Kerajaan Sanggau

Kesultanan Melayu di Kalimantan

Kerajaan Sanggau adalah sebuah kerajaan melayu yang berdiri sejak abad ke-4 M yang terletak di kabupaten sanggau, Kalimantan barat, Indonesia.[1] Penyebutan “Sanggau" sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh di tepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni Sungai Sekayam.[1] Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Hindu Tanjungpura, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga.[1]

Kerajaan Sanggau

1310–Sekarang
Bendera Sanggau
Bendera
{{{coat_alt}}}
Sanggau
Ibu kotaLabai Lawai, Mengkiang, Kota Sanggau, Kampung Kantuk
Bahasa yang umum digunakanMelayu
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Sri Paduka Yang Mulia 
• 1310
Daranante
• 1485-1528
Dayang Mas Ratna
Sejarah 
• Didirikan
7 April 1310 1310
• Dibubarkan
Sekarang
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Masa Awal Kerajaan Sangau

Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam dan bertemu Babai Cinga atau Babaci,[2] Dara Nante kemudian memutuskan untuk balik dan kembali ke Kerajaannya Namun, ditengah perjalanan, tepatnya disebuah tempat yang dikenal dengan nama Labai Lawai, rombongan Dara Nante menghentikan perjalanannya dan membangun suatu kerajaan kecil ditempat itu, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau.[3] Rombongan Dara Nante sendiri sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai dalam perjalanan pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.[3]

Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu~batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga.[3] Batu-batu itu menancap ditanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter.[3] Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan memberikan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut.[3]

Keturunan Kerajaan Sanggau dimasa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Untuk itu, maka pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan tiga etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak, dan tionghoa, menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, dan sudah mendapatkan persetujuan pemerintah.

Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan pucuk pimpinan Kerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama Dakkudak.[1] Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara Nante dengan semestinya.[1] Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik.[1] Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi menuju ke daerah Semboja dan Segarong.[1] Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat.[1] Kelanjutan riwayat Kerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak belum diketahui dengan pasti, namun, pada tahun 1485 M, seorang perempuan yang masih memiliki garis keturunan dengan Dara Nante, bernama Dayang Mas Ratna (1380-1450 M), dinobatkan sebagai penguasa Sanggau.[1] Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke Mengkiang, sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam.[1] Dalam menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Abdurrahman , keturunan Kyai Kerang dari Banten.[4] Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M).[4] Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu.[4] Selain itu, masih pada era pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sintang yang saat itu dipimpin oleh Raja Juhair atau Jubair.[4] Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih ada hubungan darah antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-raja Kerajaan Sintang.[4]

Selanjutnya, Kerajaan Sanggau dipimpin oleh seorang raja bernama Abang Gani dengan gelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada era ini, Kerajaan Sanggau terlibat perkara dengan Kerajaan Tanjungpura. Kasus ini bermula dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun, beberapa tahun setelah perkawinan itu, terdengar kabar bahwa Raja Matan telah menikah lagi. Oleh karena itu, pihak Kerajaan Sanggau bermaksud untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari Kerajaan Matan. Melalui berbagai pemndingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau, akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara damai. Warga Kerajaan Sanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka-cita.[1]

Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau diserahkan kepada putra mahkota yang bemama Abang Basun dengan gelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614- 1658 M). Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh dari saudaranya, bernama Abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabaya, dan sepupunya yang bernama Abang Guneng.[5]

Eksistensi Kesultanan Sanggau

Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah Pangeran Mangkubumi Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690 M.[1] Abang Bungsu adalah anak lelaki Pangeran Mangkubumi Pakunegara dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu.[1] Pengangkatan Abang Bungsu menjadi raja dilakukan karena kedua istri Pangeran Mangkubumi yang lain tidak bisa memberikan anak laki-laki.[1] Abang Bungsu dinobatkan sebagai Raja Sanggau dengan gelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara.[1] Memilik nama dan penyebutan gelar yang disematkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam.[1] Dengan demikian, nama Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi Kesultanan Sanggau, sesuai dengan pemerintahan khas Islam.[1]

Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjadi Kota Sanggau.[1] Akan tetapi, masih banyak keturunan Abang Bungsu yang tetap bertahan di Mengkiang.[1] Konon, Abang Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat.[1] Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara Kuning, dan Dara Hijau.[1] Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat.[5] Tahta Kerajaan Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama Abang Kamaruddin atau Abang Saka bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M).[5] Dalam mengelola pemerintahan, Sultan Akhmad dibantu oleh adiknya yang bernama Panembahan Ratu Surya Negara.[5] Kedua putera almarhum Sultan Mohammad Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk memajukan Kesultanan Sanggau.[5] Sultan Akhmad Kamaruddin berperan sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar Gusti, sedangkan Panembahan Ratu Surya Negara, yang memperoleh gelar Ade, diangkat sebagai penasihat kesultanan sekaligus membawahi daerah perairan atau kawasan pesisir laut.[5]

Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menderita sakit.[1] Ketika Sultan Akhmad Kamaruddin dalam kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan Ratu Surya Negara berkali-kali datang menghadap sang kakak agar tahta pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan kepadanya.[1] Awalnya, permintaan itu tidak ditanggapi secara serius oleh Sultan Akhmad Kamaruddin, namun karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka akhimya Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik.[1] Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M).[1] Selain itu, karena sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu bertanya kepada kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia mendapat julukan Abang Sebilang Hari.[1] Pasca wafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan Sanggau.[1] Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin.[1] Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.[1] Pengganti Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai pemimpin Kesultanan Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M) dari daerah darat dan bertahta di Istana Beringin.[5] Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak.[5] Hal ini dibuktikan dengan pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Gentar Alam" kepada Kesultanan Sanggau dari Sultan Kadriah Pontianak.[5] Sebagai hadiah balasan, Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan balok-balok kayu belian yang kini masih tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah Pontianak.[5] Hubungan antara Kesultanan Sanggau dan Kesultanan Kadriah Pontianak mulai retak pada tahun 1778 M.[6] Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak saat itu berambisi melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya.[6] Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kesultanan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan Sungai Kapuas.[7] Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Kadriah Pontianak mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau.[7]

Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M).[1] Selanjutnya, Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Pangeran Usman yang bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812).[1] Pada masa pemerintahan Panembahan Usman Paku Negara, Kerajaan Sanggau menjalin hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Sekadau melalui ikatan perkawinan.[1] Ratu Godok, puteri Panembahan Usman Paku Negara, menikah dengan Raja Sekadau.[1] Disisi lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak.[1] Kali ini, Kesultanan Sanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan Kadriah Pontianak.[1] Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) dari Istana Kuta.[8] Era pemerintahan Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara berakhir pada tahun 1823 dan digantikan oleh wakil dari Istana Beringin, yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau sampai tahun 1828.[8] Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub menggagas pembangunan Masjid Jami' Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun [[1826.[8] Selain itu, Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk.[8] Saudara Sultan Ayub, bemama Ade Akhmad, naik tahta menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara.[1] Penobatan Ade Akhmad yang notabene masih berasal dari pihak Istana Beringin itu disebabkan karena calon sultan dari Istana Kuta masih kecil dan belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau.[1] Setelah Ade Akhmad atau Panembahan Mohammad Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga Istana Kuta yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876).[1] Panembahan Mohammad Thahir II pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei.[1] Namun, tanda batas yang telah dibuat Panembahan Mohammad Thahir II tersebut kini belum dapat dilacak dan ditemukan.[1]

Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultanan Sanggau didatangi bangsa Belanda. Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau.[8] Belanda memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diizinkan menetap di Sanggau.[8] Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Panembahan Mohammad Thahir II.[8] Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah Kesultanan Sanggau.[8] Panembahan Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 Maret 1876.[8] Kedudukannya sebagai Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).[8] Sejak saat inilah roda pemerintahan di Kesultanan Sanggau mulai dipengaruhi oleh hegemoni Belanda, termasuk dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan seorang sultan, serta berbagai perjanjian yang dilakukan antara pihak Kesultanan Sanggau dengan Belanda.[8] Pada tahun 1877, misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai penyewaan tanah Kesultanan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.W. van Lansberge (1875-1881) serta pihak Kesultanan Sanggau yang diwakili oleh Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh (Mangkubumi), Pangeran Ratu Mangku Negara (Raja di Semerangkai), Pangeran Mas Paduka Putera (Raja di Balai Karangan), dan Pangeran Adi Ningrat selaku (Menteri Kesultanan Sanggau).[8] Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam disewakan kepada Belanda.[8] Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada tahun 1908, tampuk pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915.[5] Pemangku tahta Kesultanan Sanggau berikutnya adalah Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (dari Istana Beringin).[5] Era Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara berakhir pada tahun 1921 setelah dia dipensiunkan oleh Belanda.[5] Belanda yang telah berhasil masuk ke dalam setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian menobatkan Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kesultanan Sanggau yang selanjutnya.[5] Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahan hingga tahun 1941 dan digantikan oleh Gusti Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.[5]

Pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang.[5] Sejak itulah masa pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau, dimulai.[5] Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 dia ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara Jepang.[5] Sepeninggal Gusti Mohammad Arif Paku Negara, atas campur-tangan pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau.[5] Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin.[1] Namun, kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang.[1] Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944.[1] Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat- saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia.[1] Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu.[1] Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya.[1] Namun, pada bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggau.[1] Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bemama Riekerk untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen diwilayah Sanggau.[1] Riekerk, yang datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana Kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai penggantinya.[1] Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta. Tahta Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan hingga Sanggau diubah menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir (Basilius, dalam Pontianak Pos, 3 Oktober 2004). Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Dzaman selaku Kepala Daerah Swatantra tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayat Kesultanan Sanggau mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat.

Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhimya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata[9] Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau[9] Acara agung itu dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dari Keraton Ismahayana Landak, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin.[9]

Silsilah

Urutan para pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan/Kesultanan Sanggau yang berhasil ditemukan dari buku karya J.U.Lontaan yang berjudul Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat" dan tulisan bertajuk "Kesultanan Sanggau" karya A. Roffi Faturrahman, et.aI. (tt) yang terhimpun dalam buku Istana- istana di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:[1]

  1. Dara Nante (1310 M).
  2. Dakkudak.
  3. Dayang Mas Ratna (1485-1528 M).
  4. Dayang Puasa atau Nyai Sura (1528-1569 M).
  5. Abang Gani bergelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M).
  6. Abang Basun bergelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M).
  7. Abang Bungsu (Uju) bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M).
  8. Abang Kamaruddin bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M).
  9. Panembahan Ratu Surya Negara bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M).
  10. Abang Tabrani bergelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M).[10]
  11. Panembahan Mohammad Thahirl Surya Negara (1762-1785 M).
  12. Pangeran Usman bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812).
  13. Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823).
  14. Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828).
  15. Panembahan Mohammad Kusuma Negara (1812-1860).
  16. Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876).
  17. Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).
  18. Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915).
  19. Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (1915-1921).
  20. Panembahan Thahir Surya Negara (1921-1941).[11]
  21. Gusti Mohammad Arif (1941-1942).
  22. Ade Marhaban Saleh (1942-1944).
  23. Panembahan Gusti Ali Akbar (1944-1945).
  24. Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara (1945).
  25. Pangeran Ratu Gusti Arman Surya Negara Al-Haj (2009).

Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan Kerajaan Sanggau sejak masa awal atau ketika didirikan pertama kali oleh Dara Nante pada tahun 1310 masih berdasarkan aturan dan hukum-hukum adat setempat.[5] Pejabat sementara pengganti Dara Nante, yakni Dakkudak, ternyata tidak dapat mengelola pemerintahan Kerajaan Sanggau dengan baik.[5] Dakkudak tidak mampu menjalankan undang-undang adat dengan semestinya.[5] Ketidak mampuan ini membuat Dakkudak memilih pergi meninggalkan Kerajaan Sanggau.[5] Pengganti Dakkudak adalah keturunan Dara Nante yang bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M).[5] Sejak masa inilah tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau mulai diampu oleh orang-orang yang mempunyai tali keturunan berdasarkan garis darah.[5] Dalam menjalankan pemerintahan, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bemama Nurul Kamal.[5] Hal yang sama juga berlaku pada masa pemerintahan Dayang Puasa atau Nyai Tua yang berperan meneruskan kekuasaan Dayang Mas Ratna.[5] Pengelolaan pemerintahan Kerajaan Sanggau pada rezim Dayang Puasa juga dibantu oleh sang suami yang bernama Abang Awal.[5]

Sejak masa kepemimpinan Dayang Puasa berakhir, Kerajaan Sanggau selalu dipimpin oleh kaum pria dari waktu ke waktu.[9] Dalam melaksanakan pemerintahannya, biasanya Raja atau Sultan Sanggau dibantu oleh penasihat kerajaan/kesultanan yang diberi gelar Ade.[9] Bahkan, sejumlah orang yang pernah menjabat sebagai Ade, sempat naik tahta menjadi penguasa Sanggau, beberapa di antaranya adalah Panembahan Ratu Surya Negara (1722-1741 M) yang mengambil-alih tahta Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M) dan Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) yang menggantikan Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828).[9] Para pemegang jabatan Ade pada umumnya adalah saudara kandung dari pemimpin Kesultanan Sanggau yang tengah berkuasa.[9]

Setelah era pemerintahan Panembahan Ratu Surya Negara yang bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M), terjadi perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan Sanggau.[9] Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin, keduanya adalah putera dan Sultan Sanggau sebelumnya, yakni Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M).[9] Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.[9] Suksesi kepemimpinan yang bergantian seperti ini terus berlangsung hingga Kesultanan Sanggau melebur dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sedikit pengecualian yang disebabkan hal-hal tertentu, misalnya calon Sultan masih berusia belum dewasa atau kondisi politik saat itu.[9]

Sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau mempunyai undang-undang yang didasarkan atas hukum adat dan hukum Islam.[8] Akan tetapi, ketika Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggu, segala kebijakan yang dirumuskan Kesultanan Sanggau harus mendapat persetujuan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda.[8] Selain itu, Kesultanan Sanggau juga memiliki lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama.[8] Lembaga ini dipimpin oleh Haji Muhammad Yusuf bergelar Pangeran Tumenggung Suria Igama dan Ade Ahmaden Baduwi bergelar Raden Penghulu Suria Igama.[12] Pembentukan Raad Agama ini sebenamya merupakan taktik Belanda untuk turut campur dalam persoalan-persoalan agama (Islam) yang sebelumnya menjadi wewenang penuh Sultan Sanggau.[8] Pada tanggal 30 Oktober 1932, dilakukan penyempumaan hukum adat yang berlaku di Kesultanan Sanggau.[8] Hukum adat yang sebelumnya berjumlah 34 pasal ditambah menjadi 70 pasal.[8] Dalam hukum baru tersebut dikatakan bahwa segala urusan agama tidak hanya diputuskan oleh Sultan Sanggau, tetapi juga harus dilakukan oleh Raad Agama.[12] Urusan-urusan yang ditangani oleh Raad Agama antara lain: nikah, talak, rujuk, waris, wasiat, penetapan bulan Ramadhan, fardlu kifayah, pengangkatan imam dan khatib, dan bilal masjid.[12]

Belanda memang berupaya mengendalikan sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau.[1] Hal yang paling jelas adalah ketika terjadi suksesi kepemimpinan kesultanan di mana Belanda sangat berpengaruh dalam hal ini.[1] Belanda, misalnya, menobatkan Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915), sebagai pengganti Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).[1] Orang-orang yang menolak pengangkatan itu, salah satunya adalah Pangeran Dipati Ibnu, dibuang ke Jawa oleh Belanda.[1] Campur-tangan Belanda dalam proses pengangkatan pemangku adat Sanggau terus terjadi sampai tahun 1941.[1] Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia pada tahun 1949, maka kedudukan Kesultanan Sanggau secara politik sudah tidak berlaku lagi karena Sanggau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berubahbentuk menjadi swapraja.[1] Sejak tanggal 2 Mei 1960, riwayat Kesultanan Sanggau berubah status menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat.[1] Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhimya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata[9] Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau.[9]

Wilayah Kekuasaan

Sejak pertama kali didirikan oleh Dara Nante pada tahun 1310, Kerajaan/Kesultanan Sanggau telah mengalami perpindahan pusat pemerintahan selama beberapa kali dengan masing-masing daerah kekuasaannya.[1] Pertama kali didirikan, pusat Kerajaan Sanggau berada di Labai Lawai di dekat Sungai Sekayam.[1] Kemudian, pada era pemerintahan Dayang Mas Ratna (1485-1528 M), keturunan Dara Nante, pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau dipindahkan dari Labai Lawai ke Mengkiang di muara Sungai Sekayam.[1] Pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Sanggau di Mengkiang bertahan hingga masa kekuasaan Abang Bungsu yang bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara yang bertahta dan tahun 1658 hingga 1690 M.[1] Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjelma menjadi Kota Sanggau.[1] Sultan Ayub Paku Negara (1823-1828) memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk.[8] Pada masa pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876), telah dirumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Brunei.[1] Namun, tanda batas yang telah dibuat tersebut kini belum dapat dilacak lagi.[1] Selain itu, meski bukan sebuah kerajaan yang besar, namun Kesultanan Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan.[8] Pada masing-masing dari daerah taklukan Kesultanan Sanggau tersebut ditempatkan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau.[8] Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari wilayah pendudukan Kesultanan Sanggau tersebut di antaranya adalah Semerangkai, Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan sejumlah daerah lainnya.[8] Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan wilayah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, pada masa sekarang.[9] Hal tersebut terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sanggau yang mengacu kepada wilayah Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau merupakan kelanjutan dan Kerajaan/Kesultanan Sanggau dahulu.[9] Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara Kalimantan Barat.[9] Sebelah utara Sanggau berbatasan dengan Serawak (Malaysia), sebelah selatan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten Landak, dan sebelah timur dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.[9]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at au av aw ax ay az ba bb bc bd be bf bg bh bi bj bk bl J.U. Lontaan, 1975. Sejarah-hukum adat dan adat istiadat Kalimantan-Barat. Kalbar: Pemda Tingkat I Kalimantan Barat.</refkerajaan sanggau diakses 29 Maret 2015
  2. ^ Abang Ishar, Sejarah Kesultanan Melayu Sanggau
  3. ^ a b c d e "Batu Keramat Daranante dan Babai Cingak", dalam Harian Berkat, 31 Mei 2009.
  4. ^ a b c d e Syahzaman & Hasanuddin, 2003. “Sintang dalam lintasan sejarah". Pontianak: Romeo Grafika.
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab A. Roffi Faturrahman, et.al., tt. “Kesultanan Sanggau", dalam Istana-istana di Kalimantan Barat. Pontianak: Inventarisasi Istana di Kalimantan Barat.
  6. ^ a b Hasanuddin, 2000. Pontianak, 1771-1900: Suatu tinjauan sejarah sosial ekonomi. Pontianak: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak.
  7. ^ a b Ansar Rahman, et.aI., 2000. Syarif Abdurrahman A/kadri, perspektif sejarah berdirinya Kota Pontianak. Pontianak: Romeo Grafika - Pemerintah Kota Pontianak.
  8. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w Basilius, "Pusat pemerintahan dipindahkan di Kampung Kantuk; Melihat perkembangan Sanggau dari masa ke masa (S)", dalam Pontianak Pos, 28 September 2004.
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama melayu online
  10. ^ (Indonesia)Tomi (2014). Pasak Negeri Kapuas 1616-1822. Indonesia: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 602961357X. ISBN 9786029613575
  11. ^ (Indonesia)Dr. Abang Ishar AY, M.Sc. Sejarah Kesultanan Melayu Sanggau. Indonesia: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 6024330715. ISBN 9786024330712
  12. ^ a b c Basilius, "Pembaharuan pemerintahan kerajaan terus dilakukan; Melihat perkembangan Sanggau dari masa ke masa (8)", dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004.

Pranala luar