Ubaidullah Ahrar

Sufi Mursyid Naqsyabandiyah
Revisi sejak 23 Juni 2019 21.04 oleh LaninBot (bicara | kontrib) (Perubahan kosmetik tanda baca)

Ubaidullah Ahrar Quddasallahu sirruhu merupakan salah satu penerus syekh Ya'qub al-Jarkhi dalam silsilah Naqsyabandiyah.

Ubaidullah Ahrar

Awal hidup

Ahrar lahir di sebuah desa bernama Shash pada tahun 806 H (1404 M), di bulan Ramadhan. Dituturkan, sebelum beliau lahir, ayah beliau mengalami suatu tingkat penyangkalan diri atau menahan diri dari kehidupan duniawi yang luar biasa yang menyebabkan beliau meninggalkan urusan dunia dan memulai khalwat. Ayah beliau hampir tidak pernah makan dan minum, mengasingkan dirinya dari orang banyak dan menjalani jalan spiritual dari tariqah sufi. Ketika ayah beliau dalam tingkat spiritual, istrinya mengandung Ubayd Allah. Ini alasan yang menyebabkan syekh Ubaidullah Ahrar q.s mencapai maqam yang tinggi, latihan spiritual dimulai ketika beliau masih di dalam kandungan. Ketika ibunya mulai melahirkan, kondisi spritual ayahnya yang tadinya tidak biasa telah berakhir dan ayahnya kembali ke kehidupan normal.

Dia pindah pada tahun 1451 dari Tashkent ke Samarkand dan memiliki pengaruh besar pada Dinasti Timur yang dipimpin Khalifah Abu Said (1451-1468). Dari Nasehatnya khalifah saat itu Abu Said meninggalkan sistem pajak perdagangan yang memberatkan rakyat (dengan alasan pajak untuk Muslim adalah "tidak Islami," tetapi di bawah pemerintahan Dinasti Timur/Mongol mereka diperkenalkan sistem yang benar) dan menegakkan syariah di kerajaannya.

Ahrar tidak pernah diperdebatkan dalam posisinya ketika dekat dengan pempimpin khalifah saat itu: melainkan ulama Islam Ortodoks, yang sebaliknya sering mengkritik tasawuf, tetapi beliau tetap toleran, tetapi dalam jangka panjang dia tidak memiliki dukungan dari rakyat. Dia juga bertindak sebagai "penasehat" militer khalifah Abu Said saat musim dingin ketika itu kerajaan sedang berperang melawan orang-orang Turkmens, yang sangat mematikan bagi kerajaan Dinasti Timur (1468).

Ajaran

Esensi dari Zikir Khaja Ahrar berkata: “Jika seseorang mengabdikan dirinya secara total untuk berdzikir, dia akan mencapai suatu tingkatan, dalam lima atau enam hari, bahwa teriakan dan perkelahian atas seseorang akan terdengar seperti zikir. Hal yang sama berlaku ketika dia berbicara”.

"Tentang zikir dengan ucapan “la ila ha ill-Allah”, beberapa guru besar mengatakan bahwa zikir ini adalah zikir orang awam, “Allah” adalah zikir dari orang khusus, dan zikir Huwa adalah zikir dari orang-orang yang khusus dari yang khusus. Tetapi bagiku zikir “la illaha ill-Allah” adalah zikir dari orang yang khusus dari yang khusus, karena zikir ini tidak mempunyai akhir."


Adab dan Shaykh dan Murid Seorang ulama besar menulis surat kepada Shaykh Ubayd Allah, “Jika kamu ingin mendidik siapa saja dari muridmu, silahkan kirim orang dan aku akan mengajar dia.” Beliau membalas, “aku tidak mempunyai murid, tapi jika engkau membutuhkan seorang Shaykh, aku punya banyak”.

“Sufisme meminta kamu untuk memikul beban orang lain dan tidak meletakan beban dirimu kepada orang lain”.

“Waktu yang terbaik dari setiap han adalah satu jam setelah shalat Ashar. Saat itu, seorang murid harus berkembang di dalam ibadahnya. Salah satu ibadah yang terbaik adalah duduk mengevaluasi perbuatan baiknya hari itu. Jika seorang pencari menemukan dirinya baik. Dia mesti bersyukur kepada Tuhan. Jika dia menemukan dirinya melakukan kesalahan, dia harus memohon ampunan”.

“Salah satu ibadah yang baik adalah mengikuti Syekh yang sempurna. Ikuti dia dan selalu bersama dengan kelompoknya akan membuat sang pencari meraih Hadirat Allah Yang Maha Kuasa dan Tinggi”.

“Bersama kelompok orang yang berbeda mentalitas akan menyebabkan kita jatuh kepada perbedaan”.

Suatu saat Sayidina Bayazid qs duduk dalam suatu asosiasi. Dia menemukan ketidakkompakan di kelompok itu. Beliau berkata “Perhatikan baik-baik disekeliling kamu. Siapakah yang bukan bagian kita?” mereka melihat dan tidak menemukan orang asing beliau berkata,” lihat lagi adakah sesuatu yang bukan dari kita,”

Mereka mencari dan menemukan sebuah tongkat milik orang lain bukan dari kelompok mereka. Beliau berkata,”Buang tongkat itu segera, karena itu memantulkan pemiliknya dan pantulan itu menyebabkan ketidakkompakan”.

Suatu hari seorang sufi bergabung dengan kelompok ulama, Mawlana Zainudin at Tibabi, sang sufi ditanya, “siapakah yang engkau lebih cintai, Syekh kamu atau Imam Abu Hanifa?” dia menjawab “untuk waktu yang lama, aku mengikuti jalan dari Imam Abu Hanifa dengan sangat hati-hati. Tetapi setelah beberapa tahun, prilaku bijruk di dalam hatiku tidak mau lepas dari diriku. Setelah aku mengikuti Syekh ku hanya beberapa hari, semua prilaku burukku hilang. Jadi bagaimana bisa aku mencintai Imam Abu Hanifa lebih baik baik dari Syekhku walau aku sangat menghormati Imam Abu Hanifa?”

Akhir hidup

Syekh Ubaydullah Ahrar meninggal dunia setelah Salat Isya pada hari sabtu, 12 Rabiul Awal, 895H/1490M di kota Kaman Kashan, di Samarqand. Melalui bukunya, beliau meninggalkan banyak kumpulan kebijaksanaan yang langka, salah satunya adalah Anas as-salikin fi-t-tasawuf dan al-Urwatu-l-wuthqa li arbaba-l-itiqad. Beliau mewariskan sebuah universitas Islam yang sangat diakui reputasinya dan mesjid yang masih ada sampai sekarang.

Putra beliau, Muhammad Yahya dan banyak orang yang hadir saat beliau menghembuskan nafas melihat cahaya yang sangat terang benderang dari mata beliau dan itu membuat cahaya lilin menjadi redup. Semua orang di Samarqand termasuk Sultan terguncang dengan kepergian beliau. Sultan Ahmad menghadiri pemakaman beliau dengan seluruh pasukannya. Sultan sendiri juga ikut mengangkat keranda Syekh dan menghantarkanya ke peristirahatan terakhir di dunia ini.

Ubayd Al Ahrar mewariskan rahasia dari Mata Rantai Emas kepada Syekh Muhammad Zaid Wakhshi as-Samarqandi.

Karya

  • "Anas as-salikin fi-t-tasawuf"
  • "al-Urwatu-l-wuthqa li arbaba-l-itiqad"
  • Rislah waldiyah

Referensi