Bantuan hukum struktural

Revisi sejak 13 Mei 2019 09.29 oleh Elvita Trisnawati (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Hukum menggunakan HotCat)

Bantuan Hukum Struktural (BHS) adalah konsep bantuan yang tidak hanya berorientasi pada pembelaan di pengadilan (litigasi), tetapi juga berorientasi pada pengentasan ketimpangan struktural. Bantuan Hukum Struktural ini lahir karena kesadaran bahwa ketidakadilan terjadi karena adanya ketimpangan struktur sosial di masyarakat.[1]

Latar Belakang

Konsep Bantuan Hukum ini awalnya muncul karena keresahan Adnan Buyung Nasution semasa ia menjadi Jaksa. Menurutnya, terdakwa yang dia tuntut di Pengadilan sama sekali tidak mengerti proses apa yang ia hadapi di persidangan. Bahkan banyak terdakwa yang tidak mengetahui apa yang ia hadapi di persidangan. Apabila hakim bertanya, "Apakah Terdakwa hendak melakukan pembelaan?", terdakwa hanya menjawab "semua terserah Yang Mulia." Dari situ, Adnan Buyung Nasution tergerak untuk membuat sebuah lembaga yang bisa memberikan kebutuhan hak para tersangka dan terdakwa dalam proses peradilan. Adnan Buyung Nasution pun menginisiasi terbentuknya Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Melalui Lembaga Bantuan Hukum Jakarta inilah ia mengembangkan konsep Bantuan Hukum Struktural. Berangkat dari kesadaran bahwa ketidakadilan yang terjadi lahir karena adanya ketimpangan struktur sosial. Oleh sebab itu, yang mesti diperjuangkan bukan sekedar kemenangan di persidangan, akan tetapi perbaikan struktur di masyarakat tersebut.[1]

Tokoh Terkait

Todung Mulya Lubis adalah salah satu orang yang pernah mengabdi di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Ia juga turut mengembangkan pemikiran Bantuan Hukum Struktural ini. Berangkat dari pemikiran Johan Galtung bahwa masyarakat marjinal yang tertindas mesti diperjuangkan haknya. Perjuangan itu tidak bisa hanya dilakukan secara legal, normatif yang individualistik, karena tidak menjawab persoalan. Menurutnya, masyarakat marjinal yang tertindas tersebut miskin karena sistem yang membuat mereka miskin. Mereka tertindas karena sistem membuat mereka tertindas. Sehingga nampak adanya ketidakadilan secara struktural dan mesti diperjuangkan secara ekstra legal[1].

  1. ^ a b c Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. (2012). Verboden voor honden en inlanders dan lahirlah LBH : catatan 40 tahun pasang surut keadilan (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. ISBN 9789799532961. OCLC 808811020.