteristik yang berbeda, mirip seperti zodiak Cina. Tradisi ini sudah ada sejak masa-masa sangat lampau dan didasarkan oleh kepercayaan Kejawen.

Apa sajakah yang dilakukan pada saat perayaan wetonan? Ya.. setiap orang berbeda-beda. Ada yang merayakannya sendiri dengan cara meditasi, mengheningkan diri dan berdoa kepada Tuhan. Ada yang mengundang beberapa teman dekatnya, berdoa bersama dan menyantap makanan bersama. Kadang perayaan wetonan yang lebih besar adalah sebuah acara sosial di mana orang-orang berbagi cerita, saran, saling mendengarkan dan saling tertawa. Pada saat mereka berdoa, mereka mendoakan kelancaran hidup, kesehatan, rejeki, dan kebahagiaan untuk orang yang sedang merayakan wetonannya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa slametan wetonan adalah untuk menemui saudara yang berjumlah 9 yang lahir dari rahim ibu, kesatu sampai empat 1-4 menghadap kiblat, kelima dan keenam sedulur tuwo dan kawah putih (bayi lahir kedunia), ketujuh ari- ari, kedelapan raga, kesembilan Jiwa. untuk memperingat,mengenang hari kelahiran, bersyukur kepada Allah karena sudah diberi keselamatan dan kesehatan. Slametan wetonan merupakan rasulan, rasulan sendiri adalah bancaan atau slametan, yang terdiri dari golong dan tumpeng, pisang, ayam ingkung, gudangan yang terbuat dari sayuran dan pelas serta jenang abang, putih juga untuk sing momong jiwa, raga. Faktor internal dalam slametan wetonan yaitu mempertahankan adat istiadat, bersedekah, adanya kepercayaan jika tidak melakukan slametan wetonan akan terjadi hal yang buruk, untuk menjauhkan dari tolak bala atau musibah, keinginan untuk tetap sehat dan panjang umur, keinginan diberi kemudahan dalam mencari rejeki, keyakinan mendapatkan berkah, keyakinan bahwa dengan melakukan slametan wetonan akan memberi dampak positif dimana keyakinan ini dipengaruhi oleh pengalaman hidup masyarakat tentang slametan wetonan yang pernah dialami, dan merupakan bentuk rasa syukur yang merupakan wujud dari pengakuan akan adanya Tuhan YME dan faktor eksternal yaitu lingkungan sekitar yang mendukung yakni masyarakat sekitar masih mempertahankan slametan wetonan dan sering dilaksanakan pada bulan suro.

Kaitannya slametan wetonan dengan Allah, yang paling utama adalah sebagai ucapan rasa syukur terhadap Tuhan yang telah melimpahkan rejeki, keselamatan, kesehatan, dan sebagai sarana untuk memberikan sedekah kepada masyarakat sekitar, Walaupun slametan wetonan tidak ada dalam Hadist dan Alquran. Namun yang melaksanakan dan yang diundang beragama Islam karena islam tidak melarang umatnya untuk bersedekah. Asal mula slametan wetonan hanya berawal dari cerita- cerita dari para sesepuh dan para kyai- kyai. Meminta keselamatan tidak harus melalui slametan wetonan yang terpenting adalah doa kepada Allah.

Weton juga berkaitan dengan kosmologi Jawa. Dalam hal itu, Endraswara menggambarkan weton mempunyai hubungan dengan perhitungan hari (numerology) Jawa berjumlah tujuh, lalu disebut dengan dina pitu, dan pasaran berjumlah lima disebut pasaran lima. Atau sering disebut dengan dina lima dina pitu. Keduannya akan menentukan weton dina (hidupnya hari dan pasaran) (Endraswara, 2016: 103).

Pada perayaan slametan, pasti identik dengan angka tujuh. Kenapa harus tujuh? Karena tujuh dalam arti Jawa pitu, mengandung sinergistas harapan akan mendapat pitulungan (pertolongan) Tuhan. Angka tujuh yang dimaksud dalam ritual ini seperti, bubur 7 rupa yaitu, bubur merah, bubur putih, bubur merah silang putih, bubur putih silang merah, bubur putih tumpang merah, bubur merah tumpang putih, dan baro-baro (bubur putih ditaruh sisiran (irisan) gula merah dan parutan kelapa secukupnya).

Selain itu ada juga sayuran 7 rupa yaitu, kacang panjang, kangkung, kubis, kecambah/toge yang panjang, wortel, daun kenikir, dan bayam. Selanjutnya, menyiapkan Jajan pasar seperti, wajik (wani tumindak becik), gedhang ijo, sukun (supaya rukun), nanas (wong urip aja nggragas), dhondong (aja kegedhen omong), jambu (ojo ngudal barang sing wis mambu), jeruk (jaba jero kudu mathuk).

Selanjutnya, adanya kembang setaman yang tidak hanya satu macam bunga saja namun bermacam-macam kembang seperti, bunga mawar (awar-awar selalu tawar  dari nafsu yang negatif),  bunga melati (melat-melat ning ati selalu  eling lan waspada), bunga kanthil supaya tansah kumanthil hatinya selalu terikat oleh tali rasa dengan para leluhur yang menurunkannya, kepada orang tua dengan harapan agar anaknya selalu berbakti kepadanya, dan bunga kenanga (Wisnu, 2014: 161-164).

Masyarakat Jawa memang tidak bisa dipisahkan dari simbol-simbol yang melingkarinya. Secara umum, terdapat bunga tiga warna atau lima warna, dan simbol-simbol lain yaitu bubur merah, bubur putih, tumpeng, nasi gulung pisang, minyak wangi, kemenyan dan dupa. Simbol tersebut sangat lazim dalam setiap ritual di Jawa (Budiharso, 2014: 171).

Saat ini wetonan tidaklah menjadi suatu budaya yang dilestarikan kembali oleh masyarakat Jawa. Bahkan tradisi yang sudah ada lama ini seakan-akan hilang, dapat dikatakan bahwa tradisi ini sudah mulai mengalami pergeseran bahkan pendangkalan sehingga unsur pendidikan moralitas dalam peristiwa tradisi wetonan tidak lagi diketahui oleh masyarakat masa kini.

Mungkin kerumitan dalam menyiapkan sarana yang dibutuhkan ini penyebabnya. Sehingga masyarakat sekarang khususnya Jawa sendiri lebih memilih perayaan yang secara praktis dan lebih menarik seperti pesta ulang tahun dari pada wetonan. Perhitungan kelahiran Jawa pun tergantikan oleh perhitungan kelahiran berdasarkan Masehi.

Padahal, kalau kita ketahui, simbol-simbol yang ada di dalamnya slametan weton sudah mewujud dalam inti masyarakat Jawa. Ia memantapkan ritual ini untuk mengetahuinya sendiri melalui kelahirannya, sebelum bertemu Tuhan Sang Pencipta.

Doa dalam Wetonan

Pada masyarakat Jawa do’a ini di bacakan dalam bahasa Jawa atau hampir sama dengan niat dan keinginan yang ingin mereka peroleh ketika melakukan Slametan Weton. “Niki sampeyan sekseni nggeh, asale pasang jenang pethak jenang abrit niki ngleresi tone erna diweruhi mbok’e ibu bumi bapa’e kuasa, asale pasang jenang pethak jenang abrit lan sedoyo buceng niki dongakne sageto angen-angen asale sekolah anak erna niki pinter nggeh, mugi-mugi sedoyo buceng niki saget jejeg mantep bakale angen-angen si erna lan diparingi seger kewarasan anak kulo erna sing sekolah niki saget disekseni nggeh, dongane kabul slamet”. Semua orang yang ada atau mengikuti Slametan Weton sebagai saksinya, bahwa pembuatan jenang putih dan jenang merah ini karena untuk memperingati hari lahirnya Erna (orang yang diperingati hari lahirnya) yang diketahui oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, semua yang ada seprti tumpeng, bothok pelas dan jenang ini semoga sebagai simbol untuk mendo’akan Erna agar pintar dalam bersekolah, mempunyai pendirian yang kuat, selalu diberi kesehatan, semoga do’a yang dipanjatkan bisa terkabulkan. Ketika do’a ini dibacakan oleh salah satu anggota keluarga yang tertua, maka anggota keluarga lainnya menjawab setiap do’a yang dibacakan tersebut dengan jawaban nggeh atau secara sederhana adalah mengucapkan amin.

Kepercayaan

Masyarakat Jawa sangat kental dengan tradisi yang tetap terjaga. Mereka menganggap tradisi nenek moyang adalah warisan yang sangat bernilai dan harus tetap dipertahankan. Menurut Budiono Heru sutoto (dalam Siti Fatimah, 2013) mengatakan bahwa suku bangsa Jawa pada zaman purba mempunyai pandangan hidup Animisme, suatu kepercayaan adanya roh atau jiwa pada semua benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga manusia sendiri.

Menurut Koentjaraningrat (1984:355) Orang Jawa masih mengadakan suatu upacara yang penting, yaitu yang diadakan pada waktu seorang bayi berumur 35 hari. Upacara nyelapani (dari kata selapan = tigapuluh lima) jatuh pada hari weton yang pertama, yaitu kombinasi dari suatu hari tertentu dalam pekan lima hari dan suatu hari tertentu dalam pekan tujuh hari, yang berulang setiap 35 hari. bagi orang Jawa weton itu kelak akan sangat penting untuk mengadakan perhitungan, antara lain untuk menentukan tanggal pernikahan dari hari-hari penting lainnya, tetapi juga dalam hal aktivitas ilmu ghaib.

Menurut orang Jawa, seseorang yang sering dibuatkan slametan weton secara rutin sesuai waktunya, biasanya hidupnya lebih terkendali, lebih berkualitas atau bermutu, lebih hati-hati, tidak liar dan ceroboh, dan jarang sekali mengalami sial. Menurut Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015):

Kabeh wong iku duweni wetone dhewe-dhewe lan kudu di ton’i, nak ora di ton’i wong iku bakal loro”. Setiap orang itu mempunyai weton sendiri-sendiri dan mereka harus memperingatinya dengan melaksanakan slametan weton, karena jika tidak orang tersebut pasti akan sakit. Biasanya ini terjadi ketika seseorang lupa melakukan slametan weton untuk dirinya sendiri. Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015) juga mengatakan bahwa: “Yen wong iku loro amergo wes kelalen ora di ton’i, sekaren kembang kerah macan ono ning gone lah mendem ari-arine”. Apabila seseorang itu sakit akibat lupa tidak melaksanakan slametan weton, maka salah satu anggota keluarga harus nyekar dengan kembang kerah macan di tempat ari-ari orang yang sakit itu dikubur. Kembang kerah macan ini terdiri dari bunga mawar, bunga kantil, daun pandan dan bunga kenanga.

Filosofi

Tradisi Jawa yang banyak berkembang saat ini sebenarnya merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang dengan segala kepercayaannya yang begitu kental. Mungkin bagi orang yang kurang terbiasa mengenal, masyarakat Jawa dianggap sebagai masyarakat yang kalem atau lemah lembut, dan dianggap terlalu mengutamakan tata krama dibandingkan dengan hal lainnya. Akan tetapi tata krama merupakan hal dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang. Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015) mengatakan bahwa:

“Wong jowo kwi mesti slametan, pasang sajen wes awit biyen. Kabeh di slameti, brokohan, sepasaran, selapanan, neloni, slametan wong mati. kanggo donga jaluk slamet marang sing Kuasa, uripe ben ayem lan tentrem”

Orang Jawa melakukan tradisi slametan, pasang sesaji sudah dari jaman dahulu. Semuanya di slameti mulai dari brokohan, sepasaran, selapanan, neloni, slametan untuk orang yang meninggal dan lain sebagainya. Semua itu untuk mendo’akan dan meminta keselamatan kepada Yang Maha Kuasa agar hidupnya aman dan damai.

Menurut Suseno (dalam Sony Sukmawan) Dalam Slametan terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggaan, dan kerukunan. Pencapaian nilai-nilai ini menjadi gambaran pencapaian kehidupan yang ideal bagi masyarakat Jawa.

“Sampun nggih derek-derek kula Sedaya, ingkang sepuh miwah ingkang enem, ingkang ageng miwah ingkang alit, ingkang samar miwah ingkang gaib: Baiklah saudara-saudaraku semua, tua maupun yang muda, besar maupun yang kecil, yang tersamar maupun yang gaib.

Menurut Yudi Setiyadi (2014) Weton memperkirakan kepribadian, sifat dan nasib seseorang. Meski tidak bersifat mutlak, weton digunakan sebagai pengingat bagi orang Jawa untuk berhati-hati dalam menjalani hidup. Filosofi hidup eling lan waspada (ingat dan selalu waspada) menjadi unsur penting dalam pemahaman tentang weton dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa.

Menyiapkan Bahan dalam Upacara Wetonan

Memasak nasi untuk dibuat tumpeng, banyaknya beras yang dimasak dikira-kira saja mencukupi untuk minimal 1 keluarga. Menurut Sumarni (Wawancara, 2 Desember 2015):

Setelah nasi matang lalu dicetak menggunakan kukusan agar berbentuk kerucut seperti tumpeng, tapi sebelumnya dilapisi dulu dengan daun pisang agar nasi tidak menempel pada kukusan dan mengeluarkannya dari cetakanpun mudah.

Bahan lainnya yang dibutuhkan adalah sayuran. Sayuran yang dibutuhkan pada umumnya terdiri dari kacang panjang, kangkung, kubis, kecambah/tauge yang panjang, bayam, dll. Sayuran ini akan di buat keleman atau kulupan yang dimasak dengan cara direbus sampai matang hanya dengan air saja tetapi jangan sampai terlalu matang. Agar tidak terlalu matang atau teksturnya menjadi terlalu lembek, maka setelah diangkat langsung disiram dengan air dingin biasa, sehingga sayuran masih tampak hijau segar tetapi sudah matang. Kemudian membuat sambal kambil atau kelapa sebagai pasangannya.

Selanjutnya adalah membuat bothok dan pelas. Bothok ini dibuat dari tempe yang di potong-potong membentuk balok kecil-kecil lalu dicampur dengan daun brambang yang telah di iris-iris terlebih dahulu. Tidak lupa juga ditambahkan garam yang telah dihaluskan sebelumnya. Setelah selesai semuanya dibungkus dengan daun pisang lalu di masak. Untuk pelas dibuat dari kedelai yang ditumbuk halus, ditambahi garam lalu di bungkus seperti bothok dan di masak. Bahan terakhir adalah Jenang, menurut Sumarni (Wawancara, 2 Desember 2015):

Jenang yang dimaksud adalah dua buah nasi putih yang dibuat membentuk sebuah gundukan dan di taruh dalam sebuah piring dimana yang satu dibiarkan nasi putih polos dan yang satunya diberi tambahan gula merah diatasnya.

Orang Jawa biasa menyebutnya sebagai jenang merah dan jenang putih. Setelah selesai tumpeng diletakkan dalam sebuah wadah, bisa berupa tampah atau leseran kemudian dikelilingi oleh sayuran dan bothok pelas.

Prosesi

Tahapan pertama dari proses pelaksanaan Slametan Weton ini adalah orang yang paling tua di dalam keluarga biasanya kakek atau nenek akan membacakan niat atau do’a dalam bahasa jawa atau orang Jawa biasa menyebutnya ngujupne. Pembacaan niat ini berisi permintaan perlindungan kepada Yang Maha Kuasa, agar orang yang diperingati weton atau hari lahirnya diberi kesehatan lahir dan batin.

Tahap kedua adalah makan secara bersama-sama dengan anggota keluarga, menurut Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015): “wong sing di ton’i kudu mangan jenang pethak supaya diparingi akas kewarasan saking Gusti sing kuasa”

Sebelum makan bersama orang yang dibuatkan slametan weton harus memakan jenang putih agar diberi kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Baru kemudian setelah itu semua anggota keluarga makan secara bersama-sama.

Makanan Wajib

Setiap tradisi slametan khususnya bagi masyarakat Jawa akan menggunakan makanan-makanan maupun sesaji yang dibuat sebagai salah satu unsur dalam melakukan slametan. Begitu pula dengan slametan weton terdapat dua jenis makanan yang harus ada yaitu:

Tumpeng

Bagi orang Jawa tumpeng merupakan suatu hal yang sakral. Hampir semua slametan pada masyarakat Jawa menggunakan tumpeng. Menurut Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015):

“tumpeng kwi dadi puser’e, keleman karo bothok pelase ditata muteri tumpeng kanggo njaluk pitulungane sing kuasa sing gae urip”

Nasi tumpeng putih yang melambangkan sebagai pusat dari semua energi dan di sekeliling tumpeng ini terdapat sayuran dan bothok pelas yang memenuhi atau melingkari tumpeng. Sayuran ini melambangkan harapan untuk mendapat pitulungan (pertolongan) Tuhan, selain itu agar do’a yang dipanjatkan tidak terputus, seperti do’a panjang rejeki, panjang umur, dan panjang akal atau pintar.

Jenang

Bahan kedua yang digunakan adalah dua buah jenang merah dan putih. Menurut Sainem (Wawancara, 2 Desember 2015) bahwa:

“jenange iku ono loro, siji diarani jenang pethak utowo lanang, lan sijine jenang abrit utowo wedok”

Jenang terdiri dari dua, pertama jenang pethak atau putih yang melambangkan seorang laki-laki, sementara jenang abrit atau merah yang melambangkan seorang perempuan. Hal ini juga mengingatkan akan proses kelahiran kita yaitu menyatunya bapak dan ibu yang dilambangkan dalam bentuk jenang putih (bapak) dan merah (ibu).

Begitu pula menurut Kangjeng Pangeran Harya Tjakraningrat (1980:37) bahwa :

“jenang abang, yaiku beras kajenang digulani jawa, (gula klapa).

Jenang putih, yaiku beras kajenang disanteni”

Jenang merah adalah beras yang dibuat bubur lalu diberi gula merah atau gula Jawa sedangkan jenang putih adalah beras yang dibuat bubur dan diberi santan.

  1. ^ "Upacara Adat Wetonan (Wedalan) » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia". budaya-indonesia.org. Diakses tanggal 2019-04-27. 
  2. ^ "Slametan Wetonan dan Simbolnya yang Hilang | Institute for Javanese Islam Research" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-04-27.