Sangha Agung Indonesia
Sangha Agung Indonesia atau Sagin merupakan nama persamuan Sangha di Indonesia yang bergabung kembali di Tahun 1974 setelah sempat pecah di Tahun 1972. Sagin dibantu oleh Majelis Buddhayana Indonesia dalam pembinaan umat. Dalam menjalankan kebijaksanaan, Sangha Agung Indonesia tetap konsekuen dan konsisten untuk memasyarakatkan ajaran Buddha dengan mengadakan pendekatan kultural tanpa meninggalkan ciri khas kebudayaan Indonesia dalam memajukan kehidupan beragama Buddha di Indonesia.[1] Di tingkat internasional, Sangha Agung Indonesia menjadi anggota World Buddhist Sangha Council (WBSC) dengan nomor pendaftaran 003.[2]
Tanggal pendirian | 14 Januari 1974 |
---|---|
Kantor pusat | Jakarta, Indonesia |
Ketua Umum | Khemacaro Mahathera |
Ketua I | Thanavaro Thera |
Ketua II | Giriviriya Sthavira |
Sekretaris Jenderal | Nyanasila Thera |
Tujuan
Tujuan Sangha Agung Indonesia:[2]
- Mengamalkan Buddhayana dengan membina tradisi: Theravada, Mahayana, Vajrayana dan mengayomi seluruh umat Buddha Indonesia yang meyakini (sraddha) adanya Sanghyang Adi Buddha (Dharmakaya).
- Menyebarkan Agama Buddha Indonesia yang berpedoman pada Kitab Suci Tripitaka, baik yang bersumber asal dari naskah Pali maupun Sanskrit, ditambah Sutra Altar.
- Memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anggotanya untuk merealisasikan tujuan kebhikkhuan.
Latar belakang pembentukan
Pembentukan Maha Sangha Indonesia
Indonesia membutuhkan banyak Bhikkhu. Untuk menahbiskan bhikkhu baru, tahun 1959 Ashin Jinarakkhita mengundang 13 Bhikkhu dari luar negeri, yaitu Y.A. Mahasi Sayadaw dari Myanmar, Y.A. Mahathera Narada, dan 6 Bhikkhu lain dari Sri Lanka, 3 Bhikkhu dari Thailand, dan 2 Bhikkhu dari Kamboja. Menurut Vinaya atau peraturan Sangha, penahbisan Bhikkhu (upasampada) dapat dilakukan dengan syarat paling kurang dihadiri oleh 5 Bhikkhu senior.[3] Pada tahun yang sama, setelah jumlah Bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Ashin Jinarakkhita membentuk Sangha Sutji Indonesia yang beranggotakan para Bhikkhu dan Samanera yang ditahbiskan secara Theravada.[1]
Pada tahun 1963, umat Buddha di Indonesia manyambut sepuluh tahun pengabdian (Dasa Vassa) Ashin Jinarakkhita. Pada tahun yang sama, Sangha Sutji Indonesia diubah menjadi Maha Sangha Indonesia yang beranggotakan para Bhikkhu aliran Theravada dan Mahayana[1], yaitu Bhikkhu Jinarakkhita, Bhikkhu Jinapiya, Samanera Jinagiri, Samanera Jinarathana, Samanera Jinakumar, dan Samaneri Jinakumari.[4] Dalam upaya mengembangkan agama Buddha di Indonesia, Ashin Jinarakkhita menekankan kepada anggota Sangha agar menggunakan pendekatan secara luwes, dengan memberikan keleluasaan sepenuhnya kepada umat untuk menentukan sesuai minatnya masing-masing, apakah sesuai dengan Theravada atau Mahayana. Pendekatan seperti ini, di negara-negara barat dikenal sebagai Buddhayana atau Ekayana.[1]
Dipandu pemahaman Buddhayana, Maha Sangha Indonesia mendorong umat Buddha agar terus menggali warisan ajaran Buddha yang sudah tertanam di Indonesia semenjak zaman sebelum Majapahit. Secara kultural, ajaran Buddhis pernah membawa zaman keemasan pada masa Sriwijaya dan Majapahit sehingga akan lebih bisa diterima oleh bangsa Indonesia.[1]
Ketika tahun 1966 Bhikkhu Jinarakkhita membentuk kelompok Sangha Agung yang bertujuan untuk melebur seluruh mazhab Agama Buddha, hal ini ditolak oleh sebagian kelompok Mazhab Theravada. Maka sebagian anggota Maha Sangha Indonesia tradisi Mazhab Theravada membentuk Sangha Indonesia tahun 1968, yang terdiri dari Bhikkhu Jinapiya, Bhikkhu Sumanggalo, Bhikkhu Girirakhitto, Bhikkhu Jinaratana, Bhikkhu Aggabalo, dan Bhikkhu Subhato. Pada tahun 1968, PUUI menyatakan keluar dari PERBUDHI dan berganti nama menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) dengan menyatakan dukungan penuh kepada Maha Sangha Indonesia kelompok Sangha Agung.[4]
Pembentukan Sangha Agung Indonesia
Awal tanggal 12 Januari 1972, Bhikkhu Girirakkhito bersama empat Bhikkhu Therawada lain memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan membentuk Sangha Indonesia. Pada tahun yang sama, Sangha Indonesia yang mendapatkan dukungan penuh dari Federasi Umat Buddha Indonesia, Persaudaraan Umat Buddha Salatiga dan PERBUDHI.[4]
Untuk mengatasi perpecahan, pada tahun 1972, atas prakarsa Sekjen Golkar Brigjen Saparjo, sejumlah pertemuan diadakan dan menghasilkan ikrar wadah tunggal: Buddhis Indonesia, MUBSI, Gabungan Tridharma Indonesia (GTI), Persaudaraan Umat Buddha Salatiga, Perbudhi, dan MUABI melebur dengan nama Buddha Dharma Indonesia (Budhi).[3]
Atas Prakarsa dan Mediator Gde Puja, MA. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Maha Sangha Indonesia (kelompok Sangha Agung) dan Sangha Indonesia (kelompok Mazhab Theravada) mengabungkan diri pada tahun 1974 dengan membentuk Sangha Agung Indonesia dengan landasan bahwa setiap Bhikkhu akan melaksanakan Vinaya sesuai dengan sektenya masing-masing. Hasil Konsensus ini tidak pernah terwujud karena kedua kelompok tidak dapat menyepakati stuktur dan fungsi organisasi Sangha Agung Indonesia.[4] Akhirnya dibentuk Majelis Buddha Dharma Indonesia yang anggotanya terdiri dari pemuka agama Buddha dan cendekiawan dari berbagai sekte. Dalam praktiknya, ikrar ini baru terwujud tahun 1975. Organisasi ini mengganti nama menjadi Majelis Upasaka-Pandita Agama Buddha Indonesia pada tahun 1976.[3]
Ashin Jinarakkhita merasa perlu kembali menekankan konsep Buddhayana yang merupakan Wahana agama Buddha bagi Wahana Kecil (Theravada), Wahana Besar (Mahayana), dan Wahana Intan (Vajrayana).[1] Pada tahun 1974 atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Buddha (Gde Puja, M.A.) organisasi Sangha (Maha Sangha Indonesia) dipersatukan kembali dengan memakai nama baru, yaitu Sangha Agung Indonesia.[3]
Periode sektarian dan sesudahnya
Pada tahun 1976, beberapa bhikkhu kembali memisahkan diri membentuk Sangha Theravada Indonesia. Pada tahun 1978, Biksu Dharmasagaro melepaskan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha Mahayana Indonesia. Sejak itu, di Indonesia terdapat 3 Sangha, yaitu Sangha Agung Indonesia, Sangha Therawada Indonesia, dan Sangha Mahayana Indonesia. Ketiga Sangha kemudian bersama-sama 7 majelis mendirikan Perwalian Umat Buddha Indonesia pada tahun 1979.[3]
Pada tanggal 8 Mei 1979, Kongres Umat Buddha Indonesia di Yogyakarta menyetujui wadah tunggal dengan nama Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi). Nama ini pemberian Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menghendaki adanya satu organisasi mewakili umat Buddha dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (1980). Walubi merupakan federasi dengan anggota:[5]
- Sangha Therawada Indonesia
- Sangha Mahayana Indonesia
- Sangha Agung Indonesia
- Majelis Agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia
- Majelis Buddha Mahayana Indonesia (menjadi Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia)
- Majelis Dharma Duta Kasogatan
- Majelis Pandita Buddha Dhamma Indonesia (Mapanbudhi)
- Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi)
- Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia (Martrisia)
- MUABI (menjadi Majelis Buddhayana Indonesia).
Setelah Walubi bubar, untuk mengefektifkan perannya, Sangha Theravada Indonesia, Sangha Mahayana Indonesia, dan Sangha Agung Indonesia membentuk Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) pada tanggal 14 November 1998. KASI didirikan dengan prinsip-prinsip dasar:[5]
- Demokratis, tidak otoriter, tidak memaksakan kehendak sendiri
- Tanpa keakuan atau non-egoisme
- Mengakui pluralisme
- Kebersamaan dalam kesetaraan dan kesamaan martabat
- Kepemimpinan yang berorientasi pada fungsi dan tujuan lembaga
- Kerjasama yang baik, yang sepenuhnya menunjang kehidupan yang bersih dan suci
- Mengakui bahwa Tripitaka Pali, Tripitaka Mahayana, dan Tripitaka Tibet (Kan-jur) sebagai kitab suci agama Buddha yang harus diyakini oleh umat Buddha
- Saling menghargai keyakinan masing-masing Sangha tanpa intervensi
- Saling membantu, saling mendukung satu dengan yang lainnya
- Tidak mencampuri urusan masing-masing Sangha dan organisasi-organisasi di bawahnya
- Semua hubungan organisatoris yang berskala nasional dan bersifat mengikat harus melalui Konferensi Agung Sangha Indonesia.
Susunan organisasi
Susunan organisasi periodi I
Pimpinan Sangha Agung Indonesia yang pertama adalah:[2]
Nayaka
- Y.A. Ashin Jinarakkhita Mahathera (Alm.)
Anu Nayaka I
- Y.A. Jinapiya Thera (sekarang menjadi: Y.A. Thitaketuko Thera)
Anu Nayaka II
- Y.A. Bhikkhu Girirakkhito (Alm.)
Anu Nayaka III
- Y.A. Bhikkhu Uggadhammo (Alm.)
Susunan organisasi Sangha Samaya 2002
Susunan pimpinan Sangha Agung Indonesia sesuai dengan hasil Sangha Samaya VII/2002:[2]
Maha Nayaka
- Y.A. Ashin Jinarakkhita Mahathera(Alm.)
Anu Maha Nayaka I
- Y.A. Jinadhammo Mahathera
Anu Maha Nayaka II
- Y.A. Aryamaitri Sthavira
Anu Maha Nayaka III
- Y.A. Vajrasagara Sthavira Maha Lekhanadikariv
- Y.A. Dharmavimala Thera
Susunan organisasi Sangha Samaya 2008
Susunan pimpinan Sangha Agung Indonesia:
Ketua Umum
- Y.A. Nyanasuryanadi
Staff Ketua Umum I
- Y.A. Dharmanyano
Staff Ketua Umum II
- Y.A. Sasanabodhi
Staff Ketua Umum III
- Y.A. Ditthisampanno
Maha Nayaka
- Y.A. Dharmavimala
Staff Maha Nayaka I
- Y.A. Nyanaprathama
Staff Maha Nayaka II
- Y.A. Nyanadhammo
Maha Adhikari
- Y.A. Nyana Maitri
Staff Maha Adhikari I
- Y.A. Nyanajayabhumi (alm)
Staff Maha Adhikari II
- Y.A. Nekkhama
Lihat pula
Referensi
- ^ a b c d e f Majelis Buddhayana Indonesia Kota Surabaya. 4 Januari 2010. Sangha Agung indonesia.
- ^ a b c d Buddhakkheta. 2009. Sangha Agung Indonesia.
- ^ a b c d e Lembaga Litbang Majelis Buddhayana Indonesia 2005. Sejarah Buddhayana, Halaman 4.
- ^ a b c d Nurjaman (1111032100056). Nichiren Syosyu di Indonesia.
- ^ a b Lembaga Litbang Majelis Buddhayana Indonesia 2005. Sejarah Buddhayana, Halaman 5.