Darul Funun (diucapkan "Dar-el-Funoon", Bahasa Persia/Arab: دارالفنون‎ yang berarti "Variasi, Seni" dalam bahasa arab dan istilah "Politeknik" dalam bahasa persia); Darul Funun adalah salah satu bagian dari sejarah pendidikan Islam dalam masa pergerakan Indonesia dan merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Perguruan ini berhubungan dengan masjid Surau Gadang Padang Japang, Sumatera Thawalib, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Pergerakan Kaum Muda (The Kaum Muda Movement), Reformasi Pendidikan Agama, Imam Bonjol, Pergerakan Pra-Kemerdekaan dan Pergerakan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia.

Darul Funun


 
Informasi
Didirikan1854
Lokasi
Sumatera Barat

Pada mulanya perguruan ini adalah surau tempat belajar mengaji bagi pemuda setelah usia baligh yang didirikan oleh Syekh Abdullah Dt Jabok di Padang Japang, VII Koto Talago, Guguak, Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat pada tahun 1854. Lokasi surau ini pun sangat strategis dalam perjuangan pertahanan sipil ayahnya Tuanku Syekh Qadi dan Tuanku Nan Biru, garis pertahanan luar pasukan Bonjol di daerah Mudiak Kabupaten Limapuluhkota. Dikarenakan itu surau ini juga menjadi basis penempaan pemuda dalam persiapan perjuangan.

Yayasan Darul Funun El-Abbasiyah - 1987
Dari kiri: Syekh Abbas Abdullah, Soekarno, Syekh Mustafa Abdullah

Dalam perjalanannya Darul Funun memiliki beberapa periode pengembangan, dan juga tantangan zaman pada pra kemerdekaan, proses kemerdekaan dan paska kemerdekaan Republik Indonesia. Darul Funun sejak tahun 1954 dinaungi oleh Yayasan Wakaf Darul Funun. Saat ini, misi Darul Funun antara lain adalah wadah pendidikan yang inklusif, dakwah agama Islam dan pembangunan masyarakat.[1]

Riwayat

Tercatat beberapa nama dalam transisi pengembangan Darul Funun:

  1. Surau Gadang
  2. Sumatera Thawalib
  3. Perguruan Darul Funun
  4. Surau Darul Funun
  5. Darul Funun

Periode 1854-1903

Pertahanan Bonjol Ampang Gadang

Surau Pembinaan Pemuda

Tuanku Nan Banyak Beliau Qadi Datuk Perpatih nan Sabatang

Syaikh Ibrahim Datuk Tan Malaka Pandam Gadang

Surau Gadang Datuk Jabok

Masjid Raya Padang Japang

Meninggalnya Syekh Abdullah

Meninggalnya Syekh Abdullah Datuk Jabok pada tahun 1903, merupakan kehilangan besar karena Surau tempat menempa pemuda kehilangan tokohnya. Dari kesemua anak-anak Syekh Abdullah, Syekh Muhammad Shalih adalah yang tertua beliau dikenal sebagai Syekh Madina dan tersohor di Pariaman, dan juga Syekh Mustafa mengajar di Suraunya sendiri di daerah Payakumbuh, sedangkan Syekh Abbas Abdullah masih berada di perantauan.

Syekh Madina, Beliau Gadang, Beliau Ketek

Syekh Madina bernama Muhammad Shalih bin Abdullah, adalah anak laki-laki tertua dari Syekh Abdullah dari istri beliau di Padang Japang. Beliau Gadang bernama Mustafa bin Abdullah anak kedua dari Syekh Abdullah dan Beliau Ketek bernama Abbas bin Abdullah.

Sambil mengajar di suraunya masing-masing Syekh Muhammad Shalih dan Syekh Mustafa juga bergiliran menopang pembelajaran di Surau Gadang Syekh Abdullah, dan menunggu kembalinya Syekh Abbas Abdullah. Guru besar adalah Syekh Muhammad Shalih dan Syekh Mustafa. Sekembalinya Syekh Abbas Abdullah, beliau mulai terlibat dalam pengembangan kurikullum, pemurnian akidah dan pengembangan tren keilmuan islam.

Metode pembelajaran di Surau Gadang bukannya hanya metode halaqah, tetapi juga tarikat, suluk. Sekembalinya Syekh Abbas Abdullah metode ini mulai tersisih karena metode kelas diperkenalkan, pembelajaran tarikat yang berdasarkan senioritas dan kemahiran khusus (misal fiqih, falak, dsb) disempurnakan menjadi pembelajaran berdasarkan tahapan pembelajaran yang bisa dijangka kan waktu selesainya, dan kurikullum pembelajaran diperluas tidak hanya tertumpu kepada satu kekhususan, pembelajaran bahasa asing diperkenalkan, keilmuan dan kitab-kitab umum juga diperkenalkan.

Transformasi metode ini juga mendapatkan kendala, hingga keberangkatan Beliau Gadang dan Beliau Ketek ke Tanah Suci dan belajar kembali kepada Syekh Ahmad Khatib tentang Ushulluddin dan keterbukaannya terhadap modernitas, setelah kembalinya dua Beliau ini, Surau Gadang Syekh Abdullah semakin yakin dalam upaya pengembangannya.

Periode 1903-1930

Meninggalnya Syekh Madinah

Syekh Madinah sebagai tokoh ulama kharismatik, tarikat dan juga tersohor di pariaman. Meninggalnya beliau menjadikan Surau Gadang kehilangan tokohnya, dan juga memberikan tekanan yang kuat terhadap pengembangan Surau Gadang yang sedang bertransformasi karena kehilangan tokoh tarikat ulama tua yang menjadi penengah jika terjadi perselisihan dengan ulama tua.

Dengan meninggalnya Syekh Madinah, amanah Surau Gadang dialihkan kepada Beliau Gadang dan Beliau Ketek, upaya transformasi pendidikan modern terus dilakukan, dan juga semakin kuatnya pengaruh para haji kaum muda, menjadikan upaya pengembangan masih terus dapat digiatkan.

Para Haji Kaum Muda

Sumatera Thawalib adalah salah satu organisasi massa (ormas) awal di Indonesia, yang berbasis di Sumatera Barat. Sumatera Thawalib mewakili sekolah islam modern di Indonesia[2][3], reformasi pemikiran dan pendidikan Islam yang menitikberatkan kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits, juga pendekatan pendidikan keilmuan modern, dan pemurnian akidah.

Pemurnian akidah ini diinspirasi oleh para Haji yang baru kembali dari Mekkah, jika sebelumnya upaya pengajaran ini bersifat masing-masing, pada masa ini upaya dakwah ini dilakukan secara terorganisir dan berjamaah, hal ini diinspirasikan oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi kapada para murid-murid beliau Syekh Abbas Abdullah, Syekh Mustafa Abdullah, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Djamil Jambek, dsb.[4] Pendekatan pendidikan modern tersinspirasi oleh Islamic Modernism yang di promosikan oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani.[5]

Majlis Islam Tinggi (MIT)

Para haji yang belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib ini dikemudian hari dikenal dengan istilah Kaum Muda oleh Taufik Abdullah dalam tesis bukunya The Kaum Muda Movement in West Sumatera[6]. Yang menariknya diantara para haji ini mereka melakukan pertemuan dan diskusi keagamaan antar satu sama lainnya untuk membahas pengembangan dan permasalahan-permasalahan keagamaan yang terjadi di masyarakat, hasil-hasil pertemuan dan ijtima' mereka inilah yang kemudian kita saksikan sebagai pembaharuan dalam pendekatan keagamaan dan pendidikan di Sumatera Barat dan Indonesia. Pada kemudian hari pertemuan dan diskusi muzakaarah ulama muda ini dikukuhkan dengan nama MIT (Majlis Islam Tinggi), yang dikemudian hari pernah berperan mengeluarkan fatwa Jihad sewaktu ditubuhkannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittingi oleh Syafruddin Prawiranegara atas mandat Mentri Pertahanan/Perdana Menteri M Hatta yang ditawan di Yogyakarta bersama Presiden Soekarno. Dalam fatwa jihad ini dikeluarkan ijtima ulama mengenai perlawanan sipil, dan komando pasukan di lapangan di amanahkan kepada Imam Jihad Sumatera Tengah Syekh Abbas Abdullah.

Majlis Islam Tinggi ini menjadi inspirasi bagi Haji Abdul Malik Karim Amrullah untuk menubuhkan Majlis Ulama Indonesia, bagaimana beliau melihat proses muzakarah, diskusi keagamaan dan menjadi poros untuk pengembangan umat.

Sumatera Thawalib

Istilah Sumatera Thawalib secara bahasa berarti "Pelajar Sumatera", dan ditubuhkan pada tanggal 15 Januari 1919 hasil dari pertemuan para haji (kaum muda) di Padang Panjang. Tujuan dari organisasi ini adalah memberikan pemahaman yang mendalam tentang keilmuan islam kepada sesama perguruan islam. Organisasi ini memberikan kontribusi yang kuat terhadap perkembangan Islam di Sumatera Barat dan Indonesia pada awal abad ke-20.[7]

In 1913, Zainuddin Labai Al-Yunusi returned to Padang Panjang after studying with Syekh Abbas Abdullah in Padang Japang, Payakumbuh.Syekh Abbas Abdullah dikenal sebagai ulama modern yang berwawasan luas, di Suraunya siswa di ajarkan ilmu geografi, falak, bahasa belanda, sejarah dunia, matematika dan ilmu umum lainnya, yang materi-materi pengajarannya didapatkan dari buku-buku yang diimpor nya dari Mesir selain kitab-kitab wajib ilmu agama. Selain metode kelas dan materi pengajaran, Syekh Abbas Abdullah juga memberi kesempatan belajar kepada anak-anak perempuan, yang menjadi murid-murid perempuannya adalah anak kemenakannya dan anak perempuan di area Surau Gadang Padang Japang.[8]

Zainuddin menjadi guru di Surau Jembatan Besi, dan kemudian pada tahun 1915 membuka sekolahnya sendiri yang bernama Diniyyah School, yang juga menggunakan sistem kelas dan mengajarkan pengetahuan umum yang terinspirasi oleh metode pendidikan yang dikembangkan gurunya Syekh Abbas Abdullah. Selain itu, Zainuddin Labay bersama adiknya Rahmah El-Yunusiah menginisiasi kelas belajar untuk siswa perempuan yang diberikan nama Diniyyah Putri. Pada saat itu hanya dua perguruan ini yang memberikan ruang pendidikan kepada anak perempuan, yakni Nahdatun Nisaiyah (alumni sekolah perempuan Darul Funun) dan Diniyyah Putri di Padang Panjang, dan juga mendirikan kepanduan/pramuka pada zaman itu yang diberi nama Hilal Darulfunun.

Sebagaimana Surau Jembatan Besi mengalami beberapa refromasi organiasi pelajar, adalah tahun 1918 ketika pada haji (kaum muda) bersepakat (ijtimak ulama) mengukuhkan nama Surau Sumatera Thawalib, hal ini diikuti oleh para haji (kaum muda) untuk merubah nama menjadi Sumatera Thawalib. Beberapa standarisasi yang dilakukan masing-masing perguruan didiskusikan untuk diadopsi menjadi bentuk tajid modernitas pendidikan Islam, diantaranya adalah merubah halaqah menjadi kelas, rekontruksi kurikulum dan metode pengajaran, dan penggunakan buku text dan pengenalan ilmu umum. [9]

Perubahan ini menjadikan nama-nama surau perguruan para haji (kaum muda) merubah namanya menjadi Sumatera Thawalib, Surau Gadang Padang Japang yang dipelopori oleh Syekh Abbas dan Mustafa Abdullah menjadi Sumatera Thawalib Padang Japang, Surau Parabek yang dipelopori oleh Syekh Ibrahim Musa menjadi Sumatera Thawalib Parabek, dan ini diikuti oleh banyak surau lainnya yang notabene adalah murid-murid dari ulama kaum muda ataupun ulama-ulama yang bergabung dalam kemudian hari.[10]

Majlis Islam Tinggi (MIT)

Studi Banding ke Pusat Peradaban Dunia

Untuk mengukuhkan komitmen dan konsep sistem pendidikan yang ingin dikembangkan, Syekh Abbas Abdullah kembali merantau ke Tanah Suci, setelah melakukan ibadah haji, bertemu kawan dan guru, beliau juga menyempatkan duduk menjadi Mustami' (pendengar/visiting student/fellow) di Universitas Al-Azhar di Mesir, dari semua guru-gurunya ada satu gurunya yang disebut ketika beliau mengajar, adalah Syaikh Badwiy/Badawi, seorang ulama yang buta tetapi sangat mahir dalam memberikan pendapat.

Di Mesir beliau duduk cukup lama hingga beliau sempat bertemu dan berkawan dengan para tokoh muda reformasi pendidikan di sana, seperti Hasan Al-Banna. Mereka sempat bertemu kembali di Swiss dan juga bertemu seorang mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Al-Azhar, yakni Prof Mahmoed Joenoes. Selain di Mesir beliau juga menyempatkan studi banding ke beberapa negara muslim timur tengah, seperti Lebanon, Syiria, Palestina, Turki, Iran. Di Turki sebagai pusat peradaban Islam yang maju, beliau melihat bagaimana Institusi Pendidikan sudah dikembangkan begitu jauh, yang juga menjadi kiblat dan pembelajaran bagi dunia barat. Salah satu yang terkenang oleh Syekh Abbas Abdullah, sehingga mengilhami beliau dikemudian hari menamakan perguruannya dengan nama Darul Funun, adalah Istanbul University,yang pada tahun 1846 masih bernama Darul Funun dan pada tahun 1933 menjadi Universitas Istanbul, yang merupakan transformasi Madrasah yang dibangun pada tahun 1453 oleh Sultan Mehmet II Al-Fatih setelah menaklukan Konstatinopel.[11][12][13]

Institusi Pendidikan di Pusat Peradaban Islam inilah yang kemudian mengilhami beliau tentang bagaimana agama dan sains harus dikembangkan dalam pengajaran, sistem kelas dan teknologi harus diperkenalkan, dan tahapan-tahapan pengembangan untuk menjadi target pengembangan kedepannya. Bagi ulama kaum muda, wawasan Syekh Abbas Abdullah ini sangat berharga dan menjadi pijakan pengembangan Darul Funun, Sumatera Thawalib, Majlis Islam Tinggi Islam dan masyarakat secara umum kedepannya

Periode 1930-1957

Majlis Islam Tinggi

Kepanduan Al-Hilal

Majalah Al-Imam

Menopang Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)

1948-1949 [14][15]

Sila Ketuhanan & Peci Soekarno

Sila ketuhanan[16]

Peci Soekarno [17][18] [19]

Meninggalnya Syekh Mustafa Abdullah

Meninggalnya Syekh Abbas Abdullah

Periode 1957-1987

Wakaf Darul Funun

Resesi di Republik Indonesia

Bertahan di Area Konflik

Madrasah Negeri Padang Japang

Surau Darul Funun El-Abbasiyah

Sekolah Tinggi Syariah Darul Funun

Periode 1987-2018

Yayasan Darul Funun El-Abbasiyah

Madrasah Tsanawiyah Darul Funun El-Abbasiyah

Madrasah Aliyah Darul Funun El-Abbasiyah

Asrama Darul Funun

Periode 2018-sekarang

Yayasan Wakaf Darul Funun


Alumni & Tokoh Darul Funun

  • Tuanku Nan Banyak Beliau Qadi Datuk Perpatih Nan Sabatang
  • Syekh Abdullah Datuk Jabok
  • Syekh Muhammad Shalih Tuanku Madinah
  • Syekh Mustafa Abdullah Beliau Gadang
  • Syekh Abbas Abdullah Beliau Ketek Datuk Karaing
  • Zainuddin Labay El-Yunusiah, pendiri Diniyah School
  • Kapten Azhari Abbas,
  • Nasruddin Thaha, pendiri Islamic College Payakumbuh, Kepala Perwakilan Agama Payakumbuh, penulis Pedoman Perkawinan Islam: Nikah, Talak, Rudju.
  • Sulaiman Rasyid, Ketua Penyelidik Hukum Agama Lampung, penulis buku Fiqh Islam.
  • Buya Fauzi Abbas, Ketua Yayasan Darul Funun, tokoh masyarakat limapuluh kota, bersama M Natsir membangun wilayah Tanah Mati menjadi kawasan pembibitan coklat.
  • Buya Bermawi Mukmin, Guru Besar Darul Funun, tokoh masyarakat limapuluhkota
  • Fachrul Rasyid, Wartawan Senior Sumatera Barat.
  • Adi Bermasa, Wartawan Senior Sumatera Barat.
  • Buya Dr Afifi Fauzi Abbas, Ketua Yayasan dan Masayikh Darul Funun, Assoc Prof dalam jurusan Fiqih & Syariah, Ketua Senat IAIN Bukittinggi, Ketua PDM Limapuluhkota.
  • Buya Adiaputra, Pimpinan Perguruan Darul Funun, tokoh masyarakat.
  • Mazman Mazni Mustafa, Pimpinan Yayasan, tokoh masyarakat VII Koto Talago.


  1. ^ Membaca visi Syekh Abbas Abdullah dalam nama Darul Funun, Abdullah Arifianto, 2015.
  2. ^ Modernism (Islam in Indonesia), Wikipedia
  3. ^ Islam in Indonesia, Early Modern Period Wikipedia
  4. ^ Daya, Burhaduddin. (1990) Gerakan Penbaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta: Tiara Wacana.
  5. ^ Menchik, 2017. pp.4
  6. ^ The Kaum Muda Moverment in West Sumatera, Taufik Abdullah, Cornell Modern Indonesia Project, Cornell University, 1971
  7. ^ Daya, Burhaduddin. (1990) Gerakan Penbaharuan Pemikiran Islam Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta: Tiara Wacana. pp.92.
  8. ^ Sejarah Darul Funun, Abdullah Arifianto, Afifi Fauzi Abbas, Darulfunun Institute: 2019
  9. ^ Naim, 1990. pp.4-18.
  10. ^ Sumatera Thawalib, Sekolah Modern Islam Pertama di Indonesia. JPNN. Retrieved November 29, 2017.
  11. ^ Rüegg, Walter: "European Universities and Similar Institutions in Existence between 1812 and the End of 1944: A Chronological List", in: Rüegg, Walter (ed.): A History of the University in Europe. Vol. 3: Universities in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries (1800–1945), Cambridge University Press, 2004, ISBN 978-0-521-36107-1, p. 687
  12. ^ History of Istanbul University, Wikipedia
  13. ^ Asal Nama Darul Funun, Abdullah Arifianto
  14. ^ Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Wikipedia
  15. ^ Mengenang Syeikh Abbas Padang Japang, Ulama Besar Minang yang hampir Terlupakan, Mayonal Putra, Kompasiana:2012
  16. ^ Sila Ketuhanan dari Ulama Padang Japang, Jose Hendra, Historia:2016
  17. ^ Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil, “Kronik Revolusi Indonesia” (Jilid I 1945), Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Yayasan dikarya IKAPI dan The Ford Foundation, Jakarta, 1999.
  18. ^ Majalah Gatra, 9 Juni 2001, “Peci Tinggi Panglima Jihad”
  19. ^ Kisah Soekarno Mengunjungi Padang Japang Kab. Limapuluh Kota Sumatera Barat, Reni Efensi, Travesia