Budi Arie Setiadi

jurnalis dan politikus Indonesia, Menteri Koperasi Indonesia ke-12

Budi Arie Setiadi atau akrab dengan panggilan Budi Arie atau teman akrabnya memanggil dengan nama Muni, lahir di Jakarta, 20 April 1969, adalah relawan, aktivis sosial, politikus, dan pengusaha. Ia dikenal sebagai pendiri dan Ketua Umum Projo, organisasi relawan darat terbesar pendukung Joko Widodo.[1] Pernyataannya sering menjadi rujukan media sebagai sikap relawan pendukung terhadap pemerintahan Jokowi - Jusuf Kalla.[2][3][4][5]

Berkas:Budi Arie Setiadi 04.jpg

Pendidikan

Budi Arie Setiadi memulai pendidikannya di SD Fons Vitae II Jakarta. Kemudian pendidikan lanjutan di SMP Fons Vitae II Jakarta. Ia kemudian melanjutkan sekolah lanjutan atas di SMA Kolose Kanisius Jakarta pada tahun 1988. Selulus SMA, dia diterima di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI dan lulus pada tahun 1996. Budi Arie menyelesaikan studi paska sarjana di Managemen Pembangunan Sosial Universitas Indonesia, lulusan tahun 2006.

Aktivisme

Budi Arie Setiadi terkenal aktif di gerakan mahasiswa. Ia dipercaya memimpin gerakan mahasiswa sebagai Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM ) FISIP UI 1994 dan juga Presidium Senat Mahasiswa UI (1994/1995). Ia aktif mendirikan dan membina Forum Studi Mahasiswa (FSM ) UI dan juga Kelompok Pembela Mahasiswa (KPM ) UI. Ia juga aktif di bidang pers kemahasiswaan dengan menjadi Redpel Majalah Suara Mahasiswa UI pada tahun 1993-1994. Ia juga menjadi Ketua ILUNI UI Jakarta (1998-2001) dan mendirikan Gerakan Sarjana Jakarta (GSJ) dan Masyarakat Profesional Indonesia (MPI). Semasa gerakan reformasi mahasiswa UI pada tahun 1998, bersama aktivis mahasiswa dan alumni UI juga membidani lahirnya Keluarga Besar ( KB ) UI.[6]

Saat reformasi bergejolak 1998, ia menginisiasi dan mendirikan surat kabar yang kritis, " BERGERAK " pada tahun 1998. Bersama wartawan Tempo yang baru saja dibredel, ia aktif mengelola mingguan Media Indonesia pada tahun 1994-1996. Selanjunya bersama beberapa seniornya ia ikut menjadi bagian awal dari berdirinya Mingguan Ekonomi Kontan. Budi menjadi jurnalis Kontan dari tahun 1996 hingga 2001.[6]

Sebagai politikus, Budi Arie pernah menjadi Kepala Balitbang PDI Perjuangan DKI Jakarta (2005-2010) dan juga Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta. Ia kemudian mendirikan PROJO, kelompok relawan darat terbesar pendukung Joko Widodo, sejak Agustus 2013. PROJO kemudian berjuang mengumpulkan aspirasi pencapresan Jokowi sebelum dideklarasikan PDIP secara resmi, melawan arus pencapresan Megawati dengan wakil presiden Jokowi yang ramai saat itu, dan akhirnya Jokowi berhasil menjadi Presiden Ketujuh Republik Indonesia.[7][6]

Selain menjadi Ketua Umum PROJO, saat ini Budi Arie juga menjadi Dewan Penasihat ILUNI UI.[8]

Pencapresan Joko Widodo

Pada tahun 2013, menjelang proses Pilpres 2014, PDIP masih memiliki wacana untuk kembali mencalonkan Megawati, dengan beberapa pilihan Cawapres, antara lain Joko Widodo. Namun suara akar rumput lebih menginginkan adanya calon presiden baru dan dilakukannya proses penyegaran figur calon presiden. Hal ini berkaca kepada pengalaman kalahnya pasangan Megawati dan Prabowo pada tahun 2009. Namun sebaliknya, beberapa kader justru resisten terhadap hasil survei yang terus mengunggulkan Joko Widodo sebagai calon presiden[9] Kader dan simpatisan PDIP yang menamai dirinya sebagai Pro-Jokowi kemudian melakukan deklarasi pada 21 Desember 2013, yang terdiri dari penggerak Posko Gotong Royong Megawati 1998. Mereka lalu bergerak dari satu DPC ke DPC lainnya untuk menggalang dukungan terhadap pencapresan Jokowi. Ini sebagai respon usulan di dalam internal pengurus, contohnya saat Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan Oktober 2013[10] Saat ini PROJO sudah berkembang dan hadir di seluruh Provinsi di Indonesia.

Pada saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sudah berkali-kali mendapat tekanan secara politik. Contohnya saat Pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta 2013. Dibahas sejak Jokowi menjabat tahun 2012, APBD senilai 49,9 Triliun tersebut baru disahkan DPRD pada tanggal 28 Januari 2013. Hal ini disebabkan alotnya perdebatan mengenai KUAPPAS. Anggaran diutak-atik sehingga perdebatan berlangsung panas dan diwarnai aksi walkout beberapa anggota DPRD. Dengan naik menjadi Presiden, diharapkan Jokowi bisa terlepas dari intrik dan tarik ulur di DPR. Walaupun demikian, tetap saja Jokowi harus menghadapi kubu oposisi yang jauh lebih besar. Koalisi Merah Putih menguasai 350 kursi atau 64 persen suara di parlemen, berbanding 270 kursi atau hanya 36 persen. Inilah yang menyebabkan perlunya dukungan politik di luar parlemen yang terwujud dalam bentuk kekuatan relawan seperti Projo untuk mengelola opini publik. Adanya dukungan akar rumput membantu Jokowi dalam menghadapi pertarungan-pertarungan politiknya.[11]

Pemilihan Presiden 2019

Seperti pada 2014, Projo mendukung pendaftaran kembali Joko Widodo sebagai calon presiden 2019, tetapi beberapa kontroversi sempat merebak seputar pemilihan calon wakil presiden. Setelah pertentangan mengenai siapa figur yang pantas, Jokowi akhirnya memilih Ma'ruf Amin. Projo menyatakan mendukung siapapun calon pendamping yang dipilih Jokowi.[12]

Media sosial

Referensi