Ambo Dalle

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
Revisi sejak 7 Juni 2019 02.06 oleh LaninBot (bicara | kontrib) (Menghilangkan spasi sebelum tanda koma dan tanda titik dua)
Ambo Dalle
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Masa Kecil

Pada masa kecilnya, Ambo Dalle mempelajari ilmu agama dengan metode sorogan (sistem monolog), yaitu guru membacakan kitab, sementara murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru.[butuh rujukan] Pelajaran membaca dan menghafal Alquran ia peroleh dari bimbingan bibi serta kedua orang tuanya, terutama sang ibu. Agar lebih fasih membaca Alquran, Ambo Dalle belajar tajwid kepada kakeknya, Puang Caco, seorang imam masjid yang fasih membaca Alquran di Desa Ujung.[butuh rujukan]

Selama menuntut ilmu, Ambo Dalle tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran, seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu, sharaf, tafsir, dan fikih saja, tapi ia juga mengikuti Sekolah Rakyat (Volk School) pada pagi hari serta kursus bahasa Belanda pada sore hari di HIS Sengkang dan belajar mengaji pada malam harinya.[butuh rujukan]

Sementara itu, untuk memperluas cakrawala keilmuan, terutama wawasan modernitas, Ambo Dalle lalu berangkat meninggalkan Wajo menuju kota Makassar.[butuh rujukan] Di kota ini, ia mendapatkan pelajaran tentang cara mengajar dengan metodologi baru melalui Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI).[butuh rujukan] Pada saat itu, SI yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto berada dalam masa kejayaan dan benar-benar membuka tabir kegelapan bagi wawasan sosial, politik, dan kebangsaan di seluruh Tanah Air.[butuh rujukan]

Ketika mengikuti sekolah guru di Makassar inilah, ia menemukan kehidupan sosial yang lain dan jauh berbeda dari tanah Wajo yang masih sepi.[butuh rujukan] Makassar, yang saat itu telah menjadi sebuah kota pelabuhan terpenting di kawasan Indonesia Timur, ramai disinggahi oleh kapal besar dan perahu dari berbagai penjuru yang memuat barang-barang dagangan. Beraneka ragam barang niaga, seperti beras, kelapa, hasil hutan, dan kain tenun sutera, ditawarkan orang-orang di pasar-pasar.[butuh rujukan]

Ketika kembali ke Wajo, Ambo Dalle semakin matang secara keilmuan ataupun wawasan.[butuh rujukan] Karena itu, ia bertekad untuk mencerdaskan putra-putri bangsa, khususnya di daerahnya sendiri.[butuh rujukan] Selain kegiatan rohani dengan pendalaman spiritual yang menjadi gairah hidupnya sehari-hari, kegiatan fisik juga tidak diabaikannya. Misalnya, ia selalu aktif berolahraga.[butuh rujukan] Olahraga yang paling digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle terkenal sebagai seorang pemain bola yang andal. Karena keahliannya dalam menggiring dan mengolah si kulit bundar, rekan-rekannya menjuluki Ambo Dalle sebagai 'Si Rusa.'[butuh rujukan]

Selain itu, Ambo Dalle terus menambah ilmunya, terutama dalam ilmu agama.[butuh rujukan] Ia pun belajar kepada ulama-ulama asal Wajo yang merupakan alumni Makkah, seperti H Syamsudin dan Sayyid Ali al-Ahdal. Para ulama asal Wajo ini bermaksud membuka pengajian di kampung halaman mereka.[1]

Mendirikan Madrasah

Salah seorang guru Ambo Dalle, yakni Gurutta H As'ad, suatu ketika menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Ambo Dalle. Ternyata, jawaban Ambo Dalle dianggap yang paling tepat dan benar. Maka, sejak saat itu, ia diangkat menjadi asisten dan mulai meniti karier mengajar serta secara intens menekuni dunia pendidikan.[butuh rujukan]

Berkat kerja sama antara Gurutta H As'ad dan Ambo Dalle, pengajian itu bertambah maju. Hal tersebut terdengar sampai ke telinga Raja Wajo saat itu, Arung Matoa Wajo. Arung Matoa Wajo pun memutuskan mengadakan peninjauan langsung ke tempat pengajian milik Gurutta H As'ad. Dalam kunjungannya, Raja Wajo ini meminta agar Gurutta H As'ad membuka sebuah madrasah yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah setempat. Gayung bersambut. Maka, tak lama kemudian, dimulailah pembangunan madrasah.[butuh rujukan]

Madrasah yang dibangun ini menyelenggarakan jenjang pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD), dan tsanawiyah (SMP). Lembaga pendidikan itu diberi nama Al-Madrasah al-Arabiyah al-Islamiyah (disingkat MAI) Sengkang. Lambangnya diciptakan oleh Ambo Dalle dengan persetujuan Gurutta H As'ad bin Abdul Rasyid dan ulama lainnya. Dalam waktu singkat, popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasah) menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah.[butuh rujukan]

Selanjutnya, atas izin sang guru, Ambo Dalle pindah dan mendirikan MAI di Mangkoso pada 29 Syawal 1356 H atau 21 Desember 1938. Mulai saat itulah, ia mendapat kehormatan penuh dari masyarakat dengan gelar Gurutta Ambo Dalle. MAI Mangkoso ini kelak menjadi cikal bakal kelahiran organisasi pendidikan keagamaan bernama Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI).[butuh rujukan]

Sementara itu, sepeninggal Gurutta H As'ad, MAI Sengkang diubah namanya menjadi Madrasah As'adiyah. Perubahan nama tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasa Gurutta H As'ad.[butuh rujukan]

Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah yang dipimpin oleh Ambo Dalle ini sangat pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang MAI Mangkoso. Untuk merespons permintaan itu, dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.[butuh rujukan]

Dakwah

Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa para murid dan pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti dia dalam sepak terjang perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama.[butuh rujukan]

Perkembangan agama Islam di Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Selatan pada khususnya tidak terlepas dari sepak terjang para tokoh dan ulama dalam menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam. Salah satu di antaranya adalah KH Abdurrahman Ambo Dalle yang oleh murid-muridnya dan masyarakat Bugis umumnya, lebih akrab disapa dengan Gurutta Ambo Dalle.[butuh rujukan] Menurut Nurhayati Djamas (dalam Nasruddin Anshoriy: 2009: xxvii), Gurutta Ambo Dalle merupakan simbol anak zaman. Dia hidup dalam empat zaman, mulai dari zaman feodal, zaman Belanda, zaman Jepang hingga zaman kemerdekaan yang berhasil mencerdaskan murid-muridnya dan masyarakat luas pada umumnya melalui jalur pendidikan, dakwah dengan kecerdasan intelektual dan kecerdasan sosial yang dimilikinya.[2]

Zaman Jepang

Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan. Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena Pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah.

Untuk mengatasi masalah ini, Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Ia pun mengambil inisiatif. Pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pada bagian pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu, pada malam hari dilarang menggunakan lampu.

Bukannya sepi peminat, justru siasat yang dilakukan Ambo Dalle ini mengundang masyakarat sekitar untuk mendaftarkan anak-anak mereka belajar di madrasah milik Ambo Dalle. Bahkan, cara yang ditempuhnya ini membuat madrasah tersebut luput dari pengawasan Jepang. berbagai sumber[3]

Tanda Kehormatan

Dari beberapa rangkaian pengabdian yang dilakukan belaiau dari zaman ke zaman, dia menerima beberapa penghargaan baik dari pemerintah maupun lembaga pendidikan diantaranya: Tanda kehormatan Bintang MAHAPUTRA NARARYA dari presiden BJ. Habibie pada tahun 1999, Tanda penghargaan dari pemerintah daerah tingakt II Kab. Wajo sebagai PUTRA DAERAH BERPRESTASI pada tahun 1998, Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai TOKOH PENDIDIK BIDANG AGAMA SE-INDONESIA TIMUR pada tahun 1986.[4]

Buku

Salah satu buku biografi tentang Gurutta ambo dalle ditulis oleh Nazaruddin berjudul " AMBO DALLE MAHA GURU DARI BUMI BUGIS "[5][6]

Referensi