Muhammad Sujono
Marsekal Madya TNI (Purn.) Haji Muhammad Soedjono, 8 Januari 1923 – 16 Agustus 2010, wafat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, adalah seorang Purnawirawan Perwira Tinggi TNI Angkatan Udara yang juga merupakan salah satu tokoh pelopor, perintis terjun payung yang dimiliki TNI AU.
Muhammad Sujono | |
---|---|
Kohanudnas 1 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | 8 Januari 1923 |
Meninggal | 16 Agustus 2010 RSPAD Gatot Subroto, Jakarta |
Kebangsaan | Indonesia |
Almamater | Akademi Angkatan Udara (1946) |
Karier militer | |
Pihak | Indonesia |
Dinas/cabang | TNI Angkatan Udara |
Masa dinas | 1946– |
Pangkat | Marsekal Madya TNI |
Sunting kotak info • L • B |
Karir Militer
Perintis Terjun Payung TNI AU
Awal ketertarikan ia ke dunia militer adalah pada saat sekolah di AMS, Yogyakarta. Ketika kelas tiga, pemuda Soedjono melamar untuk masuk Vrijwilling Vliegers Corps (VVC) yang merupakan suatu korps Penerbang Sukarela Belanda. Setelah diadakan berbagai tes, akhirnya Soedjono terpilih diantara para pemuda yang lainnya untuk mengikuti pendidikan. Soedjono bersama para calon siswa lainnya berlatih terbang di sekolah tersebut setiap sore hari di daerah Sekip. Pesawat yang digunakan adalah pesawat buatan Belanda dan pelatihnya tentara Militaire Lucthvaart (ML) Belanda. Pemerintah Belanda menyadari bahwa disaat mendekati Perang Dunia ke-2 dibutuhkan banyak tenaga penerbang yang akan diterjunkan ke berbagai front pertempuran. Pada saat mendekati Perang Dunia ke-2, ia bersama para pemuda lainnya dimiliterisasi untuk dijadikan tentara wajib militer. ia bersama para siswa lainnya kemudian dibawa ke Tasikmalaya, lalu ke Bandung, kemudian dari Jakarta diungsikan ke Australia melalui jalur laut. Jadi sebelum tentara pendudukan Jepang masuk ke wilayah Hindia-Belanda, pemuda Soedjono sudah berangkat terlebih dahulu ke Australia. Sesampainya disana, rupanya timbul berbagai permasalahan baru seperti keterbatasan instruktur penerbang untuk melatih calon-calon penerbang, minimnya persediaan bahan bakar pesawat dan permasalahan lainnya. Dari permasalahan yang ada pemerintah Belanda kemudian membuat kebijakan yaitu para calon penerbang tersebut diberangkatkan ke Amerika Serikat untuk berlatih terbang. Dari Amerika Serikat, Soedjono kemudian dikembalikan lagi ke Australia untuk dilatih di Jungle Warfare Training Camp di Queensland sebelum diberangkatkan ke front pertempuran di Biak. Satu tahun di front pertempuran Biak, ia lalu mendapat istirahat di kota Melbourne lalu ke Brisbane, Australia. Sebelum berangkat lagi ke front pertempuran, pada pertengahan bulan September 1945, ia mendengar berita bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Untuk itu ia mencari informasi ke berbagai sumber untuk mendapat keterangan mengenai kondisi terakhir di Indonesia.[1]
Soedjono dengan berbagai cara, akhirnya tiba dengan selamat di tanah air, pesawat yang ditumpangi mendarat dengan selamat di Lapangan Udara Kemayoran pada tanggal 5 Oktober 1945. Tiba di tanah air, Soedjono melihat masih banyak tentara Jepang yang berkeliaran. Bersama Bapak Halim Perdanakusuma dan Bapak Roeslanoedanoeroesamsi berusaha mencari kontak dengan para pemuda untuk bisa sampai ke kota Yogyakarta. Pada saat tiba di Lapangan Udara Kemayoran, ia masih mengenakan seragam Belanda, dengan memakai topi pet, membawa pistol sehingga membuat orang-orang pribumi segan, malah cenderung takut untuk didekati kalau ditanya informasi seputar keadaan di tanah air. Akhirnya dengan pertolongan beberapa tokoh pejuang ia bisa berangkat ke Yogyakarta melalui Stasiun Manggarai. Sebelum berangkat ia dipesan oleh Dr. Kuswolodigo agar jangan bertanya macam-macam karena tentara dan mata-mata Belanda ada dimana-mana, di samping itu juga agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak Belanda tentang keberadaan mereka. Sesampainya di Yogyakarta, ia menginap di rumah orang tua Bapak Roeslanoedanoeroesamsi yaitu Bapak Brontodiningrat. Kemudian ia menghubungi orang-orang di KNI pusat dan Polisi. Polisi datang ke tempat Soedjono menginap di rumah orang tua Bapak Roeslan. Tindakan polisi selanjutnya bukan membantu apa yang diminta Soedjono tetapi justru menahannya mungkin karena kesalah pahaman. Setelah ditahan kemudian atas pertolongan temannya yang bernama Umar Slamet ia dibebaskan.
Bergabung AURI
Setelah itu pemuda Soedjono mulai memasuki kancah revolusi dengan secara resmi masuk ke AURI tanggal 1 April 1946 dengan mendapatkan Nomor Registrasi Prajurit (NRP) 461010. Mengawali karier di AURI (sekarang TNI AU dengan pangkat Opsir Udara II menjabat Perwira Staf Khusus merangkap perwira diperbantukan pada Komandan Pangkalan Udara Maguwo dengan tugas khusus untuk mengatur pertahanan pangkalan dan disiplin lainya, karena Komodor Muda Udara A.Adisutjipto yang ditunjuk untuk menjabat sebagai Komandan Pangkalan, sibuk mendidik calon-calon penerbang di Sekbang Maguwo.
Pembentukan Pasukan Terjun Payung
Kegiatan lainnya yang dilakukannya adalah melatih para pemuda untuk menjadi anggota Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP), kemudian atas perintah Markas Tertinggi AURI melalui Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma pada 1947 membentuk pasukan payung pertama (paratroop). Soedjono dengan semangat yang menyala-nyala melaksanakan perintah yang telah diberikan oleh Markas Tertinggi AURI dengan senang hati. Oleh karena ia belum pernah melaksanakan terjun, langkah pertama yang dilakukan beliau adalah mendatangi orang-orang yang berpengalaman dalam hal paracutis, di samping itu ia mempelajari sendiri teori-teori terjun payung. Secara kebetulan Soedjono mendapatkan payung-payung bekas peninggalan Belanda yang sudah lama tidak terpakai di Pangkalan Udara Maguwo. Soedjono sendiri secara kebetulan baru mendapatkan informasi kalau ada pelipat payung zaman Belanda yaitu Legino, Amir Hamzah, dan Pungut.
AURI melaksanakan latihan penerjunan pertama kali pada tanggal 12 Februari 1946 di Pangkalan Udara Maguwo. Penerjunan ini seharusnya menggunakan pesawat angkut C-47 Dakota, namun karena keterbatasan, akhirnya hanya mempergunakan pesawat dengan dua tempat duduk peninggalan Jepang, Churen. Penerjunan itu dilakukan dari ketinggian 2.300 kaki dari tiga buah pesawat. Pesawat pertama diterbangkan oleh Adisutjipto dan menerjunkan Amir Hamzah, penerbang kedua, Iswahyudi menerjunkan Legino dan penerbang ketiga, M. Suhodo, menerjunkan Pungut.[2] Penerjunan pertama di saat Indonesia sudah merdeka ini, disaksikan langsung oleh Surjadarma dan Panglima Besar Sudirman serta perwira tinggi TNI lainnya.
Di samping itu Soedjono bertemu dengan Opsir Muda Udara I Soekotjo yang pernah bergabung dengan Angkatan Laut Belanda, melaksanakan penerjunan dalam Operasi Perang Dunia ke-II. Soejono kemudian menghubungi orang-orang tersebut untuk membantu memberikan teori dan praktek tentang penerjunan. Opsir Muda Udara I Soekotjo dengan senang hati membagikan pengetahuan dan pengalamannya pada Soedjono mengenai teori dan praktek terjun payung meliputi teknik pendaratan klasik dengan koprol, juga membagikan ilmu operasi pendaratan di daerah yang diduduki musuh seperti menghilang bila sedang diikuti musuh disuatu kota dan lain sebagainya.
Soedjono bersama Opsir Muda Udara I Soekotjo mencoba sendiri untuk melakukan latihan terjun payung yang juga merupakan penerjunan kedua dengan pesawat Cureng bersayap ganda yang dikemudikan Komodor Muda Udara A. Adisutjipto dan Kadet Udara I Gunadi.[2] Penerjunan kedua ini dilaksanakan pada 8 Maret 1947 dan bertepatan dengan Wing Day, yakni hari dimana para kadet penerbang diwisuda. Penerjunan ini juga disaksikan oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, petinggi-petinggi TNI serta masyarakat Yogyakarta.[2] Pesawat Cureng sebetulnya tidak lazim digunakan untuk terjun payung, karena pesawat tersebut merupakan pesawat latih yang tidak memungkinkan seorang penerjun meloncat dari dalam pesawat. Untuk itu ada teknik tersendiri untuk loncat dari pesawat, dimana penerjun keluar dari dalam pesawat kemudian merayap ke sisi kiri atau kanan pesawat untuk persiapan terjun. Setelah siap dengan posisi jongkok di pinggir sayap pesawat kemudian merebahkan diri kebelakang agar tidak tersangkut ekor pesawat.
Pelaksanaan latihan terjun yang dilakukan oleh Soedjono dan Soekotjo disaksikan oleh sejumlah petinggi AURI diantaranya KSAU Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma, Perwira Operasi Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Baru penerjunan ke dua Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma meninggalkan tempat latihan. Namun dari cerita yang didapat dari orang terdekat, rupanya Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma tidak tega melihat kalau percobaan terjun yang dilakukan oleh kedua orang tersebut mengalami kegagalan. Tuhan Maha Besar penerjunan yang dilakukan oleh Soedjono dan Soekotjo berhasil dilakukan dengan baik meskipun payung yang digunakan Soekotjo mengalami robek setelah melakukan penerjunan. Atas perintah KSAU Suryadarma, Soedjono juga mendapat tugas untuk melatih para pemuda yang akan diterjunkan di Kalimantan di bawah pimpinan Mayor Tjilik Riwut pada tanggal 17 Oktober 1947 dengan tugas untuk mendrop pasukan di belakang garis depan musuh.
Meninggal Dunia
Marsekal Madya TNI (Purn.) HM. Soedjono, yang juga mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohudnas) pertama, meninggal dunia pada tanggal 16 Agustus 2010 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. HM Soedjono wafat pada usia 87 tahun karena sakit.[3] HM. Soedjono meninggal pada waktu 13.50 WIB. Rencana, almarhum akan dimakamkan di Purwakarta, Jawa Barat, pada Selasa (17 Agustus 2010) dan dimakamkan di samping mendiang istrinya.[3]
Jabatan Militer
Referensi
- ^ "PIONER TERJUN PAYUNG INDONESIA"
- ^ a b c "Ketika Tentara Belanda ini Jadi Penerjun Payung Pertama Indonesia Saat Pesawatnya Ditembak Jepang". Tribun Jambi. Diakses tanggal 2019-06-12.
- ^ a b c "Mantan Panglima Komando Udara Pertama HM Soedjono Wafat". detiknews. Diakses tanggal 2019-06-12.
- ^ "Wakil Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional". Lemhanas RI. Diakses tanggal 12 Juni 2019.
Jabatan militer | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Jabatan Pertama |
Pangkohanudnas 1962 - 1966 |
Diteruskan oleh: Laksamana Muda Udara Leo Wattimena |