Rumah Bersejarah Inggit Garnasih
Rumah Bersejarah Inggit Garnasih adalah rumah yang berada di Jalan Ciateul No. 8, Bandung (saat ini Jalan Inggit Garnasih) yang merupakan wujud penghormatan kepada seorang perempuan yang ikut merintis kemerdekaan Indonesia, yaitu Inggit Garnasih. Beliau adalah salah satu istri dari presiden pertama Republik Indonesia, yaitu Soekarno. Rumah Bersejarah Inggit Garnasih menjadi bangunan cagar budaya sesuai Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Rumah bersejarah ini terletak kurang lebih tiga kilometer dari Masjid Agung Bandung dan Kabupaten Pendopo. Rumah ini ditempati Inggit Garnasih dan Soekarno sejak tahun 1926 sampai dengan pertengahan tahun 1934 yang saat itu masih berbentuk rumah panggung. Selanjutnya, rumah tersebut ditempati oleh Inggit untuk kedua kalinya seorang diri pada tahun 1949 sampai tahun 1984[1][2].
Nilai Sejarah
Rumah Bersejarah Inggit Garnasih bertempat di Jalan Ciateul sebelum berubah nama menjadi Jalan Inggit Garnasih. Penggantian nama jalan tersebut bertepatan dengan pemberian Tanda Kehormatan 'Bintang Mahaputera Utama' kepada Inggit Garnasih berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 073/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997 pada tanggal 10 November 1997[2].
Rumah ini menjadi saksi perjuangan Soekarno untuk mencapai kemerdekaan Republik Indonesia sebelum Soekarno dan Inggit Garnasih dibuang ke Ende, Flores, maupun Bengkulu. Soekarno sering melakukan pertemuan dan diskusi dengan kawan-kawannya di rumah ini dan berhasil membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927, Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 dan sebagai ganti dari PNI terbentuklah PARTINDO pada 29 April 1931. Tempat ini pernah menjadi tempat berkumpulnya para pelopor kemerdekaan antara lain, Suyudi, Agus Salim, Ki Hajar Dewantoro, HOS Tjokroaminoto, Kyai Haji Mas Mansur, Sartono, Hatta, Moh. Yamin, Ali Sastro, Asmara Hadi, Ibu Trimurti, Otto Iskandardinata, Dr. Soetomo, M.H. Thamrin, Abdoel Muis, Sosro Kartono (kakak dari Ibu Kartini) dan lain-lain[2].
Ketika Soekarno dimasukkan ke dalam penjara Banceuy dan Sukamiskin, Inggit Garnasih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan Soekarno di penjara. Saat Agresi Militer Belanda I dan II (1946-1949) dan terjadi Bandung Lautan Api, Inggit beserta anak cucunya mula-mula mengungsi ke Banjaran, kemudian ke Garut di sebuah desa dekat Leles. Pada akhir tahun 1949, Inggit kembali ke Bandung dan menetap di rumah H. Doerrasjid di Gedung Bapa Rapi dan mengutarakan ingin memiliki rumah sendiri seperti dulu[2].