Jaksa Pepitu

Revisi sejak 10 Juni 2019 10.28 oleh LaninBot (bicara | kontrib) (Perubahan kosmetik tanda baca)

Jaksa Pepitu merupakan institusi peradilan di kesultanan-kesultanan Cirebon yang mengurusi masalah perdata dan pidana, secara harafiah makna Jaksa Pepitu bisa diambil dari dua kata pembentuknya yaitu Jaksa yang dalam bahasa Cirebon diserap dari kata dhyaksa (bahasa Sansekerta) dan Pepitu yang berasal dari kata pitu yang artinya tujuh.

Filosofi

Dalam Pepakem Cirebon, Jaksa melambangkan Candra Tirta Sari Cakra yang dapat diterjemahkan secara harafiah dari kosakata pembentuknya yaitu, Candra yang berarti bulan purnama yang menerangi kegelapan, Tirta yang berarti air yang menghanyutkan segala yang kotor, Sari yang berarti bunga yang menebarkan wangi harum dan Cakra yang berarti dia yang melihat secara seksama apa yang benar dan tidak benar.[1]

Dari kedalaman filosofinya maka kedudukan jaksa pepitu hanya diberikan oleh para penguasa Cirebon kepada para pejabat yang berpengalaman dan bermoral tinggi.

Dalam menjalankan tugasnya mengadili perkara, para jaksa pepitu tidak menggunakan gedung (bahasa Cirebon: gedong), bale (balai) atau mande (balai para ahli) di keraton melainkan menggunakan alun-alun besar di utara (kejaksan), mereka duduk dibawah pohon beringin sebagai simbol dari pengayoman[1] yang merupakan implementasi dari kalimat Candra Tirta Sari Cakra.

Sejarah

Setelah pembagian kesultanan Cirebon pada tahun 1667 dan pembentukan kesultanan Kacirebonan pada tahun 1705 di Cirebon terdapat empat penguasa yaitu Sultan Sepuh I Syamsuddin Martawijaya, Sultan Anom I Badruddin Kartawijaya, Panembahan Agung Nasiruddin Wangsakerta dan Sultan Kacirebonan I Kaharuddin Aria atau yang dikenal dengan nama Pangeran Aria Cirebon, namun hanya ada satu badan peradilan, yaitu Pengadilan Kerta, dalam pengadilan ini penanganan dan penyelesaian perkara dilaksanakan oleh tujuh orang jaksa atau dikenal dengan nama Jaksa Pepitu secara kolektif baik untuk perkara perdata maupun pidana, ketujuh orang Jaksa tadi dua orang masing-masing mewakili kesultanan Kasepuhan, kesultanan Kanoman dan Panembahan Agung serta satu orang jaksa mewakili kesultanan Kacirebonan, selain bertindak sebagai hakim, jaksa pepitu juga melaksanakan pekerjaan kepaniteraan dan penuntutan, bahkan ada kalanya bertindak sebagai pembela.[1]

Dalam kasus seseorang dari kesultanan Kasepuhan melakukan tindak pidana dalam wilayah hukum kesultanan Kanoman maka terhadap orang tersebut dilakukan penuntutan oleh seorang jaksa yang mewakili kesultanan Kanoman sedangkan dua orang jaksa lainnya berasal dari kesultanan Kasepuhan bertindak sebagai pembela dan empat orang jaksa lainnya yang masing-masing berasal dari kesultanan Kacirebonan dan Panembahan Agung bertindak sebagai hakim, namun putusan terhadap para terdakwa tadi dijatuhkan atas hasil musyawarah para jaksa pepitu. Ada kalanya pula sultan langsung mengadili sendiri warganya dalam perkara-perkara yang sangat berat.[2]

Jaksa Pepitu dalam Gotra Sawala

Pada saat kesultanan-kesultanan Cirebon menggelar sebuah simposium agung (bahasa Cirebon: Gotra Sawala) yang dihadiri oleh para ahli sejarah, cendekiawan serta para penguasa di nusantara pada tahun 1677[3]-1698, para jaksa pepitu bersama dengan para ahli lain dibidangnya membantu Pangeran Raja (PR) Nasiruddin Wangsakerta yang pada masa itu bertindak sebagai ketua Gotra Sawala untuk mengumpulkan bahan dan menafsirkan data.[4]

Para jaksa pepitu yang membantu Pangeran Raja (PR) Nasiruddin Wamgsakerta adalah[5] [6]:

  • Ki Raksanagara, sebagai penulis naskah dan pengatur pertemuan, beliau melayani sekalian peserta, juga memeriksa dan meneliti naskah-naskah yang telah dikumpulkan.
  • Ki Anggadiraksa, sebagai wakil Ki Raksa Nagara sebagai penulis merangkap sebagai bendahara. Beliaulah yang mempersatukan hasil pemeriksaan atau penelitian, kalau tidak mengandung kesalahan, lantas diserahkan kepada Pangeran Wangsakerta selaku penanggung jawab.
  • Ki Purbanagara, bertugas sebagai pengumpul dan penyeleksi bahan naskah, beliau mencari dan mengambil bermacam-macam tulisan dari berbagai negara, yang akan dipilih. Ki Purbanagara mendapat tugas demikian, karena memiliki pengetahuan tentang riwayat masa lampau, terutama tentang timbul tenggelamnya suatu kerajaan di Nusantara.
  • Ki Singhanagara, bertugas sebagai penanggung jawab keamanan, beliau melindungi semua peserta dan utusan yang datang dari berbagai negara. Peserta masing-masing membawa pasukan sebanyak 70 orang.
  • Ki Anggadiprana, bertugas sebagai duta keliling ke seluruh kerajaan, negara, wilayah, dan desa. Merangkap sebagai juru bahasa di antara para peserta, juru bicara dalam perundingan.
  • Ki Anggaraksa, sebagai penanggung jawab konsumsi, tugas pokoknya adalah menjadi pemimpin dapur, yang menyediakan berbagai makanan dan minuman bagi seluruh peserta.
  • Ki Nayapati, sebagai penanggung jawab akomodasi dan transportasi, tugas pokoknya menyediakan penginapan dan kendaraan, di samping sebagai pemimpin pengawal.

Referensi

  1. ^ a b c G.A.J. Hazeau. 1905. Tjirebonsch Wetboek (Papakem Tjerbon) van her jaar 1768 verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap. Leiden: A.W Sijthoff's Uitgeversmij M.V
  2. ^ Effendy, Marwan. 2005. Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dalam persfektif hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
  3. ^ Staf Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kepolisian. 1987. Majalah Bhayangkara: pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian. Jakarta: Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kepolisian, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
  4. ^ Ekadjati, Edi S, A. Sobana Hardjasaputra, Ade Kosmaya Anggawisastra, Aam Masduki. 1994. Empat Sastrawan Sunda Lama. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan
  5. ^ Atja. Edi. S. Ekadjati. 1987. Pustaka Rajya-Rajya I Bumi Nusantara I.I: Suntingan Naskah dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi)
  6. ^ Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia