Dataran tinggi Seko
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Maret 2016) |
Seko atau Wono adalah suatu dataran tinggi yang terletak ± 1200–1800 meter di atas permukaan laut di segitiga perbatasan antara provinsi Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, Indonesia.[1]
Secara geografis Seko dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Seko Padang di bagian paling timur, Seko Tengah, dan Seko Lemo. Daerah Seko berada di dataran tinggi pegunungan “Tokalekaju” yang diapit oleh pegunungan Quarles dan Verbeek. Ia berada tepat di bagian tengah ”huruf K” di Pulau Sulawesi sehingga dalam sangat tepat kalau Seko di sebut sebagai JANTUNG SULAWESI. Secara keseluruhan daerah ini memiliki luas wilayah 2.109,19 Km2, merupakan kecamatan terluas dan terjauh dengan jarak sekitar 120 km dari ibu kota Kabupaten Luwu Utara. Kecamatan ini sudah berpenduduk sekitar 14.000 jiwa yang terdiri dari 12 desa yang semuanya sudah beratatus definitif. Kecamatan Seko berada pada ketinggian antara 1.113 sampai 1.485 meter di atas permukaan laut, dengan topografi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit.
Sarana transportasi untuk mencapai Seko dari kecamatan terdekat, Masamba, dapat dilakukan melalui jalur udara dengan pesawat perintis, atau jalur darat menggunakan ojek.[1] Jalur darat yang dilalui ojek masih berupa jalan tanah yang memiliki banyak rintangan seperti lebar jalan yang sempit dan kondisi tanah basah sehingga cenderung sulit dilalui kendaraan biasa. Perjalanan menggunakan ojek dapat menghabiskan waktu 2-3 hari. Kesulitan untuk menuju Seko menyebabkan ongkos transportasi menggunakan ojek mencapai Rp 1 juta per orang (pada 2014).[1]
Secara turun-temurun Seko terdiri atas terdapat 9 wilayah adat, yaitu (1), Hono' (2) Lodang, (3) Turong, (4) Singkalong, (5) Ambalong, (6) Hoyane, (7) Pohoneang, (8) Kariango, dan (9) Beroppa’. Wilayah-wilayah adat di Seko ini dikenal sebagai wilayah yang kaya raya akan sumber daya alam baik hasil hutan, mineral, ternak dan hasil-hasil pertanian dan perkebunan lainnya
Setidaknya terdapat empat bahasa yang termasuk rumpun bahasa seko yaitu: Seko Padang, Seko Tengah, Panasuan, dan Budong-budong.[2] Penutur bahasa tersebut berada di sepanjang sungai Karama.[2]
Kekayaan daerah dan potensi wisata
Seko terbagi dalam tiga budaya dan adat istiadat, yaitu :
Seko Lemo
Disebut Seko Lemo karena masyarakatnya adalah keturunan anak suku sub suku Toraja Luwu yang bermigrasi ke daerah ini sekitar tahun 1700. Asal para migran ini disebut Lemo, sebuah daerah di pedalaman Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara. Karena itu mereka disebut "To Lemo" atau "Orang Lemo". Lemo sendiri berasal dari bahasa Melayu Toraja yang berarti "jeruk".
Tipologi Seko Lemo adalah perbukitan dengan hasil utama kopi arabika dan robusta, cokelat, padi, dan jagung. Suhu rata-rata per tahun 18°–22 °C. Budaya dan adat istiadat merupakan akulturisasi adat istiadat Toraja dan masyarakat asli Seko. Tidak ada transportasi khusus selain berjalan kaki menelusuri jalan setapak dari kampung ke kampung. Untuk membawa barang biasanya dipakai kuda. Dialek dan idialek bahasa sehari-hari Seko Lemo mirip Toraja tapi halus seperti gaya orang Jawa berbicara. Masyarakat membangun rumah di tebing-tebing atau di kaki-kaki bukit. Objek wisata yang bisa dinikmati di sini antara lain adalah wisata alam dan cross-country.
Seko Tengah
Disebut seko tengah karna berada ditengah yang diapit oleh seko padang dan seko lemo. nama ini menindikasikan bahwa seko tengah adalah gabungan dari dua etnis suku yang ada di seko, secara turun temurun seko tengah terbagi menjadi beberapa desa, Yaitu : Amballong, Lambiri, Longga, Pohoneang, Hoyane.
Rujukan
- ^ a b c "Naik Ojek Termahal di Indonesia Menuju Seko". Kompas.com. Diakses tanggal 28 Juni 2014.
- ^ a b (Inggris) Laskowske, Tom. "The Seko Languages of South Sulawesi: a Reconstruction*" (PDF). SIL International.