Ibenzani Usman

Seniman Indonesia

Prof. Dr. Ibenzani Usman (15 April 1937 – 28 Juli 1995) adalah seorang ahli seni rupa, pendidik, dan komponis Indonesia. Ia merupakan guru besar seni rupa Universitas Negeri Padang (UNP) dan memiliki andil dalam pengembangan institusi seni rupa di Padang, salah satunya lewat pembentukan Jurusan Seni Rupa di UNP.[1]

Ibenzani dikenang lewat lagu-lagu ciptaannya meliputi lagu seriosa Indonesia, lagu Minang, dan mars. Termasuk di antara lagunya yakni "Desaku", "Lintuah", dan tiga mars: untuk Universitas Andalas, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Kota Padang. Di bidang seni rupa, Tugu Padang Area yang merupakan monumen terbesar di Padang dan Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis adalah hasil rancangannya.[2][3]

Ibenzani menekuni bidang seni rupa dari S-1 sampai S-3 di ITB. Setelah meraih gelar sarjana pada 1962, ia pulang ke Padang dan mengajar untuk bidang keilmuan seni rupa di beberapa perguruan tinggi Sumatra Barat. Ibenzani menyelesaikan S-3 di ITB pada 1985 lewat disertasi tentang seni ukir Minangkabau.[2]

Kehidupan awal

Ibenzani lahir sebagai anak pertama dari pasangan Usman Kagami dan Dinar Halimatu Saadiah. Ayahnya, Usman merupakan sebagai seorang pelukis yang me­rancang desain Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatra. Selain terkenal sebagai pelukis, Usman merupakan guru seni dan pernah menjadi Kepala SMA Negeri 1 Padang. Dari ayahnya, Ibenzani mendapatkan pelajaran melukis dan bermusik.[2][1][4]

Saat berusia delapan tahun, Ibenzani kehilangan ibunya. Sepeninggal Dinar, Usman menikahi Marlis Uska, adik Dinar. Ibenzani berikutnya dibesarkan di bawah asuhan Marlis Uska, yang tak lain adalah bibinya sendiri.[2][1]

Sejak usia sepuluh tahun, Ibenzani sudah pandai memainkan piano. Tamat sekolah dasar pada 1950, ia melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Padang dan SMA Negeri 1 Padang, masing-masing diselesaikannya pada 1953 dan 1956. Saat di SMA, Ibenzani mulai aktif melakukan kegiatan-kegiatan kesenian di lingkungan sekolah dan luar sekolah. Dengan beberapa temannya, Ibenzani membentuk grup musik. Penguasaannya terhadap alat musik piano mengantarnya memenangkan perlombaan piano di Padang pada 1955 dan Bandung pada 1957.[2][1]

Menekuni seni rupa

Sebetulnya, Ibenzani memiliki cita-cita sebagai dokter. Namun, ia mengikuti anjuran ayahnya, untuk memilih kuliah di Jurusan Seni Rupa (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain) Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat masih kuliah, ia mememenangkan sayembara Logo Hotel Indonesia dan Lambang Kota Padang.[2][1][5]

Setelah meriah gelar sarjana pada 1962, ia pulang ke Padang dan mengabdi sebagai dosen. Bersama rekannya, Adrin Kahar dan Sumarjadi, Ibenzani menginisiasi pembentukan Jurusan Seni Rupa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Andalas, yang kini terpisah menjadi fakultas sendiri di Universitas Negeri Padang (UNP).[2][3]

Di FKIP Unand yang kelak menjadi UNP, Ibenzani malang melintang mengetuai jurusan di bidang seni. Ia mengetuai Jurusan Seni Rupa FKIP (1965–1969 dan 1973–1977), Jurusan Seni dan Kerajinan FKSS (1969–1973 dan 1977–1979), dan Jurusan Seni Drama Tari dan Musik "Sendratasik" FPBS (1987–1990). Puncak kariernya, yakni sebagai Rektor Institut Sains dan Teknologi Pembangunan Nusantara (ISPTN) Padang sejak 1992 sampai ia meninggal pada 1995.[2]

Musik

Di luar disiplin akademiknya di bidang seni rupa, Ibenzani tetap menyalurkan kemampuannya dalam musik. Komposisi musik Ibenzani di antaranya untuk koor, musik seriosa Indonesia, musik rakyat Sumatra Barat, dan nyanyian kanak-kanak. Karya-karyanya berupa lagu Minang masih lengendaris sampai saat ini, di antaranya: "Lintuah", "Pulanglah Yuang", Sadiah", "Pasan Bundo", "Molah Manari", "Lambok Malam", dan lagu khusus berjudul "Minang Rhapsody". Lagu "Lintuah" dibawakan oleh Elly Kasim dan Oslan Husein.[2][1]

Dalam memainkan musik, Ibenzani cenderung menggunakan alat musik piano dan biola, bukan alat musik tradisional seperti saluang atau rabab.[2]

Untuk almamaternya, ITB, Ibenzani mewariskan dua lagu ciptaan yang sejak tahun 1961 selalu didengungkan setiap perayaan wisuda, yakni "Selamat Datang Tunas Warga ITB" dan "Selamat Jalan Sarjana ITB". Sebagai pencipta lagu, beberapa karyanya mendapat perhatian pengamat musik nasional. Pada 1964, dua lagu seriosa ciptaannya, "Ajakan Suci" dan "Putera Persada" dipilih dan dinyanyikan dalam ajang pemilihan Bintang Radio se-Indonesia. Pada ajang yang sama, dua karyanya kembali terpilih pada 1965, yakni Pesan "Kartini" dan "Bahana Revolusi". Terakhir dalam pemilihan Bintang Radio se-Indonesia pada 1975, terpilih lagunya berjudul "Desaku". Tak hanya handal dalam mencipta lagu, Ibenzani piawai dalam mengolah komposisi paduan suara. Ia berhasi menyabet salah satu gelar juara dalam ajang Komposisi Paduan Suara di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1975 dan 1978.[2][1][5]

Selain itu, karya-karya Ibenzani yang lain di antaranya: "Padang Kota Tercinta", "Mars Universitas Andalas", "Taman Seruni", "Baiduri Permata", "Dambaan Kasih", "Kembalilah Sayang", "Senja Indah", "Gita Pribadi", "Untuk Putriku", "Pahlawan Revolusi", "Bisikan Sukma Satria", "Fajar Menyingsing", "Sayang Ibu dan Ayah", "Indonesia Kubanggakan", dan "Angkatan '66".[2][1]

Pada Maret 1978, Ibenzani bersama Trisuci Kamal, Slamet Abdul Sjukur, dan FX Sutopo yang tergabung dalam Ikatan Komponis Indonesia (IKI) Jakarta berkesempatan mengikuti Asian Composers League Conference ke-5 yang berlangsung di Bangkok, Thailand.[1]

Meninggal

 
Lambang Kota Padang, salah satu peninggalan Ibenzani

Belakangan, Ibenzani lebih fokus mengangkat masalah ilmiah tentang seni ukir tradisional pada ukiran rumah adat Minangkabau dan menuliskannya ke dalam disertasi, yang mengantarnya meraih gelar doktor dari ITB pada 1985. Selain itu, ia banyak meninggalkan karya tulisnya yang menunjukkan kemampuannya dalam menulis gagasan dan pandangannya tentang kesenian. Ia telah melakukan sekitar tujuh kali penelitian ilmiah dan 39 makalah yang telah disampaikan di berbagai forum seminar dan diskusi. Makalah berjudul "Nilai Estetika dalam Kaligrafi Islam" yang ia siapkan untuk Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol ke-32, malahan tidak sempat ia uraikan karena harus menjalani masa perawatan di di RSUP Dr. M. Djamil.[1][5]

Ibenzani meninggal pada 28 Juli 1995 karena penyakit jantung yang dideritanya. Almamternya, ITB kelak menyematkan penghargaan Ganesa Wirya Jasa Adiutama pada 2009 atas sumbangsih Ibenzani yang luar biasa dalam bidang pengembangan institusi.[6][1]

Rujukan

Catatan kaki
Daftar pustaka