Punai

genus burung
Revisi sejak 10 September 2019 15.18 oleh Me iwan (bicara | kontrib) (Referensi: Perubahan kosmetika)
Punai
Burung betina
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Treron

Vieillot, 1816

Punai (bahasa Inggris: Green Pigeon) adalah genus burung berukuran sedang hingga besar yang tergolong famili Columbidae dan bersaudra dekat dengn merpati. Punai termasuk burung arboreal yang beraktivitas di atas pohon, memamakan buah-buahan. Genus ini terdiri dari 23 spesies. Burung punai (bangsa: Columbiformes,suku: Columbidae) tersebar luas di kepulauan Sunda Besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali (Walter, 1981). Jenis burung punai yang beragam yang terdapat di daerah tersebut diantaranya adalah punai ekor panjang (Treron oxyura Temminck), punai ekor baji (T. Sphenura Vigors), punai paruh tebal (T. Curvirostra Gmelin), punai manten (T. Griseicauda Bonaparte), punai kecil (T. Olax Temminck), punai gading (Treron vernans L.), punai dada jingga (T. Bicincta Jerdon), punai besar (T. capellei Temminck) dan punai tanah (Chalcophaps indica L.)[1] . Persebaran burung punai di dunia terdapat dari daerah tropik sampai temperate (kecuali daerah Antartika dan Artik) pada berbagai tipe habitat, termasuk hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, hutan musim, sempadan sungai, savanna, padang pasir, karang atol, mangrove, hutan rawa, areal pertanian, pedesaan dan perkotaan, dari ketinggian 0 m-5.000 m di atas permukaan laut.[2]

Perkembangbiakan

Burung punai memiliki bentuk tubuh yang padat gemuk dengan paruh pendek dan kuat untuk memakan buah-buahan dan biji-bijian.[3] Burung tersebut bersarang di atas tanah, pohon atau semak dengan sarang berbentuk panggung dari ranting-ranting pohon kering untuk meletakkan telurnya yang berwarna putih sebanyak 1-2 butir.[4] Di daerah Cagar Alam Jeypore, Kabupaten Assam Timur, India, perkembangbiakan jenis burung punai dipengaruhi oleh ketersedian pakan, dimana pada saat musim kawin burung punai hijau kaki kuning (Treron phoenicoptera Latham) terdapat pohon ficus yang berbuah melimpah sekitar 61%, sedangkan di luar musim kawin hanya 52%.

Perkembangbiakan burung punai diawali dengan menetapkan daerah teritori, pemilihan pasangan, membangun sarang, menjaga dan mengerami telur serta membesarkan anaknya.[5] Apabila telah mendapatkan pasangan, mereka akan memisahkan diri dari kelompoknya untuk selanjutnya membangun sarang. Sistem perkawinan jenis burung ini monogamous.[6]

Sarang burung punai berbentuk persegi empat mendatar, terbuat dari ranting yang disusun tumpang tindih satu sama lain. Sarang dibangun oleh burung jantan pada pohon yang rendah atau di semak-semak pada ketinggian 3–4 m dari permukaan tanah. Telur burung punai berwarna putih dan hanya satu sampai dua butir dalam satu sarang yang dierami oleh burung betina dan jantan secara bergantian selama 15-20 hari.

Habitat

Habitat asli burung punai/walik (Treron, Platinopus) berupa hutan hujan dataran rendah, hutan hujan dataran tinggi, sempadan sungai, mangrove, savana, hutan rawa, daerah pinggiran hutan, daerah pertanian, semak belukar, lahan hutan terbuka dan perkotaan dari ketinggian di atas permukaan air laut sampai 1.500 m dpl.[7] Di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, burung punai ditemukan di hutan sekunder, hutan bakau, rawa air tawar dan perkebunan rakyat seperti kebun kelapa, perkebunan karet dan bekas ladang atau lahan tidur yang banyak ditumbuhi tumbuhan kayu jenis pionir, buah-buahan, rumput-rumputan dan semak belukar. Daerah sempadan sungai merupakan habitat yang paling disukai burung punai, karena tipe habitat ini memberikan tempat bertengger untuk melicinkan bulunya dan berteduh untuk mendinginkan suhu tubuh serta jaminan keamanan dari predator. Penggunaan dan pemilihan habitat oleh burung punai tergantung dari perubahan keterserdiaan sumber pakan dan musim. Burung ini dapat terbang 40 km dalam sehari dari tempat bertengger ke lokasi sumber pakan[8].

Status konservasi burung punai adalah termasuk jenis burung tidak dilindungi, maka burung ini mengalami penurunan populasi akibat perburuan liar untuk dikonsumsi, diperdagangkan dan konversi habitat.

Pola makan

Aktivitas makan burung punai lebih banyak dilakukan secara berkelompok dengan mendatangi pohon yang sedang berbuah dan dimulai pada saat matahari terbit atau sekitar pkl. 5.30 WIT dan kembali ke tempat pohon untuk tidur pada pkl. 16.00-17.00 WIT, tergantung jarak sum - ber pohon pakan dari tempat tidur dan keadaan cuaca.[9] Pakan utama burung punai adalah biji-bijian yang berasal dari rerumputan di tanah dan buah-buahan yang berasal dari pohon-pohonan. Selain makanan utama tersebut, burung punai juga memakan juga memakan serangga, kerang-kerangan, cacing, daun, pucuk serta bunga-bungaan. Burung punai gading (T. vernans L.), punai lengguak (T. curvirostra Gmelin), punai kecil (T. olax Temminck) dan punai bakau (T. fulvicollis Wagler) termasuk burung pemakan buah (arboreal frugivorous) sedangkan punai tanah (C. Indica L.) lebih banyak memakan biji-bijian di tanah (terestrial granivorous).

Buah mayam, terong-terongan dan lokam merupakan jenis pakan yang disukai karena lunak, kecil, sukulen, kaya akan karbohidrat dan mengandung banyak bijibiji kecil didalamnya, sehingga dapat ditelan dengan mudah oleh burung punai. Buah yang dimakan tiap kunjungan makan adalah seukuran buah ficus, kersen, salam, kariwaya, mayam, poakas, jawi-jawi sebanyak 10-20 buah yang tergantung pada banyaknya buah yang masak dan jumlah anggota kelompok burung. Jenis dan intensitas buah yang dimakan disesuaikan dengan ukuran tubuh burung dengan pembatasan jumlah maksimum dari buah-buahan yang ditelan dan daging buah yang dapat dicerna dengan sekali gigitan.[10]

Populasi

Burung punai yang dijumpai di Mempawah, Kalimantan Barat, yaitu punai gading (T. vernans L.), punai lengguak (T. curvirostra Gmelin), punai kecil (T. Olax Temminck) dan punai bakau (T. Fulvicollis Wagler). Di SM Pelaihari, Kalimantan Selatan, selain keempat jenis tersebut dijumpai satu jenis lagi yaitu punai tanah (C. indica L.). Sampai saat ini populasi burung punai cenderung menurun. Perilaku hidupnya yang berkelompok menyebabkan burung ini mudah dijerat dan atau ditembak dengan senapan angin.[11]

Diantara populasi burung punai di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, punai gading (T. vernans L.) tergolong masih berlimpah dan mudah dijumpai. Jenis burung punai lainnya, seperti punai lengguak (T. curvirostra Gmelin), punai kecil (T. olax Temminck) dan punai bakau (T. fulvicollis Wagler), agak lebih sulit dijumpai.[12] Di Indonesia, beberapa jenis burung punai yang statusnya hampir terancam dan dilindungi diantaranya burung punai salung (T. Oxyura Temminck), punai timor (T. Psittaceus Temminck), punai sumba (T. teysmanii Schlegel) dan Ducula pikeringii Cassin.[13]

Perilaku

Burung punai umumnya berkelompok baik ukuran kelompok kecil maupun besar mendatangi pohon buah untuk makan di hutan dataran rendah secara nomadic disesuaikan dengan musim dan adaptasi morphologi bentuk paruh dan ekor.[14] Jumlah anggota dalam suatu kelompok tergantung musim. Pada musim kemarau jumlah individu dalam satu kelompok dapat mencapai 30-50 individu, tetapi pada musim penghujan hanya berkisar 7-10 individu karena sebagian besar sedang mengeram. Kebutuhan air minum burung punai dipenuhi dari aktivitas minum air asin di daerah muara yang ditumbuhi hutan bakau. Perilaku minum pada burung punai dilakukan dengan mencelupkan separuh paruhnya ke dalam air dan mengisap airnya. Burung punai minum sebanyak 15% dari berat badannya.[15]

Keuntungan perilaku sosial burung secara berkelompok adalah sebagai perlindungan mutualisme dari musuhnya, kemudahan dalam mendapatkan pasangan, kesempatan untuk tersesat saat migrasi lebih sedikit, perlindungan dari udara malam yang dingin selama migrasi.[5] Pada malam hari, burung punai secara berkelompok bertengger untuk tidur di pohon yang rendah sambil mengeluarkan suara mendengkur lembut. Lokasi tempat tidur burung punai pada umumnya adalah pohon yang memiliki ketinggian di pinggir sungai.

Galeri

Referensi

  1. ^ MacKinnon, J., K. Phillipps & B. van Balen. (2000). Panduan lapangan pengenal burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bird Life.
  2. ^ Wells, A.C. & J.V. Wells. (2001). Pigeons and pigeons. Hal 319-325, In Elphick, J.B. Dunning Jr & D.A. Sibley (Eds). The sibley guide to bird life and behavior. Chanticleer Press, Inc. New York.
  3. ^ Necker, R. (2007). Head-bobbing of walking birds. Journal of comparative physiology, A neuroethology, sensory, neural and behavioral physiology 193 (2): 1177-1183.
  4. ^ Klappenbach, L. (2013). Pigeons and pigeons. Hal 1. http://animal.about.com/od/pigeonpigeons/pigeon-pigeons.htm.
  5. ^ a b Erviana, I. (2010). Bird behaviour. http: //www.scribd.com/doc/32964877/Bird-Behaviours-Perilaku-Burung-Tekukur.
  6. ^ Camfield, A. (2004). Columbidae, pigeons and pigeons. http://animaldiversity. ummz. umich.edu
  7. ^ Indrawan, M., D.M. Prawiradilaga & S. Van Balen. (1995). Birds on fragmental islands persistense in the forest of Java and Bali. Wageningen University and
  8. ^ Camfield, A. (2004). Columbidae, pigeons and pigeons. http://animaldiversity. ummz. umich.edu
  9. ^ Sawitri, R. & Garsetiasih. (2000). Studi populasi, habitat serta produktivitas burung walet putih (Collocalia fuciphaga) di Gombong Selatan, Jawa Tengah. Buletin Penelitian Hutan 620: 37-49.
  10. ^ Sawitri, R., Garsetiasih, R. 2015. Habitat dan populasi punai (columbidae) di mempawah dan suaka margasatwa pelaihari. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol 12:2
  11. ^ Sawitri, R., R. Garsetiasih, A.S. Mukhtar. (2010). Konservasi in-situ dan eks-situ burung punai (Columbidae) sebagai sumber pangan. Laporan Proyek Program Insentif Ristek. 30 hal. Puslitbang Hutan dan Konser-vasi Alam, Bogor.
  12. ^ Birdlife International. (2009). Siccoro dove Zenaida graysoni. http://www.birdlife.org/datazone/species /index.html?action=SpcHTMDetails.as p&sid=2555&m=0).
  13. ^ Birdlife International. (2001a). Cinnamomheaded-Green-pigeon, Treron fulvicollis . http://www.birdlife.org/datazone/speciesfactsheet/php?id=2631.
  14. ^ Thomas, C.D., Cameron, A., Green, R.E., Bakkenas, M., Beaumont, L.J., Collingham, Y.C., Erasmus, B.F.M., de Siquiera, M.F., Grainger, A., Han-nah, L. Hugjes, L., Huntley, B., Jaarsveld, A.A., Midgley, G.F., Miles, L., Ortega, M.A., Huerta, Peterson, A.T., Philips, O.L. & Williams, S.E. (2004). Extinction risk from climate chane. Nature (427): 145-158.
  15. ^ Dugherty, R. (2013). Pigeons and pigeons need lots of water. Hal 2. http://ferrycountyview.com/index.php?option=comcontent&view=arti.