Edward Syah Pernong

Revisi sejak 31 Juli 2019 21.00 oleh Rosimlampung (bicara | kontrib) (foto)

Brigjen Pol. (Purn.) Drs. Edward Syah Pernong, S.H., M.H. (lahir 27 Januari 1958) adalah seorang perwira tinggi Polri yang sejak 31 Desember 2015 dimutasi sebagai Pati Yanma Kapolri (dalam rangka pensiun).

Edward Syah Pernong
Kepala Kepolisian Daerah Lampung
Masa jabatan
5 Juni 2015 – 31 Desember 2015
Sebelum
Pendahulu
Heru Winarko
Pengganti
Ike Edwin
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir27 Januari 1958 (umur 66)
Indonesia Jakarta
HubunganIrjen. Pol. Ike Edwin (adik sepupu)
AlmamaterUniversitas Gadjah Mada (1983)
Sekolah Perwira Polri (1984)
Sekolah Lanjutan Perwira (1992)
Sespim Polri
Penghargaan sipilLencana Adhi Satya Bhakti
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Masa dinas1984 - 2016
Pangkat Brigadir Jenderal Polisi
SatuanReserse
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Edward berpengalaman dalam bidang reserse. Jabatan struktural terakhir jenderal berbintang satu ini adalah Kepala Kepolisian Daerah Lampung dan digantikan oleh Brigjen Pol Ike Edwin yang kebetulan ialah adik sepupunya.

Edward Syah Pernong meraih sarjana dari fakultas hukum Universitas Gadjah Mada pada 1983, dan mengawali karier kepolisian saat mendaftar Sekolah Pewira (Sepa). Perjalanan kariernya cukup fantastik. Pertama ditempatkan di PTIK pada 1984. Setelah itu disekolahkan oleh gubernur PTIK di Dikjur Serse.

Lalu, masuk Selapa Dikreg XX 1992, kemudian ditempatkan di Jakarta, kali ini di Polda Metro Jaya, sebagai Kasubnit I, Reserse Umum. Tidak lebih tiga bulan di sana, dipercayakan menjadi Kasatserse Polres Metro Bekasi pada 1992. Prestasinya dalam mengungkap banyak tindak kejahatan membuat Presiden Soeharto waktu itu memanggilnya ke Istana Negara dan memberikan Lencana Adhi Satya Bhakti.

Edward mendapat promosi menduduki jabatan komisaris besar kepolisian, yaitu menjadi Kapolres Metro Bekasi, Kapolres Metropolitan Jakarta Barat, dan Kapolwiltabes Semarang. Setelah lebih dari delapan tahun dirinya mendapatkan pangkat Brigjen sesuatu yang langka untuk seseorang yang mengawali karier bukan dari Akpol.

Selain sebagai seorang Perwira tinggi Kepolisian, ia juga adalah sebagai Sultan Kepaksian Pernong di Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, yang berada di Batu brak, Provinsi Lampung.[1][2]

Latar Belakang

Edward Syah Pernong tercatat dalam lembaran sejarah sebagai putera daerah Lampung yang pertama kali menjabat Kapolda Lampung. Jabatan Kapolda dan pangkat Brigadir Jenderal yang disematkan Kapolri di pundak Edward adalah pencapaian langka yang diraih seorang perwira Polri yang mengawali karir dari Sekolah Perwira, bukan dari Akademi Kepolisian.

Ditelusuri dari rekam jejaknya, setidaknya dari sejumlah peristiwa kriminalitas menonjol yang mewarnai perjalanan hidup Edward Syah Pernong, dapat dikenali kepribadian dan kepemimpinannya selama mendedikasikan hidup untuk bangsa dan negara sebagai penegak hukum, pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.

Sementara itu, lewat berbagai peristiwa bersejarah dan beragam kegiatan adat budaya yang menggenapi pergumulan hidupnya sebagai Sultan Kepaksian Pernong di Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak, Lampung, tergambar peran dan kontribusi Edward Syah Pernong pada persatuan dan kesatuan bangsa melalui pendekatan budaya, serta pemeliharaan dan pengembangan adat budaya Lampung sebagai bagian dari warisan budaya Nusantara.

Riwayat Jabatan

  • Penempatan Pertama: Perwira Pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian - 1984
  • Panit Reserse Umum Korps Reserse Polri - 1986
  • Kasubnit I Reserse Umum Polda Metro Jaya - 1992
  • Kasat Serse Polres Metro Bekasi - 1992
  • Kasat Serse Polres Metro Jakarta Pusat - 1995
  • Wakapolres Metro Jakarta Utara
  • Kasat Reserse Tipiter Polda Jawa Barat - 2000
  • Kasat Reserse Polwiltabes Bandung - 2000
  • Kapolres Bandung Tengah - 2001
  • Kapolres Bandung - 2002
  • Wakapoltabes Palembang - 2003
  • Kapolres Metro Bekasi - 2004
  • Kapolres Metro Jakarta Barat - 2006
  • Penyidik Utama Dit. V/Tipiter Bareskrim Polri - 2008
  • Kapolwiltabes Semarang - 2009
  • Kadepkum Dit Akademik Akpol - 2010
  • Wakapolda Sulawesi Tengah - 2013
  • Wakapolda Maluku Utara - 2013
  • Widyaiswara Madya Sespim Polri - 2013
  • Karorenmin Bareskrim Polri - 2014
  • Kapolda Lampung - 2015
  • Analis Kebijakan Utama Sahli Kapolri - 2016
  • Pati Sahli Kapolri - 2016

Penghargaan

  • Lencana Adhi Satya Bhakti Dari Presiden RI Soeharto
  • Pejuang Demokrasi 2019

Sederet Kasus Besar Yang Diungkap

Tragedi Bekasi dan Penghargaan Pak Harto

Bekasi, 24 Juli 1995. Sekitar pukul 03.30 Wib dinihari, sebuah peristiwa perampokan disertai pemerkosaan sadis menimpa keluarga Acan (45) warga Kampung Cimatis, Desa Jatikarya, Kecamatan Perwakilan Jatisari, Bekasi. Dalam peristiwa ini, kerugian materi yang diderita keluarga Acan hanya dua gram kalung emas, namun yang memiriskan dan menyita perhatian publik adalah aksi sadis sepuluh perampok memerkosa secara bergilir istri dan dua anak gadis Acan yang berusia 14 dan 15 tahun. Kasus ini menjadi berita utama media nasional; koran, televisi, dan radio. Emosi masyarakat meluap, antara sedih yang mendalam sekaligus amarah yang memuncak.

Menyikapi kejahatan sadis itu, Polres Metro Bekasi bertindak cepat. Sejak kesempatan pertama mendapat informasi kejadian, Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi AKP Edward Syah Pernong bersama jajarannya langsung terjun ke tempat kejadian perkara (TKP). Edward bersama timnya bekerja keras mengungkap pelaku, mulai dari olah TKP, penyelidikan hingga pengembangan.

Kasus ini rupanya mendapat atensi khusus Presiden Soeharto, yang dikenal sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang mengutamakan keamanan dan kenyamanan hidup rakyatnya. Pak Harto mengapresiasi keberhasilan Edward Syah Pernong mengungkap kasus kejahatan sadis yang menimpa keluarga Acan dalam waktu singkat. Sebagai bentuk penghargaan, Presiden memanggil Edward ke Istana Negara dan menyematkan Lencana Adhi Satya Bhakti di dada perwira Polri berprestasi itu.

Penangkapan Robot Gedek, Pelaku Sodomi dan Pembunuhan 10 Bocah

Kasus berikutnya yang menarik perhatian publik dan melambungkan nama Edward Syah Pernong adalah penangkapan Siswanto alias Robot Gedek, pelaku sodomi dan pembunuhan 10 bocah laki-laki di Jakarta dan Jawa Tengah sepanjang 1994-1996. Siswanto, pria kelahiran Ketandan, Batang, Jawa Tengah yang sejak umur empat tahun telah menjadi anak jalanan di Jakarta ini dikenal sebagai Robot Gedek karena perilakunya setiap berjalan kerap kali menggoyang-goyangkan kepala. Kesehariannya adalah pemulung dan gelandangan.

Dalam menjalankan aksi sodomi dan membunuh para bocah, Robot Gedek terbilang sangat sadis. Mula-mula ia mendekati dan membujuk korban dengan berbagai cara, antara lain; memberi uang jajan seribu atau dua ribu, mengajak mereka bermain dingdong, atau mentraktir makan. Setelah terbujuk, ia kemudian mengajak korban ke tempat sepi, lalu melakukan sodomi. Usai memuaskan nafsu seksualnya, ia menghabisi nyawa korban dengan menjerat leher si bocah dengan tali raffia, menyayat perut korban yang sudah tak bernyawa dengan silet, dan kemudian menghisap darah bocah itu.

Robort Gedek mengaku syahwat seksualnya terpuaskan dengan mensodomi para bocah. Ia sama sekali tidak merasa bersalah, bahkan tidak takut masuk penjara, apalagi dosa. Kepada polisi, ia mengaku perbuatan itu dilakukan demi kepuasaan seks semata. Bila dalam sebulan tidak melakukan sodomi, ia merasakan sakit kepala.

Kejahatan Robot Gedek sangat meresahkan masyarakat, terutama para orang tua. Tim Reskrim di bawah pimpinan Kasat Reskrim Polres Jakarta Pusat AKP Edward Syah Pernong menyelidiki keberadaan Robot Gedek, dan berhasil menangkapnya di Stasiun KA Tegal pada Sabtu, 27 Juli 1996. Dalam pemeriksaan polisi, ia mengaku jumlah korban yang telah disodomi lalu dibunuh mencapai delapan anak jalanan yang berusia antara 11-15 tahun dan dilakukan selama dua tahun di Jakarta dan dua lagi di Jawa Tengah (Kroya dan Pekalongan).

Kisah yang lebih mengerikan tentang aksi sadis Robot Gedek terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 1997. Di hadapan majelis hakim yang dipimpin hakim Sartono, seorang pria predator lainnya bernama Babeh, mengaku melihat Robot Gedek menggandeng seorang anak laki-laki di Pasar Jiung, Kemayoran. Anak tersebut dibawa Robot Gedek ke semak-semak. Sementara itu, Babeh menunggu giliran mendapat kesempatan untuk melecehkan bocah lelaki yang dibawa Robot Gedek. Babeh menunggu satu jam dan setelah itu mendekati lokasi Robot Gedek. Di lokasi itu, dia menyaksikan Robot Gedek memutilasi korbannya.

Robot Gedek divonis hukuman mati pada 21 Mei 1997. Namun eksekusi hukuman mati gagal dilakukan karena ia meninggal dunia di RSUD Cilacap setelah terkena serangan jantung pada 26 Maret 2007, sehari sebelum pelaksanaan eksekusi.

Bekuk 2 Teroris Jaringan Hambali, Gagalkan Rencana Peledakkan 11 Gereja

alahsatu tantangan berat dalam karir Edward Syah Pernong di kepolisian adalah pengejaran dan penangkapan pelaku peledakan bom Antapani Bandung, Desember 2000, semasa ia menjabat Kasat Reskrim Polwiltabes Bandung. Ketika itu, kelompok teroris pimpinan Iqballuzaman alias Iqbal berencana meledakkan 11 gereja pada malam Natal di Kota Bandung.

Iqbal selaku koordinator menerima dana sebesar 25.000 ringgit dari Encep Nurjaman alias Ridwan Isamudin alias Hambali, untuk biaya operasi pengeboman 11 gereja di Kota Bandung. Hambali adalah penduduk Cianjur yang bermukim di Malaysia dan menjadi otak dari rangkaian pemboman di berbagai lokasi di Indonesia, termasuk bom Bali dan Hotel JW Marriot pada tahun 2003. Hambali kini ditahan di penjara Guantanamo.

Setelah menerima dana dari Hambali, beberapa jam menjelang malam Natal, Iqbal memerintahkan enam anak buahnya yakni Enjang alias Jabir, Akim, Dedi, Wawan, Roni Miliar dan Agus Kurniawan untuk merakit bom di rumah bengkel las milik H. Aceng Suhari (57) di Jl. Terusan Jalan Jakarta 43-45. Selanjutnya Iqbal menentukan lokasi gereja yang menjadi target pengeboman yang direncakan dilakukan pada hari itu pukul 18.00.

Namun, sebelum aksi pengeboman terlaksana, bom yang sedang mereka rakit meledak pada pukul 16:15 di kediaman Aceng. Ledakan itu mengakibatkan Enjang, Akim, Wawan dan Dedi meninggal seketika dengan kondisi mengenaskan. Sedangkan Roni Miliar dan Agus Kurniawan mengalami luka berat sehingga harus dirawat di rumah sakit selama satu bulan. Sementara Iqbal dan Aceng, dua tokoh utama dalam rencana aksi pengemboman gereja, melarikan diri menghindari pengejaran polisi.

Kendati bom yang hendak mereka gunakan untuk aksi pengeboman 11 gereja lebih dulu meledak saat dirakit, rencana pengeboman sangat mungkin terjadi di waktu dan lokasi berbeda jika Iqbal cs tidak segera disergap. Karena itu, tim Polwiltabes Bandung di bawah kendali Kasat Reskrim AKBP Edward Syah Pernong dan Kasat Intelkam AKBP Drs. Muktiono (kini menjabat Kapolda Sulawesi Selatan) bergerak cepat memburu Iqbal dan Aceng.

Setelah tiga minggu bekerja keras menyelidiki pergerakan Aceng dan Iqbal, akhirnya polisi menangkap kedua tersangka pada 16 Januari 2001 di sebuah rumah persembunyian di Desa Bentarsari, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Dari keduanya, polisi mengetahui rencana mereka meledakkan 11 gereja di Kota Bandung. Beruntung polisi menangkap Aceng dan Iqbal, sehingga rencana tersebut berhasil digagalkan.

Keberhasilan Edward bersama Muktiono menangkap Aceng dan Iqbal mendapat apresiasi pimpinan Polri, dan mengantar Edward Syah Pernong menduduki posisi strategis sebagai Kapolres Bandung Tengah.

“Nyali” yang Membuat Hercules cs Bertekuk Lutut

ada November 2006, Edward kembali menyita perhatian publik ketika menangkap Hercules dan 117 lebih anak buahnya yang menduduki areal di Perumahan Citra Garden 6, Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat. Hercules telanjur dikenal sebagai sosok preman sekaligus pemimpin para preman yang “ditakuti”, setidaknya di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Warga kerap dibuat resah atas kejahatan kelompok Hercules. Edward Syah Pernong sebagai Kapolres Metro Jakarta Barat geram atas aksi kejahatan Hercules dkk yang tak pernah jera.

“Bubarkan atau tangkapi mereka semua. Tak ada cerita preman bikin kacau di Jakarta,” tegas Edward saat membriefing anak buahnya. Tak sekadar memerintah, Edward memimpin langsung dua peleton (60 personil) polisi bersenjata laras panjang untuk menangkap kelompok Hercules.

MENGHADAPAI SIKAP TEGAS EDWARD, HERCULES CS SAMA SEKALI TAK BERKUTIK. HERCULES DAN ANAK BUAHNYA DIANGKUT DENGAN TRUK-TRUK DAN BUS POLISI DILAPISI TRALIS BERCAT HITAM.

Dari pengalaman ini, Edward meninggalkan warisan inspirasi dan keteladanan kepada para polisi penerus perjuangan dan kepemimpinannya,”Sebenarnya penangkapan Hercules bersama 117 anak buahnya bagi saya adalah case biasa. Bukan case istimewa. Anggota yang saya kerahkan juga tidak banyak. Hanya dua peleton (60 orang). Jadi heboh karena dibesar-besarkan oleh media. Tapi memang harus punya nyali karena polisi sering berhadapan dengan situasi yang tidak terprediksi, seketika, dan harus mengambil keputusan dalam waktu singkat. Naluri polisi lah yang membentuk pola harus bertindak sesuai keadaan di lapangan. Dan itu hanya bisa dilakukan orang-orang yang punya nyali,” tutur Edward.

Cegah Konflik SARA dalam Penanganan Kasus Syekh Puji

Ketika menjabat Kepala Polwiltabes Semarang, Edward Syah Pernong menghadapi kasus yang rumit karena rawan berkembang isu SARA dan berpotensi memicu konflik, yakni kasus Pujiono Cahyo Widianto yang dikenal sebagai Syekh Puji, tokoh agama dan pimpinan sebuah pondok pesantren di Jawa Tengah. Syekh Puji ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan sejak Senin malam 16 Maret 2009 karena menikahi siri bocah 12 tahun, Lutviana Ulfa. Ia disangka menyalahi Undang Undang Perlindungan Anak, pasal 82 dan pasal 290 KUHP mengenai Pencabulan.

Dalam menangani kasus ini, Edward menggunakan pendekatan ekstra hati hati dan cermat. Terutama menyikapi adanya kelompok-kelompok yang ingin mengadu-domba dan memancing di air keruh dengan memainkan isu SARA. Situasi yang dihadapi Edward bertambah rumit menyusul sikap Kepala Kejaksaan Negeri Semarang saat itu yang sempat menyatakan menolak pelimpahan berkas Syekh Puji karena menilai kasus tersebut bukan pidana.Untuk mencegah isu SARA berkembang menjadi konflik, Edward proaktif melakukan komunikasi intensif dengan tokoh masyarakat dan alim ulama di Jawa Tengah.

‘Pada atmosfir seperti ini, tidak cukup mengandalkan taktis dan teknis serta argumen normatif semata. Lebih dari itu dibutuhkan nyali yang besar, karena sebagai penegak hukum positif polisi tidak boleh mundur sedikit pun,’ tegas Edward.

Melalui dialog yang intensif, Edward berusaha menunjukkan profesionalisme, netralitas dan transparansi polisi dalam proses penyidikan Syekh Puji, sehingga akhirnya ulama dan masyarakat yakin bahwa penetapan tersangka dan penahanan Syekh Puji adalah murni penegakan hukum.“Kami jelaskan bahwa penindakan kepada Syekh Puji adalah tugas pokok polisi. Bukan karena masalah agama dan kepercayaan. Sehingga langkah polisi didukung oleh ulama,” jelas Edward Syah Pernong.

Sebagai muslim, Edward sebenarnya sempat merasa berat hati ketika harus menindak, menahan, dan memproses hukum Syekh Puji karena ia seorang pimpinan pondok pesantren dan Edward amat menghomati tokoh masyarakat, tokoh agama dan ulama. Namun sisi penegak hukum dalam diri Edward meyakinkannya untuk bersikap profesional.

Berkat sikap terbuka Edward kepada tokoh masyarakat dan alim ulama, polisi mendapat dukungan. Masyarakat dan ulama akhirnya memahami dan percaya langkah penegakan hukum obyektif yang diambil polisi terhadap Syekh Puji, kemudian muncul rasa saling penegertian dan kesepahaman antara polisi dan ulama, sehingga ketika polisi melakukan langkah asertif berupa penahanan Syekh Puji, tidak ada reaksi resisten yang muncul dan menghambat proses penegakan hukum oleh polisi.  Kasus Syekh Puji akhirnya bergulir, mulai dari penyidikan ke penuntutan hingga vonis di pengadilan.

“Sebagai Kapolwiltabes Semarang saat itu, saya sangat menekankan integritas. Untuk meredam potensi konflik SARA, amat penting menjaga integritas. Dalam hal menjaga integritas haruslah disertai keberanian mengambil keputusan meski riskan. Kemudian didukung kehandalan berkomunikasi dalam meyakinkan masyarakat, sehingga masyarakat melihat fakta dan kemudian percaya serta mendukung penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri,” imbuh Edward Syah Pernong.

Bentuk Tekab 308, Pimpin Perang Akbar terhadap Bandit

Sejak namanya dikabarkan oleh media akan pulang kampung untuk mengemban tugas sebagai Kapolda Lampung, masyarakat – terutama tokoh adat, pemuka agama, dan pimpinan ormas – menaruh harapan besar ke pundak Edward Syah Pernong untuk memberantas berbagai bentuk kejahatan di Tanah Lampung, terutama pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian dengan kekerasan (curas), dan pencurian kendaraan bermotor (curanmor) yang merajalela, meresahkan dan mengganggu aktivitas masyarakat, serta menghambat pelaksanaan pembangunan daerah.

Sikap masyarakat tidaklah berlebihan, mengingat pengetahuan, pengalaman, prestasi dan rekam jejak Edward di berbagai medan tugas yang berat di Ibu Kota Jakarta dan berbagai daerah konflik, mengindikasikan ia lebih dari mampu mengendalikan keamanan dan ketertiban di bumi leluhurnya Sai Bumi Ruwa Jurai untuk menjawab ekseptasi masyarakat; menjamin keamanan dan kenyamanan hidup masyarakat, serta mengawal pelaksanaan pembangunan daerah.

Karena itu, wajar jika masyarakat Lampung meluapkan suka-cita dan syukur tak terhingga di media sosial, media cetak dan elektronik, setelah membaca berita pelantikan Edward sebagai Kapolda Lampung, 5 Juni 2015. Bagi masyarakat, itu bermakna mendalam; masih ada secercah cahaya di tengah begitu gelapnya kejahatan di Tanah Lampung yang sudah bertahun-tahun lamanya tak teratasi dan bahkan semakian merajalela. Terlebih, yang menjadi korban kejahatan jalanan dan kehilangan nyawa bukan hanya masyarakat, tapi juga polisi. Seperti terjadi pada 30 Agustus 2015, Bharada Jefri Saputra tewas akibat kebrutalan begal.

Bagi Edward, menjadi Kapolda Lampung adalah kesempatan untuk menunaikan misi; mewujudkan impian terciptanya keamanan dan ketertiban di tanah lelulurnya yang ia cintai. Tak perlu waktu lama untuk orientasi di lingkungan tugas yang baru, sejak pekan pertama menjabat Kapolda Lampung, Edward  sudah memetakan situasi di lapangan dan mulai mengorganisir kekuatan personil Polda Lampung. Tanpa banyak bicara kepada awak media, Edward menyiapkan program dan rencana aksi di 100 harinya memimpin Polda Lampung. Tentu saja pengungkapan ratusan kasus kejahatan dalam beragam modus operandi menjadi prioritas utama di benak dan di setiap langkahnya.

Genderang perang terhadap bandit ditabuh. Jajaran Polda Lampung di semua tingkatan dikerahkan Edward untuk menggunakan semua potensi kekuatan, termasuk melibatkan pemerintah daerah dan semua unsur masyarakat. Hasilnya, dalam beberapa pekan puluhan kasus kejahatan di kota hingga pedesaan di Lampung tertangani.  Dari 1.373 kasus kejahatan dengan pemberatan yang terjadi di wilayah hukum Lampung sepanjang Januari-Agustus 2015, sebanyak 863 di antaranya berhasil diungkap. Sementara kasus pencurian dengan kekerasan dari 489 kejadian, berhasil terungkap sebanyak 274 kasus. Sedangkan pencurian kendaraan bermotor dari 402 kasus, sebanyak 161 di antaranya sudah tertangani. Selain itu, Polda Lampung juga berhasil mengungkap sebanyak 26 dari 27 kasus penyalahgunaan senjata api illegal.

Atas keberhasilan ini, banyak pihak memuji prestasi Polda Lampung di bawah kepemimpinan Edward. Kendati begitu, Edward tak larut dalam lautan pujian. Sebab impian sekaligus misi utamanya belum terwujud, yakni harapan besar Lampung benar-benar menjadi tempat hidup dan berusaha yang nyaman dan tenteram bagi masyarakat dan dunia usaha. Karena itu, untuk mengoptimalkan kinerja jajaran Polda Lampung menangani kejahatan berat, Edward membentuk Tim Khusus Antibandit (Tekab) 308.

“Pembentukan Tekab 308 adalah salah satu cara kami untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa polisi tidak main-main dalam memberantas kejahatan. Para pelaku kejahatan sebagian besar ialah residivis yang mendapat vonis ringan. Kebanyakan pelaku begal juga masih di bawah umur. Kualitas hukum dan hukuman bisa mendorong adanya efek jera. Untuk mengurangi angka kejahatan, seharusnya ada efek jera untuk para pelakunya. Tekab 308 akan bekerja ke seluruh pelosok Lampung. Dengan dibantu Polres-Polres agar lebih cepat, tegas, dan konkret,” tegas Kapolda Lampung Brigjen Pol. Edward Syah Pernong di hadapan wartawan, medio September 2015.

Kiprah Edward membentuk dan memimpin Tekab 308 Polda Lampung dalam mengejar dan meringkus para pelaku kejahatan curas, curat, dan curanmor serta kasus kejahatan menonjol lainnya amat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Lampung. Karena itu, Gubernur Lampung M. Ridho Ficardho mewakili pemerintah dan masyarakat Lampung memberikan penghargaan kepada Kapolda Lampung Brigjen Pol. Edward Syah Pernong, dalam sebuah upacara di Mako Sat Brimobda Lampung.

Penghargaan Gubernur Lampung memang layak diberikan kepada Kapolda Lampung Brigjen Pol. Edward Syah Pernong. Sebab, prestasi yang dicapainya dalam memimpin pemberantasan kejahatan memang fantastis. Berdasarkan data Ditreskrimum Polda Lampung, dalam tiga bulan, yakni September, Oktober dan November 2015, Polda Lampung secara umum berhasil mengungkap 1.336 kasus kejahatan di seluruh Lampung. Di luar itu, ada 610 kasus menonjol curas, curat, curanmor, dan aniaya berat serta kasus pembunuhan yang juga berhasil diungkap jajaran Polda Lampung.

Keberadaan Tekab 308 telah menghadirkan perlindungan bagi masyarakat. Masyarakat mendapat kepastiaan hukum, keamanan dan kenyamanan hidup setelah sebelumnya selama bertahun-tahun diresahkan oleh beragam kasus kejahatan. “Saya bersyukur. Alhamdulillah sampai dengan hari ini keberadaan Tekab 308 di lapangan amat ditakuti para penjahat. Menciutkan penjahat untuk melindungi masyarakat, sesuai dengan motto-nya ‘di mana ada kejahatan, di situ ada reserse’. Reserse menampilkan dirinya di arena melawan kejahatan,” imbuh Edward Syah Pernong.

Referensi