Kepausan Avignon
Artikel ini perlu diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. |
Kepausan Avignon dalam sejarah Gereja Katolik Roma adalah periode dari 1305 hingga 1378 ketika Uskup Roma, yaitu Paus, tinggal di Avignon (kini bagian dari Prancis) dan bukan di Roma. Tujuh paus, semuanya orang Prancis, tinggal di Avignon pada masa ini:
- Paus Klemens V: 1305–1314
- Paus Yohanes XXII: 1316–1334
- Paus Benediktus XII: 1334–1342
- Paus Klemens VI: 1342–1352
- Paus Innosensius VI: 1352–1362
- Paus Urbanus V: 1362–1370
- Paus Gregorius XI: 1370–1378
Pada tahun 1376, Paus Gregorius XI memindahkan takhta kepausan kembali ke Roma dan meninggal di sana pada tahun 1378. Karena adanya pertikaian mengenai pemilihan penggantinya, sekelompok kardinal mendirikan apa yang disebut [[anti-paus] di Avignon:
- Klemens VII: 1378-1394
- Benediktus XIII: 1394-1423 (yang diusir dari Avignon pada tahun 1403)
Ini adalah suatu masa sulit dari tahun 1378 hingga 1417 yang disebut oleh para cendekiawan Katolik sebagai "Skisma Barat" atau kontroversi besar mengenai para anti-paus (yang juga disebut sebagai Skisma Besar Kedua oleh sejumlah ahli sejarah sekular dan Protestan), dimana golongan-golongan di lingkungan Gereja Katolik terbagi-bagi kesetiaannya terhadap sejumlah orang yang mennyebut diri mereka berhak atas takhta paus. Konsili Konstanz pada 1417 akhirnya menyelesaikan kontroversi ini dengan mencabut sisa-sisa terakhir dari kepausan Avignon.
Negara Kepausan (yang kini terbatas hanya pada kota Vatikan) meliputi daerah di sekitar Avignon (Comtat Venaissin) dan sebuah kantong di sebelah timur. Daerah-daerah itu tetap menjadi bagian Negara Kepausan hingga saat Revolusi Perancis, dan menjadi bagian dari Perancis pada tahun 1791.
Latar belakang
Kepindahan ke Avignon
Setelah wafatnya Paus Benediktus XI di tahun 1304, Raymond Bertrand de Got, Uskup Agung Bordeaux, terpilih menjadi penerusnya dengan nama Paus Klemens V di bulan Juni 1305. Jabatannya ini diresmikan dalam sebuah upacara gereja pada tanggal 14 November 1305. Terpilihnya ia menjadi paus adalah sekitar setahun setelah terjadinya kebuntuan masa pemerintahan tahta suci akibat perseteruan antara para kardinal Perancis dengan para kardinal Italia, yang berjumlah sama kuat di dalam konklaf yang harus diselenggarakan di Perugia. Bertrand sendiri bukanlah seorang Italia maupun seorang kardinal, dan terpilihnya dirinya mungkin dianggap sebagai sebuah sikap menuju netralitas.
Penulis sejarah masa itu Giovanni Villani melaporkan gosip yang menyatakan bahwa Sri Paus yang baru sebelumnya telah menyatakan tunduk kepada Raja Perancis Philippe IV (1285-1314) dalam sebuah persetujuan resmi sebelum pengangkatannya yang dibuat di St. Jean d'Angély di Saintonge. Benar atau tidaknya gosip ini tidaklah penting semenjak kemungkinan besar Sri Paus yang baru ini telah dipilih dengan persyaratan yang ketat yang diberikan oleh persekutuan para kardinal di dalam konklaf. Di Bordeaux, Bertrand secara resmi diberitahu pemilihan dirinya sebagai Sri Paus dan didorong untuk segera datang ke Italia. Namun ia memilih untuk ditahbiskan di Lyon pada tanggal 14 November 1305 yang dirayakan dengan mewah dan dihadiri oleh Philippe IV. Diantara tindakan-tindakan awalnya adalah pengangkatan sembilan kardinal Perancis.
Pada awal tahun 1306, Paus Klemens V menjelaskan isi dari surat resmi Clericis Laicos yang nampak ditujukan bagi Raja Perancis dan pada dasarnya menghapuskan surat resmi Unam Sanctam, dua surat resmi yang dikeluarkan oleh Paus Bonifasius VIII yang sangat menyinggung pemerintahan Philippe IV yang sangat ambisius. Ia dinilai membawa jabatan Sri Paus sebagai alat dari monarki Perancis, sebuah perubahan radikal dalam kebijaksanaan tagta kepausan.
Pada tanggal 13 Oktober 1307, ratusan Ksatria Templar ditangkap di Perancis, sebuah tindakan yang nyata-nyata bermotivasi masalah uang dan dilaksanakan oleh birokrasi kerajaan dengan sangat cepat untuk meningkatkan wibawa tahta kerajaan. Philippe IV berada di belakang tindakan kejam ini, namun kejadian ini juga merusak reputasi historis Paus Klemens V. Semenjak hari pertama pentahbisan Paus Klemens V, sang raja telah menuduh para Ksatria Templar sebagai pengikut ajaran sesat, tidak bermoral dan tidak berperikemanusiaan. Juga, kesangsian Sri Paus atas kasus Ksatria Templar ini diredam oleh pemikiran yang semakin meluas bahwa negara Perancis yang semakin besar mungkin tidak akan menunggu gereja untuk mengadili Ksatria Templar dan melainkan akan melakukannya sendiri.
Pada bulan Maret 1309 seluruh anggota tahta kepausan pindah dari Poitiers (dimana mereka berada selama empat tahun terakhir) ke Avignon, yang saat itu bukan bagian wilayah Perancis tapi merupakan sebuah perkebunan kerajaan milik Raja Sisilia. Perpindahan tahta kepausan ke Avignon dibenarlan oleh para teolog Perancis pendukung Sri Paus atas dasar keamanan karena Roma (dimana pertikaian antar-bangsawan Romawi dan tentara mereka telah sampai pada situasi yang sangat parah, dan dimana Basilika San Giovanni di Laterano telah hancur terbakar) sedang dalam kondisi tidak stabil dan berbahaya. Namun keputusan ini kemudian menjadi pelopor dari Kepausan Avignon yang lama, yang dijuluki Francesco Petrarca sebagai "Tawanan Babilonia" (1309-1377), dan menandai awal dari hilangnya konsep Gereja Katolik bahwa Sri Paus adalah Uskup Dunia.
Gaya Kepausan Avignon
Pada akhir Abad Pertengahan tahta kepausan memainkan sebuah peran lain yang besar selain peranannya di bidang rohani. Konflik antara Sri Paus dan Kaisar Romawi Suci pada dasarnya berakar pada suatu pertikaian tentang siapa di antara mereka berdua yang menjadi pemimpin Dunia Kristen dalam masalah-masalah sekular. Pada awal abad ke-14, tahta kepausan tidak lagi memiliki kekuasaan yang besar dalam aturan-aturan sekular; suatu kekuasaan yang dimilikinya pada abad ke-12 dan -13. Kesuksesan Perang-perang Salib awal menambahkan kewibawaan Sri Paus sebagai pemimpin sekular Dunia Kristen, dengan monarki-monarki seperti Raja Inggris, Perancis dan bahkan Kaisar sekalipun hanya bertindak sebagai panglima Sri Paus, dan memimpin tentara-tentara "mereka". Perkecualian dari hal ini adalah Frederick II, yang dua kali dikucilkan oleh Sri Paus dalam satu perang salib. Frederick II mengabaikan pengucilan ini dan bahkan berperang cukup sukses di Tanah Suci.
Mulai dengan Paus Klemens V, yang diangkat pada tahun 1305, semua paus pada masa tahta kepausan berada di Avignon adalah orang Perancis. Fakta ini cenderung melebih-lebihkan pengaruh Perancis daripada apa yang terjadi sesungguhnya. Perancis bagian selatan pada waktu itu memiliki budaya yang cukup berbeda dengan Perancis bagian utara, daerah asal kebanyakan penasihat Raja Perancis waktu itu. Arles saat itu masih merdeka, sebuah kota yang resminya merupakan bagian dari Kekaisaran Romawi Suci. Karya-karya sastra yang dihasilkan oleh masa "troubadour" di daerah Languedoc bersifat unik dan sangat berbeda dengan budaya kalangan bangsawan di utara. Bahkan dalam segi agama, daerah selatan menghasilkan alirannya sendiri, yaitu gerakan Kathar, yang pada akhirnya dinyatakan sesat, karena bertabrakan dengan doktrin-doktrin Gereja. Gerakan ini sedikit banyak berasal dari kehendak daerah selatan yang ingin merdeka, walaupun kekuatan mereka telah sangat diperlemah akibat serangan kaum Albigensia seratus tahun sebelumnya. Pada saat tahta kepausan di Avignon, kekuasaan Raja Perancis di wilayah tersebut tidak terbantahkan, walau secara hukum masih belum mengikat.
Sumber yang lebih kuat mengenai mengapa semua paus di Avignon adalah orang Perancis adalah pindahnya Kuria Romawi dari Roma ke Avignon pada tahun 1305. Akibat Konklaf sebelumnya yang menemui jalan buntu dan untuk menghindari perseteruan antara keluarga-keluarga Italia yang berpengaruh yang melahirkan paus-paus sebelumnya, seperti Keluarga Colonna dan Keluarga Orsini, pihak Gereja mencari sebuah tempat yang lebih aman dan menemukannya di Avignon, sebuah area pekebunan milik Sri Paus di daerah Comtat Venaissin. Secara resmi tempat ini adalah bagian dari Arles, tapi kenyataannya tempat tersebut berada di bawah pengaruh yang kuat dari Raja Perancis.
Selama berada di Avignon, tahta kepausan mengadopsi banyak gaya resmi kerajaan: gaya hidup para kardinalnya yang lebih mirip dengan gaya hidup para pangeran daripada gaya hidup para rohaniwan; semakin hari semakin banyak kardinal orang Perancis (kerap kali adalah sanak keluarga dari Sri Paus yang sedang berkuasa) yang mengambil jabatan-jabatan penting; dan kedekatan mereka dengan para prajurit Perancis. Semua hal ini adalah suatu peringatan tetap akan dimana letak kekuasaan sekuler berada, selain adanya kenangan dengan apa yang terjadi pada Paus Bonifasius VIII masih segar teringat.
Salah satu hal yang paling merusak perkembangan Gereja tumbuh langsung dari reorganisasi dan sentralisasi yang berhasil dari administrasi Paus Klemens V dan Paus Yohanes XXII. Tahta kepausan saat itu secara langsung mengendalikan pemberian tanah untuk seumur hidup (benefice), mencampakkan tradisi proses-proses pemilihan yang ada, untuk mendapatkan pemasukan uang yang sangat besar daripadanya. Banyak bentuk-bentuk pemasukan uang lainnya memberikan kekayaan kepada Tahta Suci dan para kardinalnya, diantaranya: donasi persepuluhan untuk Gereja, pajak sepuluh persen untuk harta milik Gereja, pemberian seluruh keuntungan tahun pertama dari benefice (annatae), pendapatan tahun pertama setelah menduduki jabatan tertentu seperti uskup, pajak-pajak khusus bagi misi-misi perang atas nama Gereja yang batal terjadi, dan semua bentuk dispensasi, mulai dari masuknya permohonan benefice tanpa memenuhi kualifikasi dasar (seperti dapat membaca) hingga dispensasi bagi permintaan orang Yahudi yang telah menjadi Kristen untuk mengunjungi orang-tuanya yang masih belum menjadi Kristen.
Para paus seperti Paus Yohanes XXII, Paus Benediktus XII dan Paus Klemens VI diceritakan menggunakan kekayaan ini untuk membeli pakaian-pakaian mahal dan mengadakan pesta-pesta makan bersama dengan menggunakan piring perak dan emas. Secara umum kehidupan mereka yang seharusnya memimpin para umat Gereja tampak lebih seperti kehidupan para pangeran daripada seperti kehidupan para rohaniwan. Gaya hidup yang penuh kemewahan dan korupsi dari pemimpin Gereja ini menular ke para bawahannya: ketika seorang uskup harus membayarkan pendapatannya selama satu tahun untuk memperoleh benefice, ia mencari jalan yang mirip untuk memperoleh uang dari jabatannya. Usaha ini sampai-sampai berujung pada penjualan absolusi, atau pengampunan dosa dalam Sakramen Tobat, untuk semua jenis dosa kepada kaum papa.
Para pemberi Sakramen Tobat ini akhirnya dibenci namun tetap dibutuhkan untuk menebus jiwa seseorang. Para biarawan yang gagal untuk mentaati jalan Kristus, yaitu gagal untuk hidup sesuai dengan kaul kesucian dan kemiskinannya, dipandang rendah oleh masyarakat. Sentimen masyarakat ini memperkuat gerakan untuk menegakkan kembali kewajiban menjadi miskin total, pelepasan kepemilikan terhadap semua barang pribadi maupun barang gereja, dan penyebaran Injil seperti yang dilakukan oleh Yesus dan para rasul-Nya. Bagi gereja, sebuah institusi yang telah terikat dengan struktur sekuler waktu itu dan memiliki perhatian besar pada harta kekayaan, hal ini merupakan suatu perkembangan yang berbahaya, sehingga di awal abad ke-14 semua gerakan ini dinyatakan sesat. Gerakan-gerakan yang dimaksud antara lain gerakan Fraticelli di Italia, gerakan Waldensia di Jerman dan gerakan Hussite di Bohemia (yang terinspirasi oleh gerakan Wycliff di Inggris). Terlebih lagi, penampilan harta kekayaan oleh para pemimpin gereja, yang sungguh sangat berlawanan dengan harapan umum bahwa mereka harusnya miskiin harta dan sangat terikat pada prinsip-prinsip rohaniawan, digunakan oleh musuh-musuh Tahta Kepausan dalam membangun kekuatan melawan Sri Paus: Raja Perancis Philippe menggunakan strategi ini, demikian juga Ludwig IV dari Bavaria. Dalam perseteruannya dengan Ludwig, Paus Yohanes XXII mengucilkan (ekskomunikasi) dua orang tokoh filsuf, Marsilius dari Padua dan William Ockham, yang merupakan kritikus tahta kepausan yang sangat lantang dan yang dilindungi oleh Ludwig dari Bavaria di Munich. Sebagai balasannya, William Ockham menuduh Sri Paus dengan tujuh puluh kesalahan dan tujuh ajaran sesat.
Tindakan-tindakan melawan Ksatria Templar dalam Konsili Wina merupakan contoh dari bagian masa ini, menunjukkan kekuatan-kekuatan ini dan hubungan antara mereka. Pada tahun 1314 Asosiasi para Kardinal di Wina diperintahkan untuk memutuskan kasus Ksatria Templar. Dewan ini, yang semuanya tidak yakin akan kesalahan organisasi (ordo/tarekat Templar) tersebut sebagai kesalahan satu organisasi penuh itu, sepertinya tidak akan mengutuk seluruh organisasi tersebut berdasarkan bukti-bukti yang tidak cukup. Menggunakan tekanan yang besar, agar memperoleh sebagian dari kekayaan ordo Templar, sang raja berhasil mendapatkan keputusan yang ia inginkan. Paus Klemens V memerintahkan dengan resmi penindasan terhadap organisasi tersebut. Di dalam Katedral St. Maurice di Wina, Raja Perancis dan putranya Raja Navarre, duduk di damping Sri Paus saat ia mengeluarkan surat keputusan itu. Di bawah ancaman ekskomunikasi, tidak ada orang yang boleh membuka suara dalam peristiwa itu, kecuali apabila ditanya oleh Sri Paus. Para Ksatria Templar yang datang di Wina untuk memberikan pembelaan terhadap organisasi mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan pembelaan tersebut. Awalnya Asosiasi Kardinal memutuskan bahwa para Ksatria Templar diperbolehkan untuk memberikan pembelaan. Namun setelah kedatangan Raja Perancis di Wina dan adanya tekanan kepada Asosiasi Kardinal tersebut, keputusan itu dibatalkan.
Tahta Kepausan di Abad ke-14
Konflik antara Para Paus dan Raja Perancis
Pada awal abad ke-14, masa dimana terjadi bencana-bencana besar seperti wabah penyakit yang disebut Kematian Hitam (Black Death) dan Perang Seratus Tahun antara dua kekuatan utama di Eropa, tahta kepausan terlihat berada di puncak kekuasaannya. Paus Bonifasius VIII (1294-1303, terlahir Benedict Caetani), seorang politisi yang berpengalaman yang terkadang digambarkan sebagai seseorang yang kasar dan sombong, adalah seorang pendukung kuat konsep kekuasaan menyeluruh tahta kepausan atas semua Dunia Kristen, seperti yang tercantum di dalam Dictatus Papae yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius VII.
Masalah konkrit yang menimbulkan konflik dengan Raja Perancis adalah masalah apakah pemerintahan sekuler diperkenankan untuk menarik pajak dari para rohaniwan. Dalam surat resminya Clericis Laicos tahun 1296, Paus Bonifasius VIII melarang pajak apapun terhadap harta milik gereja kecuali oleh tahta kepausan atau pembayaran pajak tersebut ke gereja. Namun hanya satu tahun kemudian ia memberikan hak kepada Raja Perancis untuk menarik pajak dari para rohaniwan apabila dalam situasi genting.
Sukses besar Tahun Yubileum 1399 (dilaporkan ada sekitar dua juta peziarah mengunjungi Roma tahun itu) memperkuat kewibawaan tahta kepausan, membawa pendapatan uang bagi Roma dan menyebabkan Sri Paus untuk merasa kekuatannya jauh lebih besar dari yang sesungguhnya ada. Setelah penangkapan Uskup Pamiers oleh Raja Perancis Philippe IV, Sri Paus mengeluarkan surat resmi Salvator Mundi yang menarik kembali semua hak istimewa yang diberikan kepada Raja Perancis oleh paus-paus sebelumnya, dan mengeluarkan surat resmi Ausculta Fili beberapa minggu kemudian dengan tuduhan-tuduhan kepada sang raja, memerintahkannya untuk menghadiri sebuah pengadilan di Roma.
Dalam sebuah pernyataan tegas mengenai kekuasaan Sri Paus, Bonifasius menyatakan bahwa "Tuhan telah meletakkan kita di atas para raja dan kerajaan". Sebagai balasan, Philippe menulis "Kebodohan yang mulia mungkin mengerti bahwa kami bukanlah budak siapapun dalam urusan duniawi", dan mengadakan sebuah pertemuan dengan États Généraux, yaitu kumpulan para penguasa di Perancis, yang mendukung posisinya. Raja Perancis mengeluarkan tuduhan-tuduhan sodomi, korupsi, ilmu hitam dan ajaran sesat terhadap Sri Paus dan memerintahkannya untuk datang di hadapan mereka. Jawaban Sri Paus adalah penegasan paling kuat mengenai kekuasaan Sri Paus hingga hari ini. Dalam Unam Sanctam, terbit tanggal 18 November 1302, Sri Paus menetapkan bahwa "sangat penting bagi penyelamatan jiwa bahwa setiap umat manusia tunduk kepada Uskup Roma".
Saat Sri Paus sedang mempersiapkan surat resmi yang akan mengucilkan Raja Perancis dan Perancis, dan akan memecat semua rohaniwan di Perancis, William Nogaret, kritikus paling tajam terhadap tahta kepausan di lingkaran penguasa Perancis, memimpin sebuah delegasi ke Roma dengan perintah Raja Perancis yang sengaja dibuat tidak mengikat untuk membawa Sri Paus, bila perlu dengan paksa, ke sebuah pengadilan untuk memutuskan semua tuduhan terhadapnya. Nogaret bekerja sama dengan para kardinal dari Keluarga Colonna, yang sejak lama merupakan musuh-musuh Paus Bonifasius VIII, yang pernah diancam akan diserbu oleh Sri Paus pada awal-awal masa kepemimpinannya. Pada tahun 1303 tentara-tentara Perancis dan Italia menyerang Sri Paus di Anagni, kota asalnya, dan berhasil menangkapnya. Ia dibebaskan oleh para penduduk Anagni tiga hari kemudian. Namun, akibat usianya yang sudah lanjut (86 tahun) dan kondisinya yang tercabik-cabik akibat serangan fisik terhadap dirinya, Paus Bonifasius VIII meninggal dunia beberapa minggu setelah kejadian ini.
Masa Kerja Sama dengan Raja Perancis
Wafatnya Paus Bonifasius VIII menyebabkan tahta kepausan kehilangan politisi yang paling handalnya yang mampu bertahan melawan kekuatan sekuler Raja Perancis. Setelah masa damai di bawah kepemimpinan Paus Benediktus XI (1303-1304), Paus Klemens V (1305-1314) terpilih menjadi Sri Paus. Ia dilahirkan di Perancis bagian selatan (Gascony), tapi tidak memiliki hubungan langsung dengan para bangsawan Perancis. Ia berhutang budi pada para rohaniwan Perancis atas terpilihnya dia menjadi Sri Paus. Ia tidak menyetujui pindah kembali ke Roma dan mendirikan istananya di Avignon.
Dalam situasi ketergantungan terhadap tetangga-tetangga yang berkuasa di Perancis, tiga prinsip utama menjadi strategi politis Paus Klemens V: penindasan terhadap gerakan-gerakan sesat (seperti aliran Kathar di Perancis bagian selatan); reorganisasi administrasi internal gereja; dan usaha-usaha pelestarian citra gereja sebagai alat tunggal Tuhan di bumi. Prinsip ketiganya itu langsung ditentang oleh Raja Philippe IV ketika ia mendorong sebuah pengadilan malawan mantan musuhnya, Paus Bonifasius VIII, atas tuduhan ajaran sesat. Memberikan pengaruh yang kuat pada Asosiasi para Kardinal, hal ini bisa menjadi sebuah pukulan yang telak pada kekuasaan gereja. Dan sebagian besar politik dari Paus Klemens V memang dirancang untuk menghindari pukulan politis seperti itu, yang pada akhirnya ia memang berhasil mengelakkannya. Namun, harga yang dibayar untuk hal ini sangat banyak. Salah satunya, meski secara pribadi sangat ragu, pada akhirnya Sri Paus mendorong diambilnya tindakan-tindakan terhadap Ksatria Templar, dan ia secara pribadi memutuskan untuk menindas organisasi tersebut.
Salah satu masalah penting di masa kepemimpinan Paus Yohanes XXII (terlahir Jacques Dueze di Cahors, dan sebelumnya adalah Kardinal Avignon), adalah konfliknya dengan Kaisar Louis IV dari Kekaisaran Romawi Suci. Sang kaisar menolak hak Sri Paus untuk mengangkat seorang kaisar dengan meletakkan mahkota di atas kepalanya. Ia menggunakan taktik yang mirip dengan apa yang dipakai oleh Raja Perancis Philippe sebelumnya dan memerintahkan para bangsawan Jerman untuk mendukung keputusannya. Marsilius dari Padua memberikan pembenaran terhadap supremasi sekuler di atas wilayah Kekaisaran Romawi Suci. Konflik dengan sang kaisar ini, yang seirngkali menyebabkan perang-perang yang mahal, membawa tahta kepausan semakin ke dalam tangan kekuasaan Raja Perancis.
Paus Benediktus XII (1334-1342), terlahir Jacques Fournier di Pamiers, sebelumnya aktif dalam gerakan inkuisisi melawan gerakan Kathar. Tidak seperti gambaran kejam dalam gerakan inkuisisi pada umumnya, ia diceritakan sangat hati-hati dalam berhubungan dengan orang-orang yang diperiksa, mengambil banyak waktu dalam proses pemeriksaan mereka. Keinginannya untuk membuat Perancis bagian selatan yang damai juga menjadi motivasinya untuk menengahi konflik antara Raja Perancis dan Raja Inggris sebelum pecahnya Perang Seratus Tahun.
Masa Tunduk pada Raja Perancis
Di bawah kepemimpinan Paus Klemens VI (1342-1352) kepentingan-kepentingan Perancis mulai mendominasi Tahta Suci. Paus Klemens VI sebelumnya adalah Uskup Agung Rouen dan penasehat Philippe IV, sehingga ia memiliki hubungan yang jauh lebih kuat pada Istana Perancis dibandingkan para pendahulunya. Pada beberapa kesempatan ia bahkan membiayai usaha-usaha perang Perancis dari hartanya sendiri. Ia diceritakan mencintai pakaian-pakaian mahal dan di bawah kepemimpinannya gaya hidup mewah di Avignon mencapai puncak yang lebih tinggi.
Paus Klemens VI adalah juga Sri Paus yang memerintah pada saat terjadi Wabah Hitam atau Kematian Hitam. Epidemi ini menyapu seluruh Eropa antara tahun 1347-1350, dan dipercaya telah membunuh sekitar sepertiga populasi Eropa.
Paus Innosensius VI (1352-1362), terlahir Etienne Aubert, tidak terlalu bersikap memihak seperti Paus Klemens VI. Ia giat berusaha mendamaikan Perancis dan Inggris karena ia sebelumnya berada di dalam delegasi Sri Paus untuk perihal tersebut di tahun 1345 dan 1348. Penampilannya yang sederhana yang kepribadiannya yang penuh perhatian mendapatkan rasa hormat di mata para bangsawan dari kedua belah pihak yang sedang di dalam konflik. Namun, ia juga seseorang yang tidak bisa mengambil keputusan dengan cepat dan mudah terpengaruh karena ia sudah berusia sangat lanjut ketika terpilih sebagai Sri Paus.
Dalam situasi ini, Raja Perancis berhasil mempengaruhi Tahta Suci, walaupun para wakilnya memainkan peran-peran penting dalam berbagai usaha untuk menghentikan konflik. Yang paling terkenal adalah pada tahun 1353 saat Uskup Porto, Guy de Boulogne, mencoba mengadakan sebuah konferensi. Setelah sukses berbicara dengan kedua belah pihak, usaha ini akhirnya gagal akibat ketidak-percayaan pihak Inggris atas hubungan kuat Guy dengan Istana Perancis. Paus Innosensius VI secara pribadi menulis surat kepada Bangsawan Lancaster: "Walaupun kami dilahirkan di Perancis dan walaupun oleh karenanya kami memiliki kecintaan khusus bagi tanah Perancis, namun dalam bekerja demi perdamaian kami telah menyisihkan segala prasangka pribadi kami dan mencoba untuk berjuang demi kepentingan semua orang".
Dengan Paus Urbanus V (1362-1370) kendali Istana Perancis atas Tahta Kepausan semakin besar. Paus Urbanus V sendiri digambarkan sebagau yang paling rendah hati dari para paus Avignon setelah Paus Benediktus XII dan mungkin yang paling religius diantara semuanya. Namun, ia bukanlah seorang ahli strategi dan membuat konsesi-konsesi penting kepada tahta kerajaan Perancis terutama di bidang keuangan, sebuah masalah penting dalam perang melawan Inggris. Pada tahun 1369 Paus Urbanus V mendukung pernikahan Philip II, Bangsawan Burgundy, dan Margaret dari Flanders, daripada memberikan dispensasi pada salah satu putra Raja Edward III dari Inggris untuk menikahi Margaret. Hal ini secara jelas menunjukkan keberpihakan Tahta Kepausan sehingga menyebabkan rasa hormat kepada gereja menjadi turun secara drastis.
Skisma
Keputusan berpengaruh terpenting di masa kepemimpinan Paus Gregorius XI (1370-1378) adalah untuk kembali ke Roma pada tahun 1378. Walau Sri Paus adalah orang Perancis dan masih di bawah pengaruh kuat Raja Perancis, konflik-konflik yang semakin meningkat antara pihak-pihak yang bersahabat dan yang bermusuhan dengan Sri Paus memberikan ancaman nyata terhadap daerah kekuasaan Tahta Kepausan dan kepada kesetiaan Roma kepada Kepausan Avignon. Ketika Tahta Kepausan memberikan embargo terhadap ekspor biji gandum selama masa kekurangan pangan di tahun 1374-1375, Florensia mengumpulkan beberapa kota ke dalam sebuah organisasi melawan Tahta Kepausan: Milan, Bologna, Perugia, Pisa, Lucca dan Genoa. Duta Tahta Kepausan, Robert dari Geneva, seorang kerabat Keluarga Savoy, memilih kebijaksanaan yang keras dalam usaha melawan organisasi tersebut untuk mendirikan kembali kendali atas kota-kota ini. Ia meyakinkan Paus Gregorius XI untuk menyewa tentara bayaran Breton yang berasal dari Brittany, Perancis. Untuk meredam pemberontakan dari para penduduk Cesena ia menyewa John Hawkwood dan memerintahkan pembunuhan masal orang-orang tersebut (antara 2500 hingga 3500 orang dinyatakan tewas).
Setelah kejadian-kejadian ini, sikap menentang Tahta Kepausan semakin menguat. Florensia melakukan konflik terbuka malwan Sri Paus, sebuah konflik yang disebut Perang Delapan Orang Suci sebagai referensi atas delapan negara di Italia yang terlibat di dalamnya. Seluruh Florensia sikucilkan dan sebagai balasannya pengiriman pembayaran pajak administrasi dan rohaniwan dihentikan. Kondisi perdagangan menjadi sangat parah dan kedua belah pihak harus menemukan jalan keluar dari konflik ini.
Dalam keputusannya untuk kembali ke Roma, Paus Gregorius XI juga dipengaruhi oleh Katarina dari Siena (belakangan juga dikanonisasi sebagai orang suci), yang menyerukan agar Tahta Kepausan kembali ke Roma.
Skisma itu sendiri akhirnya berakhir lewat beberapa konsili hingga tahun 1417. Berdirinya dewan-dewan gereja dengan kekuasaan untuk mengambil keputusan atas kedudukan Sri Paus adalah salah satu hasil utama dari skisma ini. Namun, hal ini tidak bertahan lama setelah tahun 1417.
Kritik
Criticism
The period has been called the "Babylonian captivity" of the popes, particularly by Martin Luther King but also by many Catholic writers. This nickname is polemical, in that it refers to the claim by critics that the prosperity of the church at this time was accompanied by a profound compromise of the Papacy's spiritual integrity, especially in the alleged subordination of the powers of the Church to the ambitions of the French kings. Coincidentally, the "captivity" of the popes at Avignon lasted around the same duration as the exile of the Jews in Babylon, making the analogy all the more convenient and rhetorically potent. For this reason, the Avignon papacy has been and is often today depicted as being totally dependent on the French kings, and sometimes as even being treacherous to its spiritual role and its heritage in Rome.
Ringkasan
Hubungan antara Kepausan dan Prancis berubah secara drastis pada abad ke-14. Dimulai dengan konflik terbuka antara Paus Bonifacius VIII dan Raja Philippe IV dari Prancis, hubungan ini berubah menjadi kerja sama dari 1305 hingga 1342, dan akhirnya kepausan berada di bawah pengaruh kuat takhta Prancis hingga 1378. Sifat partisan dari kepausan ini merupakan salah satu alasan dari jatuhnya kehormatan lembaga tersebut, yang pada gilirannya merupakan salah satu alasan untuk skisma dari 1378-1417. Pada masa Skisma ini, perebutan kekuasaan dalam kepausan menjadi daerah pertempuran dari kekuatan-kekuatan utama, dengan prancis yang mendukung Paus di Avignon dan Inggris mendukung Paus di Roma. Pada akhir abad itu, masih dalam keadaan skisma, kepausan telah kehilangan sebagian besar dari kekuasaan politiknya, dan negara-negara kebangsaan Prancis dan Inggris muncul sebagai kekuatan utama di Eropa.
Overall, it seems an exaggeration to characterise the Papacy as a puppet of the French throne. Even during its Avignon period, 1305 - 1378, the Papacy always pursued its own goals of uniting Christian lords (for example by mediating between France and England) and to uphold the position of the Church (for example by preventing charges of heresy against Boniface VIII made by King Philippe). Only in later times, when a strong French King faced a weak pope, the Papacy made significant concessions to the French king, as under the most French-friendly Pope Urban V who was pressured by the King of France. The basis for exerting such pressure can be found in the changed balance of power in the 14th century. The claim of the Papacy for universal sovereignty, reiterated since Gregory VII's "Dictatus Papae" and championed by Boniface VIII at the beginning of the century, was impossible to uphold in the face of Scholastic movements and the influential works of Marsilius of Padua and William of Occam. The administrative reorganisation beginning with Clement V was successful in bringing funds to the Holy See. However, the focus on administrative and juristic issues characterised the entire Avignon Papacy and consequently it lost much respect among lower nobility and common people, who were more sympathetic to religious orders vowed to poverty rather than to a church hierarchy where cardinals often lived lives of Princes. -->
Pranala luar
Rujukan
- Propylaen Weltgeschichte, Band 5 "Islam, Die Entstehung Europas",
- Chapter "Das Hochmittelalter", Francois Louis Ganshof, hlm. 395ff dalam [1].
- Chapter "Religioese und Geistige Bewegungen im Hochmittelalter" Arno Brost, hlm. 489 dyb. dalam [1].
- Chapter "Europa im 14. Jahrhundert", A.R. Myers, 563ff, dalam [1].
- George Holmes (ed) "The Oxford History of Medieval Europe", Oxford University Press, 1988.
- Chapter "The Civilization of Courts and Cities in the North, 1200-1500", Malcom Vale, dalam [5].
- Piers Paul Read, "The Templars", Phoenix Press..
- Chapter 17, "The Temple Destroyed", dalam [7].
- Jonathan Sumption, "Trial by Fire", Faber and Faber, 1999.
- Barbara Tuchman "A Distant Mirror", Papermac, 1978.
- Chapter 16 "The Papal Schism" dalam [10].
- "Weltgeschichte", Sechster Band, Mitteleuropa und Nordeuropa, Bibliographisches Institut, Leipzig und Wien, 1906
- Hans F. Helmolt VI. "Die westliche Entfaltung des Christentums" dalam [12].
- Ladurie, E. le Roi. "Montaillou, Catholics and Cathars in a French Village, 1294-1324", terj. B. Bray, 1978. Juga diterbitkan dengan judul "Montaillou: The Promised Land of Error".
- Yves Renouard "Avignon Papacy"
Lihat pula
Anggur Châteauneuf-du-Pape, yang berarti "istana baru paus", dinamai seturut tempat kediaman resmi Paus di Avignon.