Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh

museum di Indonesia.
Revisi sejak 4 Juni 2019 21.06 oleh LaninBot (bicara | kontrib) (Walikota → Wali kota)

Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh disingkat PDIA adalah badan yang bersifat mandiri, sebagai salah satu perwujudan kerja sama antara Pemerintah Aceh dan Universitas Syiah Kuala. Lembaga ini mendapatkan Bimbingan Administratif dari Pemerintah Aceh dan Bimbingan Teknis Ilmiah dari Universitas Syiah Kuala.

Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh berdiri sejak 26 Maret 1977 dan diresmikan pada 26 Juli 1978 oleh Rektor Universitas Syiah Kuala Prof. Dr. Ibrahim Hasan dan Gubernur Daerah Istimewa Aceh (Sekarang Provinsi Aceh) A. Muzakkir Walad. dengan tugas menghimpun segala bentuk publikasi/penerbitan berupa buku, naskah, akta, risalah, pamlet dan lain-lain mengenai Aceh. Pada 26 Desember 2004 terjadinya musibah Tsunami yang menyeret seluruh koleksi-koleksi PDIA. Setelah itu, semuanya berawal dari nol lagi. Dengan bantuan Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) PDIA berusaha untuk bangkit kembali. Sekarang PDIA telah direlokasi di Komplek Museum Aceh dan telah memiliki lebih dari ratusan ribu koleksi khazanah tentang Aceh.

Layanan

Layanan yang disediakan sekarang adalah

  • Galeri, layanan ini merupakan griya tawang yang menampilkan foto-foto tematik, tersedia di kantor PDIA.
  • Perpustakaan, lebih dari 2000 buku tentang Aceh dapat diakses pada 2019 ini. Layanan ini juga tersedia di kantor PDIA.
  • Pustaka Digital, lebih dari 500 koleksi KITLV dapa diunduh di halaman https://pustaka.pdiaaceh.org
  • Seri Informasi Aceh, sebuah produk unggulan PDIA yang berupa buku serial yang disediakan di halaman https://pdiaaceh.org/sia
  • Kliping Digital, sebuah produk unggulan PDIA yang terdiri dari kliping Pilkada Aceh yang disediakan dihalaman https://kliping.pdiaaceh.org

Visi

Visi Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh adalah: "Menuju lembaga rujukan utama untuk studi-studi tentang Aceh masa lalu, masa kini, dan masa depan."

Misi

Misi Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh adalah:

  • Menghimpun dan menata segala bentuk publikasi/penerbitan berupa buku, naskah, akta, risalah, panflet, bulletin dan sebagainya mengenai Aceh.
  • Memberikan informasi kepada pihak-pihak yang memerlukan dengan membina sarana-sarana yang diperlukan seperti bidang perpustakaan dan bidang ilmiah lainnya.
  • Menerbitkan/mempublikasikan dalam bentuk seri informasi, buku, risalah, dan lain-lain mengenai Aceh serta mengadakan hubungan tukar-menukar informasi dengan badan-badan, perkumpulan dan perorangan dengan pihak-pihak dalam dan luar negeri.
  • Membantu penelitian-penelitian ilmiah, antara lain dengan bekerja sama dengan badan-badan, perkumpulan, ataupun perorangan di dalam dan di luar negeri.
  • Menghubungi pihak-pihak yang dapat membantu PDIA dengan berbagai bentuk kerja sama guna pengembangan dan kemajuan PDIA (Pasal 6 Statuta PDIA).

Sejarah

Gagasan pendirian Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) untuk pertama kali dicetuskan dalam seminar Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II yang dilangsungkan sejak tanggal 20 Agustus sampai dengan 2 September tahun 1972, di Banda Aceh. Ide ini bermula atas usulan Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian M.A. dosen Fakultas Sastra dan Kebudayaan Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta yang saat itu menjadi pembicara pada seminar tersebut. Dalam pandangan Teuku Ibrahim Alfian, Aceh membutuhkan sebuah pusat studi yang menghimpun seluruh informasi mengenai Aceh sehingga keberadaan Aceh tidak hanya sebatas identitas teritori ataupun suku bangsa, tapi juga mampu menjadi bagian dari kajian pengetahuan yang disebut “Aceh Studies”.

Usulan akan pentingnya keberadaan pusat studi mengenai Aceh ini juga muncul dari seorang pemakalah lain di forum PKA II tersebut, yaitu Prof. Dr. H. Aboebakar Atjeh. Beliau mengusulkan agar di Banda Aceh dibangun sebuah “Institute of Aceh Studies” sejenis “Atjeh Instituut” yang didirikan pada masa pendudukan Belanda di Aceh, tepatnya 1 Agustus 1914 di Amsterdam, yang anggaran dasarnya di tetapkan dalam Koninklijk Besluit No. 61, tanggal 31 Juli 1914, dengan tujuan mengumpulkan bahan-bahan mengenai daerah dan rakyat Aceh. Ketua pertama Atjeh Instituut adalah Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dengan J. Kreemer sebagai sekretaris. Lembaga inilah yang telah menerbitkan buku, karangan-karangan, dan penerbitan lainnya tentang Aceh, antara lain: Atjeh (2 jilid) 1922/1923, Atjehschhandwoordenboek, De Rijkdom Van Atjeh, dan sebagainya.

Gagasan tersebut baru terwujud pada tahun 1974 dengan didirikannya Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS) pertama Indonesia di Darussalam, Banda Aceh. Pada tahun yang sama (1974) lahir pula sebuah proyek yang dinamakan KA 013 dalam rangka Kultureel Akkoord (kerja sama kebudayaan) Belanda-Indonesia yang turut membantu menyediakan buku-buku sebagai persiapan untuk didirikannya PDIA. Drs. F.G.P. Jaquet, kepala kearsipan pada Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Leiden telah memberikan bantuan yang sangat berharga dalam hal menyeleksi bahan-bahan informasi yang berkaitan dengan Aceh di negeri Belanda dan sekaligus mengupayakan pengirimannya ke Banda Aceh.

Dalam rangka persiapan kelahiran PDIA dan berkat kebijakan pemerintah Daerah Istimewa Aceh, sebuah bangunan yang pada masa pemerintah Belanda sebagai tempat kediaman Asistent Resident Terbeschikking, dan pada masa pemerintahan Republik Indonesia dihuni oleh pejabat Resident Atjeh, dijadikan bakal gedung PDIA. Pada tanggal 2 September 1974 dalam rangka memperingati ulang tahun ke-13 Universitas Syiah Kuala, Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, A. Muzakir Walad, menyerahkan tanah dan gedung tersebut kepada Universitas Syiah Kuala dengan disaksikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Syarif Thayeb, dan Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Brigadir Jenderal A. Rivai Harahap. Selama dua tahun, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menyediakan sejumlah dana untuk pemugaran gedung dan penambahan beberapa bangunan baru. Pemerintah Daerah, selain menyerahkan gedung dan tanah, juga telah membantu sejumlah biaya selama dua tahun untuk pengadaan alat-alat perlengkapan dan sebagainya.

Akhirnya pada tanggal 26 Maret 1977, tepat 104 tahun Proclamatie (pernyataan) perang Kerajaan Belanda kepada Kerajaan Aceh, diresmikanlah pendirian PDIA. Peresmian itu dihadiri oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Syarif Thayeb, para pejabat setempat, dan tamu-tamu khusus Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dari negeri Belanda, yaitu; Prof. A. Teeuw, Ketua Proyek Kerja sama Belanda-Indonesia beserta istri, Dr. A.J. Piekaar, mantan Sekretaris Keresidenan Aceh pada masa pemerintahan Belanda 1939-1942 (terakhir pensiunan pegawai tinggi Kementerian Pendidikan Belanda 1953-1975) beserta istri, serta Mr. A. Vleer, mantan Adspirant Controleur di Lhoksukon 1932-1934 (terakhir pensiunan Wali kota Enshede Belanda) beserta istri.

Tokoh Aceh yang hadir saat peresmian tersebut antara lain Teuku Ibrahim Alfian, A. Muzakkir Walad (Gubernur Aceh), Dr. Syamsuddin Mahmud yang saat itu sebagai Pembantu Rektor I Universitas Syiah Kuala 1975-1977, Prof. A. Majid Ibrahim, M. Hasan Basri, S.H, dan lain-lain. Semua tokoh tersebut telah memberikan andil yang besar dalam pendirian dan perkembangan Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.

PDIA diresmikan pemakaiannya untuk umum pada tanggal 3 September tahun 1978 dalam rangka memperingati hari jadi ke-17 Universitas Syiah Kuala. PDIA semula bernama Pusat Dokumentasi Aceh, tetapi kemudian diubah menjadi Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (disingkat: PDIA). Lembaga ini merupakan salah satu perwujudan kerjasama antara Pemerintah Daerah Istimewa Aceh dengan Universitas Syiah Kuala.

Pranala luar

Situs PDIA