Yan Xishan

Revisi sejak 12 September 2019 09.44 oleh Mulyo777 (bicara | kontrib) (Cosmetic edited)

Yan Xishan (atau Yen Hsi-shan, IPA: [i̯ɛ́n ɕíʂan]; 8 Agustus 1883 – 22 Oktober 1960) adalah seorang panglima perang yang mengabdi pada pemerintah Republik Tiongkok. Ia secara efektif memerintah Provinsi Shanxi sejak Revolusi Xinhai tahun 1911 hingga kemenangan Komunis dalam Perang Saudara Tiongkok tahun 1949. Selama menjadi pemimpin dari sebuah provinsi yang relatif kecil, miskin, dan terpencil, ia dapat bertahan menghadapi intrik Yuan Shikai, Era Pemimpin Perang, Era Nasionalis, invasi Jepang ke Tiongkok, dan perang saudara berkelanjutan. Kekuasaannya hanya terhenti setelah tentara Nasionalis, yang menjadi sekutunya, benar-benar kehilangan kontrol atas daratan Tiongkok, yang mengisolasi Shanxi dari semua sumber pasokan ekonomi dan militer. Ia dipandang oleh para penulis biografi Barat sebagai seorang tokoh transisi yang mendukung penggunaan teknologi Barat untuk melindungi tradisi Tionghoa, sementara pada saat yang sama perubahan kondisi politik, sosial, dan ekonomi sedang membuka jalan bagi perubahan radikal yang terjadi setelah pemerintahannya.[1]

Yan Xishan
閻錫山
Jenderal Yan Xishan
Perdana Menteri Republik Tiongkok
PresidenLi Zongren
Informasi pribadi
Lahir(1883-08-08)8 Agustus 1883
County Wutai, Xinzhou, Shanxi
Meninggal22 Juli 1960(1960-07-22) (umur 76)
Taipei, Taiwan
Partai politikKuomintang
Partai Progresif
Penghargaan sipilMedali Langit Biru dengan sebuah Matahari Putih
Julukan"Gubernur Model"
Karier militer
Pihak Kekaisaran Qing
 Republik Tiongkok
Dinas/cabangTentara Baru
Tentara Revolusioner Nasional
Masa dinas1911–1949
PangkatJenderal
Komando
Pertempuran/perang
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini
Yan Xishan
Hanzi tradisional: 閻錫山
Hanzi sederhana: 阎锡山

Kehidupan awal

Masa kecil

Ia lahir pada akhir kekuasaan Dinasti Qing di County Wutai, Xinzhou, Shanxi, dalam sebuah keluarga yang selama beberapa generasi bekerja sebagai bankir dan pedagang (Shanxi dikenal karena memiliki banyak bank yang sukses hingga akhir abad ke-19). Saat remaja, ia bekerja selama beberapa tahun di bank ayahnya sambil mengenyam pendidikan Konfusianisme tradisional di sekolah desa setempat. Setelah bank ayahnya bangkrut akibat depresi ekonomi Tiongkok pada akhir abad ke-19, Yan mendaftar ke sekolah militer yang dijalankan dan dibiayai oleh pemerintah Manchu di Taiyuan. Saat belajar di sekolah tersebut, ia mulai diperkenalkan pada matematika, fisika, dan berbagai mata pelajaran lain yang diadopsi langsung dari Barat. Pada tahun 1904, ia dikirim ke Jepang untuk belajar di Tokyo Shimbu Gakko, sebuah akademi militer lanjutan. Kemudian, ia masuk ke Akademi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan lulus pada tahun 1909.[2]

Pengalaman di Jepang

Selama lima tahun belajar di Jepang, Yan terkesan dengan upaya negara itu untuk modernisasi. Ia mengamati kemajuan yang dibuat oleh Jepang (yang sebelumnya dianggap oleh Tiongkok tidak maju dan terbelakang) dan mulai khawatir Tiongkok akan tertinggal oleh negara-negara lain. Pengalaman itu kemudian disebut sebagai masa inspirasi besar bagi upayanya di masa berikutnya untuk memodernisasi Shanxi.

Yan akhirnya menyimpulkan bahwa Jepang berhasil dimodernisasi karena kemampuan pemerintah dalam memobilisasi rakyat untuk mendukung kebijakan pemerintah dan juga karena hubungan dekat antara militer dan penduduk sipil. Dia berpikir bahwa kejutan kemenangan Jepang dalam Perang Rusia-Jepang pada tahun 1905 itu dikarenan dukungan penduduk yang antusias pada militer. Setelah kembali ke Tiongkok tahun 1910 ia menulis sebuah pamflet yang memperingatkan bahwa Tiongkok berada dalam bahaya akibat kemajuan Jepang kecuali Tiongkok mengembangkan bentuk lokal dari bushido.[3]

Bahkan sebelum belajar di Jepang, Yan telah muak dengan korupsi para pejabat Qing di Shanxi yang terbuka dan meluas, dan menjadi yakin bahwa ketidakberdayaan relatif Tiongkok dalam abad ke-19 adalah hasil dari sikap dinasti yang umumnya menolak modernisasi dan pengembangan industri, dan kebijakan luar negeri yang janggal. Saat berada di Jepang, ia bertemu dengan Sun Yat-sen dan bergabung dengan Tongmenghui (Aliansi Revolusioner), suatu perkumpulan semirahasia yang bertujuan untuk menggulingkan dinasti Qing. Ia juga berusaha untuk mempopulerkan ideologi Sun dengan cara mengorganisasi "Perkumpulan Darah dan Besi" yang berafiliasi di antara taruna-taruna Tiongkok dalam Akademi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Tujuan kelompok itu adalah untuk mengatur revolusi yang akan mengarah pada pembentukan Tiongkok kuat dan bersatu, mirip dengan cara Otto von Bismarck membentuk Jerman yang kuat dan bersatu. Yan juga bergabung dengan sebuah organisasi revolusioner Tiongkok yang bahkan lebih militan, "Korps Berani Mati".[4]

Kembali ke Tiongkok

Ketika ia kembali ke Tiongkok pada tahun 1909 ia diangkat sebagai komandan divisi Tentara Baru di Shanxi, tetapi secara diam-diam berusaha untuk menggulingkan Dinasti Qing. Dalam Revolusi Xinhai tahun 1911, Yan memimpin kekuatan-kekuatan revolusioner lokal untuk mengumpulkan kekuatan Manchu dalam provinsi itu dan memproklamasikan kemerdekaannya dari pemerintah Qing. Ia mendasarkan tindakannya pada kegagalan Qing dalam mengusir agresi asing dan menjanjikan berbagai reformasi sosial dan politik.[5]

Karier pada awal Republik

 
Yan Xishan pada awal 1920-an, tak lama setelah mengambil alih kekuasaan di Shanxi.

Konflik dengan Yuan Shikai

Pada tahun 1911, Yan berharap dapat menyatukan kekuatan dengan revolusioner Shanxi terkenal lainnya, Wu Luzhen, untuk melemahkan kendali Yuan Shikai atas Tiongkok utara, tapi batal karena Wu terbunuh. Yan dipilih menjadi gubernur militer oleh rekan-rekannya, tetapi tidak mampu mencegah invasi oleh pasukan Yuan Shikai, yang menduduki sebagian besar Shanxi pada tahun 1913. Selama periode invasi Yuan, Yan hanya mampu bertahan dengan mundur ke utara dan bersekutu dengan kelompok pemberontak di Provinsi Shaanxi yang bersebelahan. Dengan menghindari konfrontasi militer dengan Yuan, Yan mampu menjaga basis kekuasaannya. Meskipun ia berteman dengan Sun Yat-sen, Yan tidak menunjukkan dukungannya untuk Sun dalam "Revolusi Kedua" tahun 1913, dan malah mengambil hati Yuan, yang mengizinkan ia kembali menjadi gubernur militer Shanxi. Pada tahun 1917, tak lama setelah Yuan Shikai meninggal, Yan mengukuhkan kekuasaannya atas Shanxi.[6] Setelah kematian Yuan pada tahun 1916, Tiongkok turun ke periode kepemimpinan perang.

Determinasi Shanxi melawan kekuasaan Manchu adalah faktor yang mengarahkan Yuan untuk percaya bahwa hanya penghapusan dinasti Qing bisa membawa perdamaian ke Tiongkok dan mengakhiri perang sipil. Ketidakmampuan Yan untuk menahan dominasi militer Yuan atas Tiongkok utara adalah faktor yang berkontribusi terhadap keputusan Sun Yat-sen untuk tidak secara pribadi mengejar posisi predisen Republik Tiongkok, yang berdiri setelah dinasti Qing berakhir. Kesia-siaan melawan dominasi militer Yuan hanya menjadikannya tampak lebih penting bagi Sun untuk membawa Yuan ke proses berdirinya Republik dan lebih baik berdamai dengan musuh (potensial)-nya.[7]

Upaya memodernisasi Shanxi

Hingga 1911, Shanxi adalah salah satu provinsi termiskin di Tiongkok. Yan percaya bahwa, kecuali jika ia mampu memodernisasi dan menghidupkan kembali ekonomi dan infrastruktur Shanxi, ia tidak akan mampu mencegah pengambilalihan Shanxi oleh panglima perang lain.[8] Kekalahan militer pada tahun 1919 dari seorang rival meyakinkan Yan bahwa Shanxi tidak cukup berkembang untuk bersaing merebut hegemoni dengan panglima perang lainnya, dan ia menghindari kerasnya politik nasional saat itu dengan menerapkan kebijakan netral di Shanxi, yang menyelamatkan provinsi itu dari perang saudara. Bukannya terlibat dalam perang saudara yang sedang berlangsung, Yan malah mengabdikan dirinya hampir secara eksklusif untuk modernisasi Shanxi dan mengembangkan sumber dayanya. Keberhasilan reformasinya cukup untuk menjadikan dirinya dijuluki sebagai "Gubernur Model" dan Shanxi sebagai "Provinsi Model".

Determinasi Yan memodernisasi Shanxi sangat terinspirasi dari pengalamannya di Jepang dan oleh pengalamannya dengan dokter dan personil asing yang tiba di Shanxi pada tahun 1918 dalam rangka membantu menekan epidemi yang melanda provinsi itu. Ia terkesan dengan semangat, bakat, dan pandangan modern para personil itu. Komunikasi dengan reformis terkenal lainnya, termasuk John Dewey, Hu Shih, dan teman dekat Yan, H. H. Kung, memperkuat tekadnya untuk membaratkan Shanxi.[9]

Tahun-Tahun Terakhir

Perdana menteri Republik Tiongkok

Pada Maret 1949, Yan terbang ke ibu kota Nanjing dengan tujuan meminta lebih banyak makanan dan amunisi dari pemerintah pusat, membawa sebagian besar kas provinsi, dan tidak kembali sebelum Taiyuan jatuh ke pasukan Komunis. Tak lama setelah tiba di Nanjing, Yan menjadi pertengkaran antara pejabat presiden Republik Tiongkok, Li Zongren, dan Chiang Kai-shek, yang telah mengundurkan diri dari kursi kepresidenan pada Januari 1949. Meskipun Chiang telah mengundurkan diri, banyak pejabat dan jenderal tetap setia kepadanya, dan Chiang menahan lebih dari AS$200 juta, yang tidak ia biarkan untuk digunakan oleh Li untuk melawan Komunis atau untuk menstabilkan mata uang. Perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung antara Li dan Chiang secara serius mengganggu upaya yang lebih besar untuk mempertahankan wilayah Nasionalis dari pasukan Komunis.[10]

Yan memfokuskan usahanya untuk mengusulkan kerja sama yang lebih besar antara Li dan Chiang. Pada satu kesempatan ia menangis ketika atas permintaan Chiang, mencoba untuk meyakinkan Li untuk tidak mengundurkan diri. Ia berulang kali menggunakan contoh lepasnya Shanxi dan memperingatkan bahwa masalah Nasionalis adalah takdir, kecuali hubungan Li dan Chiang membaik. Li akhirnya berusaha untuk membentuk pemerintahan, yang melibatkan pendukung dan penentang Chiang, dengan Yan sebagai perdana menteri. Meskipun ada upaya Yan, Chiang menolak mengizinkan Li mengakses ke sebagian kecil kekayaan yang telah dikirim Chiang ke Taiwan dan perwira-perwira yang setia kepada Chiang menolak mengikuti perintah Li, memperburuk upaya untuk mengkoordinasikan pertahanan Nasionalis dan menstabilkan mata uang.[11]

Pada akhir tahun 1949, posisi kaum Nasionalis telah genting. Mata uang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan cepat menurun nilainya sampai menjadi hampir tidak berharga. Pasukan militer yang setia kepada Li berusaha untuk mempertahankan Guangdong dan Guangxi, sementara mereka yang setia kepada Chiang berusaha untuk mempertahankan Sichuan. Kedua pasukan menolak untuk saling bekerja sama, yang akhirnya mengarah ke lepasnya kedua daerah. Yan terus-menerus berusaha untuk bekerja dengan kedua belah pihak yang menyebabkan ia menjadi terasing dari Li dan Chiang, yang membenci Yan karena bekerja sama dengan kedua sisi. Komunis berhasil mengambil semua wilayah yang di daratan pada akhir tahun 1949, mengalahkan Li dan Chiang. Li pergi ke pengasingan di A.S., sementara Yan terus menjabat sebagai Perdana menteri, di Taiwan, sampai tahun 1950, ketika Chiang melanjutkan kekuasaan presiden.[12]

Pensiun di Taiwan

 
Yan pensiun dari kehidupan publik pada tahun 1950. Ia banyak menghabiskan waktunya dengan menulis, menganalisis masalah-masalah politik kontemporer, dan mempromosikan Pemikiran Yan Xishan.

Tahun-tahun terakhir Yan diisi dengan kekecewaan dan kesedihan. Setelah mengikuti Chiang ke Taiwan ia digelari "penasihat senior" Chiang, tetapi dalam kenyataannya ia sama sekali tidak memiliki kekuasaan. Chiang mungkin sudah lama menaruh dendam pada Yan karena aktivitas-aktivitasnya untuk Li di Guangdong. Lebih dari sekali Yan meminta izin untuk pergi ke Jepang, tapi ia tidak diperbolehkan meninggalkan Taiwan.[13]

Yan dikucilkan oleh semua pihak, kecuali segelintir pengikut, dan menghabiskan sebagian besar sisa hidupnya menulis buku-buku tentang filsafat, sejarah, dan peristiwa kontemporer, yang sering ia terjemahkan ke dalam bahasa Inggris.[14] Perspektif filosofisnya digambarkan sebagai "utopianisme Konghucu antikomunis dan antikapitalis". Beberapa bulan sebelum Perang Korea, Yan menerbitkan sebuah buku, Damai atau Perang Dunia, yang dalam buku itu, ia memperkirakan bahwa Korea Utara akan menyerang Korea Selatan, Korea Selatan akan dengan cepat unggul, A.S. akan campur tangan dengan mendukung Korea Selatan, Korea Utara akan terdorong mundur ke Sungai Yalu, Komunis Tiongkok akan campur tangan mendukung Korea Utara, akan terjadi kebuntuan dan Amerika akan mempertahankan kehadiran jangka panjang di Korea Selatan setelahnya. Semua peristiwa ini kemudian terjadi setelah Perang Korea.[15]

Yan meninggal di Taiwan pada 24 Mei 1960. Ia dimakamkan di wilayah Qixingjun, Yangmingshan. Selama beberapa dekade kediaman dan makam Yan diurus oleh sejumlah kecil mantan pembantunya, yang menemaninya dari Shanxi. Pada tahun 2011, ketika pembantu terakhirnya berusia 81 tahun dan tidak mampu lagi bekerja, tanggung jawab perawatan situs diambil alih oleh Pemerintah Kota Taipei.[16]

Lihat pula

Referensi

Kutipan

  1. ^ Gillin The Journal of Asian Studies 289
  2. ^ Gillin The Journal of Asian Studies 290
  3. ^ Gillin The Journal of Asian Studies 291
  4. ^ Wang 399
  5. ^ Gillin The Journal of Asian Studies 292
  6. ^ Spence 406
  7. ^ Gillin Warlord 18
  8. ^ Gillin The Journal of Asian Studies 302
  9. ^ Gillin Warlord 22
  10. ^ Gillin Warlord 288-289
  11. ^ Gillin Warlord 289-290
  12. ^ Gillin Warlord 290-291
  13. ^ Gillin Warlord 291
  14. ^ Gillin Warlord 291-292
  15. ^ Lawson
  16. ^ Zhou

Sumber

  • Bonavia, David. China's Warlords. New York: Oxford University Press. 1995. ISBN 0-19-586179-5
  • Spence, Jonathan D. The Search for Modern China, W.W. Norton and Company. 1999. ISBN 0-393-97351-4.

Pranala luar

Jabatan pemerintahan
Didahului oleh:
Ho Ying-chin
Perdana Menteri Republik Tiongkok
1949–1950
Diteruskan oleh:
Chen Cheng