Amuntai (kota)

ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Utara, Indonesia

2°26′0″S 115°15′0″E / 2.43333°S 115.25000°E / -2.43333; 115.25000 Amuntai (disingkat: AMT[1]) adalah ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Utara. Kota Amuntai terletak di pertemuan (bahasa Banjar: murung) antara sungai Negara, sungai Tabalong dan sungai Balangan dan berjarak 190 km di sebelah utara Kota Banjarmasin, ibu kota provinsi Kalimantan Selatan.

Kota Amuntai
Negara Indonesia
KabupatenHulu Sungai Utara
ProvinsiKalimantan Selatan
Ketinggian
−23 ft (0−7 m)
Populasi
 • Suku
Banjar
 • Agama
Islam

Ejaan Amuntai pada zaman pendudukan Belanda adalah Amoentai,[2] Amoenthaij atau Amoenthay.[3] Pada zaman Hindia Belanda dahulu dipakai sebagai nama kawedanan/Distrik Amuntai (Amoenthaij) dan juga pernah dipakai sebagai nama kabupatennya yaitu Kabupaten Amuntai. Dahulu kota Amuntai adalah sebuah kecamatan utuh hingga dimekarkan menjadi 3 kecamatan, yakni :

  1. Amuntai Selatan dengan luas 174 km² dan jumlah populasi penduduk 26.545 jiwa
  2. Amuntai Tengah dengan luas 80,50 km² dan jumlah populasi penduduk 46.631 jiwa
  3. Amuntai Utara dengan luas 37 km² dan jumlah populasi penduduk 21.262 jiwa.[4]

Di kecamatan Amuntai Tengah-lah pusat pemerintahan dan perdagangan kabupaten Hulu Sungai Utara yang ditandai dengan adanya kantor bupati, kantor-kantor dinas pemkab Hulu Sungai Utara, sentra perdagangan, dan sarana/prasarana lainnya dan Amuntai Tengah merupakan kecamatan dengan penduduk terpadat di kabupaten Hulu Sungai Utara.

"Asal Usul Kota Amuntai"

Cerita atau riwayat tentang kota “Amuntai” ini tidak begitu jelas, karena kurangnya bahan-bahan tertulis. Hanya ada kabar yang tertua yang tertulis dalam kitab “Negara Kertagama” (1365 M) hasil karya Empu Prapanca di zaman kerajaan Majapahit. Pada kitab tersebut menyebutkan nama Barito, Sawuku dan Tabalong. Justru yang dimaksud Prapanca tersebut adalah didaerah Kalimantan Selatan ini.

Ketika Empu Jatmika dengan ekspedisinya berkapal “Prabayaksa”, awal memasuki daerah “Kahuripan” yang disini sudah ada penguasanya berkedudukan di “Palimbang Sari” (sekarang Desa Palimbangan), maka Empu Jatmika membangun percandian “Candi Agung”. Empu Jatmika memproklamasikan dirinya sebagai “Raja Sementara di Candi”, dan ia sekallgus memberikan nama daerah itu “Negara Dipa”. Nama Negara Dipa berasall dari bahasa Sansekerta, yang berarti “Negeri bercahaya terang benderang”.

Pusat kerajaan Negara Dipa dengan percandian ‘Candi Agung” yang beraliran Hindu terletak tidak jauh dari tepian kali Tabalong, yaitu dekat pertigaan sungai Tabalong, sungai Balangan dan sungai Negara. Tepatnya sekarang di bantaran sungai kecil Pamintangan, disinilah areal Candi Agung. hal tersebut terjadi pada abad XIV Masehi (14 M).

Kemudian, sejak kapan munculnya nama “Amuntai” atau “Hamuntai”..???, ceritanya bersimpang siur. Menurut penuturan para orang tua disekitar Candi Agung, bahwa nama “Amuntai” berasal dari penemuan banyaknya buah-buah “Muntai” di tepian sungai sekitarnya, sehingga ia diberikan nama untuk nama kota ini. Akan tetapi, sampai sekarang ini, orang belum dapat mengetahui bagaimana wujud dari buah tersebut. Dan para Arkeolog berkemungkinan bahwa buah tersebut telah punah. Sementara itu, jika mengacu pada Surat Keputusan Sultan Adam al-Wasyikbillah, tanggal 20 Rabiul Awwal 1263 (1843 M), mengenai hak apanage keluarga Raja-raja Banjar, sudah disebutkan nama Kota Amuntai, Babirik, Sungai Karias, Tanah Habang, Kusambi, Lampihong, Tabalong, Halabio, Bitin, Danau Panggang, Paran dan Balangan.

Begitupun pada 21 Maret 1865, sewaktu Asisten Residen K.W.Tiedtke memerintah daerah ini (termasuk Alai, Amandit, Tabalong dan Kelua) ternyata kotanya telah bernama “Amuntai”. Selanjutnya lagi M.Halaweijn, seorang pejabat tinggi Belanda di Borneo, dalam laporannya yang berjudul “A Journey To Banua Lima in The Year 1825” (Laporan Perjalanan ke Banua Lima Tahun 1825) tercantum dalam “Tijdschrift Voor Nederland Indie”, te Jaargang, vol.2 (1838), antara lain menyebutkan bahwa perjalanannya naik perahu dari Marabahan (24 Nopember 1825) menyusuri Sungai Negara, Sungai Banar, melihat perkampungan rakyat yang indah di Amuntai, lalu terus ke Kelua....dan seterusnya. Maka dari beberapa catatan diatas, yang tertua adalah laporannya M.Halawijn (1825) bahwa disini kotanya sudah bernama Amuntai. Namun masih ada satu petunjuk lain yang perlu kita cermati. Sebuah buku karya Johannes Jacobus Rass yang berjudul “Hikayat Banjar”, A Study in Malay Historiography” yang diterbitkan di s’Gravenhage (Negeri Belanda) tahun 1968, menceritakan bahwa setelah huru-hara Banjarmasin diserang dan diberondong tembakan meriam-meriam oleh VOC / Belanda pada tahun 1606, dimana pahlawan-pahlawan Banjar berhasil membunuh semua awak kapal Belanda itu, namun pada akhirnya pusat kerajaan Banjar di Kuin itu terpaksa ditinggalkan dan mereka berevakuasi ke Kayu Tangi, Martapura. Penguasa Sultan Musta’inullah sebelum berevakuasi ke Kayu Tangi, ia sempat beradu pendapat dengan para bawahannnya mengenai alternatif, kemana pusat pemerintah Kerajaan Banjar ini sebaiknya dipindakan.

        Ada salah seorang petinggi kerajaan yang mengusulkan agar kembali saja ke “Hamuntai” (di Negara Dipa) sebagai tanah leluhur mula jadinya Empu Jatmika ini. Namun Sultan Musta’inullah tetap bersikukuh dengan pilihannya dan mengatakan bahwa : “Kita Jangan Babulik Lagi Ka Hamuntai, Karana Aku dapat Mimpi, Ada Tegoran dari Leluhur Kita Pangeran Surianata, Labih Baik Kita Mambuka Nagari Hanyar di Sungai Mangapan (Tambangan)”. Arahan Sultan ini disetujui oleh para pengikutnya, lalu membangun negeri baru tersebut. Namun tidak lama di Mangapan, 10 tahun kemudian, pusat pemerintahan berpindah kembali ke Kayu Tangi, Martapura.

Dari cuplikan buku JJ.Rass diatas (halaman 464) terdapat nama “Hamuntai” yang tertulis sebagai direncanakan untuk pusat kerajaan sesudah Kuin di Banjarmasin dan sebelum Kayu Tangi di Martapura. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1606, yaitu di tahun-tahun awal merajalelanya Imperialis / Kolonialis VOC / Belanda di Kalimantan Selatan. Sumber lain yang ditemukan dalam penelitian sejarah didaerah ini, pada tahun-tahun pasca huru-hara Banjarmasin, ada diantara petugas VOC yang datang keareal Candi Agung di Amuntai untuk meninjau daerah cikal-bakal Empu Jatmika tersebut. Masyarakat di sana sangat membanggakan Candi Agung kepada setiap tamu yang datang. Percandian tersebut letaknya di “Mungkur” yang agak ketinggian, oleh mereka disebut “Gunung”, Menjadi kebiasaan masyarakat disekitar menyebutnya “Gunung Candi”, sehingga bagi orang yang ingin pergi ke lokasi itu, dikatakannya “Pergi Ke Gunung”. Bagi orang Barat, istilah “Gunung” ini menunjukkan nama suatu areal yang dimaksud, yaitu “Gunung Candi Agung” (A Mountain Candi Agung). Masyarakat disana umumnya selalu suka meniru-niru istilah asing, walaupun lidahnya tidak mampu mengucapkan secara sempurna. Kadang-kadang juga pendengaran tidak sesuai dengan ucapan, sehingga istilah yang berasal dari “A Mountain” itu menjelma menjadi “Amunten” dan berubah lagi menjadi “Amuntai”. Pada akhirnya, jika bertolak dari huru-hara penyerangan VOC / Belanda terhadap Banjarmasin pada tahun 1606, kemudian pada tahun 1615 Inggris membuka Faktory (Kantor Dagang di Kayu Tangi), wajarlah jika para pedagang Ingrris tersebut meninjau “Gunung Candi” di Amuntai, yang oleh masyarakat disebutkannya “A Mountain” atau “Amuntai” hingga sekarang."Asal Usul Kota Amuntai"

Cerita atau riwayat tentang kota “Amuntai” ini tidak begitu jelas, karena kurangnya bahan-bahan tertulis. Hanya ada kabar yang tertua yang tertulis dalam kitab “Negara Kertagama” (1365 M) hasil karya Empu Prapanca di zaman kerajaan Majapahit. Pada kitab tersebut menyebutkan nama Barito, Sawuku dan Tabalong. Justru yang dimaksud Prapanca tersebut adalah didaerah Kalimantan Selatan ini.

Ketika Empu Jatmika dengan ekspedisinya berkapal “Prabayaksa”, awal memasuki daerah “Kahuripan” yang disini sudah ada penguasanya berkedudukan di “Palimbang Sari” (sekarang Desa Palimbangan), maka Empu Jatmika membangun percandian “Candi Agung”. Empu Jatmika memproklamasikan dirinya sebagai “Raja Sementara di Candi”, dan ia sekallgus memberikan nama daerah itu “Negara Dipa”. Nama Negara Dipa berasall dari bahasa Sansekerta, yang berarti “Negeri bercahaya terang benderang”.

Pusat kerajaan Negara Dipa dengan percandian ‘Candi Agung” yang beraliran Hindu terletak tidak jauh dari tepian kali Tabalong, yaitu dekat pertigaan sungai Tabalong, sungai Balangan dan sungai Negara. Tepatnya sekarang di bantaran sungai kecil Pamintangan, disinilah areal Candi Agung. hal tersebut terjadi pada abad XIV Masehi (14 M).

Kemudian, sejak kapan munculnya nama “Amuntai” atau “Hamuntai”..???, ceritanya bersimpang siur. Menurut penuturan para orang tua disekitar Candi Agung, bahwa nama “Amuntai” berasal dari penemuan banyaknya buah-buah “Muntai” di tepian sungai sekitarnya, sehingga ia diberikan nama untuk nama kota ini. Akan tetapi, sampai sekarang ini, orang belum dapat mengetahui bagaimana wujud dari buah tersebut. Dan para Arkeolog berkemungkinan bahwa buah tersebut telah punah. Sementara itu, jika mengacu pada Surat Keputusan Sultan Adam al-Wasyikbillah, tanggal 20 Rabiul Awwal 1263 (1843 M), mengenai hak apanage keluarga Raja-raja Banjar, sudah disebutkan nama Kota Amuntai, Babirik, Sungai Karias, Tanah Habang, Kusambi, Lampihong, Tabalong, Halabio, Bitin, Danau Panggang, Paran dan Balangan.

Begitupun pada 21 Maret 1865, sewaktu Asisten Residen K.W.Tiedtke memerintah daerah ini (termasuk Alai, Amandit, Tabalong dan Kelua) ternyata kotanya telah bernama “Amuntai”. Selanjutnya lagi M.Halaweijn, seorang pejabat tinggi Belanda di Borneo, dalam laporannya yang berjudul “A Journey To Banua Lima in The Year 1825” (Laporan Perjalanan ke Banua Lima Tahun 1825) tercantum dalam “Tijdschrift Voor Nederland Indie”, te Jaargang, vol.2 (1838), antara lain menyebutkan bahwa perjalanannya naik perahu dari Marabahan (24 Nopember 1825) menyusuri Sungai Negara, Sungai Banar, melihat perkampungan rakyat yang indah di Amuntai, lalu terus ke Kelua....dan seterusnya. Maka dari beberapa catatan diatas, yang tertua adalah laporannya M.Halawijn (1825) bahwa disini kotanya sudah bernama Amuntai. Namun masih ada satu petunjuk lain yang perlu kita cermati. Sebuah buku karya Johannes Jacobus Rass yang berjudul “Hikayat Banjar”, A Study in Malay Historiography” yang diterbitkan di s’Gravenhage (Negeri Belanda) tahun 1968, menceritakan bahwa setelah huru-hara Banjarmasin diserang dan diberondong tembakan meriam-meriam oleh VOC / Belanda pada tahun 1606, dimana pahlawan-pahlawan Banjar berhasil membunuh semua awak kapal Belanda itu, namun pada akhirnya pusat kerajaan Banjar di Kuin itu terpaksa ditinggalkan dan mereka berevakuasi ke Kayu Tangi, Martapura. Penguasa Sultan Musta’inullah sebelum berevakuasi ke Kayu Tangi, ia sempat beradu pendapat dengan para bawahannnya mengenai alternatif, kemana pusat pemerintah Kerajaan Banjar ini sebaiknya dipindakan.

        Ada salah seorang petinggi kerajaan yang mengusulkan agar kembali saja ke “Hamuntai” (di Negara Dipa) sebagai tanah leluhur mula jadinya Empu Jatmika ini. Namun Sultan Musta’inullah tetap bersikukuh dengan pilihannya dan mengatakan bahwa : “Kita Jangan Babulik Lagi Ka Hamuntai, Karana Aku dapat Mimpi, Ada Tegoran dari Leluhur Kita Pangeran Surianata, Labih Baik Kita Mambuka Nagari Hanyar di Sungai Mangapan (Tambangan)”. Arahan Sultan ini disetujui oleh para pengikutnya, lalu membangun negeri baru tersebut. Namun tidak lama di Mangapan, 10 tahun kemudian, pusat pemerintahan berpindah kembali ke Kayu Tangi, Martapura.

Dari cuplikan buku JJ.Rass diatas (halaman 464) terdapat nama “Hamuntai” yang tertulis sebagai direncanakan untuk pusat kerajaan sesudah Kuin di Banjarmasin dan sebelum Kayu Tangi di Martapura. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1606, yaitu di tahun-tahun awal merajalelanya Imperialis / Kolonialis VOC / Belanda di Kalimantan Selatan. Sumber lain yang ditemukan dalam penelitian sejarah didaerah ini, pada tahun-tahun pasca huru-hara Banjarmasin, ada diantara petugas VOC yang datang keareal Candi Agung di Amuntai untuk meninjau daerah cikal-bakal Empu Jatmika tersebut. Masyarakat di sana sangat membanggakan Candi Agung kepada setiap tamu yang datang. Percandian tersebut letaknya di “Mungkur” yang agak ketinggian, oleh mereka disebut “Gunung”, Menjadi kebiasaan masyarakat disekitar menyebutnya “Gunung Candi”, sehingga bagi orang yang ingin pergi ke lokasi itu, dikatakannya “Pergi Ke Gunung”. Bagi orang Barat, istilah “Gunung” ini menunjukkan nama suatu areal yang dimaksud, yaitu “Gunung Candi Agung” (A Mountain Candi Agung). Masyarakat disana umumnya selalu suka meniru-niru istilah asing, walaupun lidahnya tidak mampu mengucapkan secara sempurna. Kadang-kadang juga pendengaran tidak sesuai dengan ucapan, sehingga istilah yang berasal dari “A Mountain” itu menjelma menjadi “Amunten” dan berubah lagi menjadi “Amuntai”. Pada akhirnya, jika bertolak dari huru-hara penyerangan VOC / Belanda terhadap Banjarmasin pada tahun 1606, kemudian pada tahun 1615 Inggris membuka Faktory (Kantor Dagang di Kayu Tangi), wajarlah jika para pedagang Ingrris tersebut meninjau “Gunung Candi” di Amuntai, yang oleh masyarakat disebutkannya “A Mountain” atau “Amuntai” hingga sekarang.

Galeri

Referensi