Aboean Goeroe-Goeroe

perkumpulan guru di Sumatra Barat
Revisi sejak 19 September 2019 08.01 oleh Rahmatdenas (bicara | kontrib) (Isi)

Aboean Goeroe-Goeroe (AGG) adalah perkumpulan para guru yang bertugas di Sumatra Barat, khususnya di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi). Perkumpulan ini didirikan di Fort de Kock pada tahun 1921.[1]

Aboean Goeroe-Goeroe memiliki sebuah majalah bulanan dengan nama yang sama yang terbit dari 1927 hingga 1931. Majalah ini digunakan sebagai sarana komunikasi dan bertukar informasi di antara para anggota perkumpulan khususnya dan masyarakat pada umumnya.[1]

Kepengurusan

Pada tahun pertama didirikan, kepengurusan AGG dipimpin oleh M. Thaib St. Pamoentja didampingi Dt. Bagindo sebagai wakil ketua, Kasip sebagai sekretaris, dan St. Saripado sebagai bendahara. M. Thaib adalah hoofdschoolpoziener atau seorang pemilik sekolah merangkap kepala sekolah. Anggota AGG terdiri dari pemilik sekolah (schoolopziener), kepala sekolah, dan guru yang bertugas di Sumatra Barat, terutama Fort de Kock. Adapun di tataran komisaris, terdapat nama Manan, Dt. Radja Ibadat, St. Pamenan, H. St. Ibrahim, Dj. St. Machoedoem, B. Soetan Maroehoen, dan Z. St. Sinaro.[1]

Nomenklatur dan susunan kepengurusan diperbarui seiring waktu. Rapat umum AGG yang berlangsung pada 19 Maret 1927 menetapkan St. Baheramsjah sebagai ketua didampingi B. St. Radja Emas sebagai wakil ketua. Posisi sekretaris dipegang oleh A. St. Negeri bersama H. St. Ibrahim. Posisi bendahara tetap dipegang oleh St. Saripado. Di tataran komisaris, terdapat nama Dt. Baginda, Manan, Soehoed, J. St. Radja Emas, dan Kasip.[2]

Anggota Aboean Goeroe-Goeroe dipungut iuran setiap bulan sebagai simpanan yang diperuntukkan untuk "mentjahari keonetoengann jang halal". Iuran para pemilik sekolah dan guru sebesar 2,5 gulden, sedangkan yang berstatus sebagai guru bantu sebesar 1 gulden.[1]

Setahun sejak didirikan, AGG telah memiliki 167 anggota dengan jumlah uang simpanan sebesar 3.728,50 gulden. Pada 1928, anggotanya meluas sampai ke Jambi, Palembang, dan Borneo (Kalimantan) yang jumlahnya mencapai 422 orang, dengan jumlah uang simpanan sebesar 25.112 gulden.[1]

Perkembangan

Selama tujuh tahun pertama, AGG tidak punya kantor. Pada 1928, AGG berhasil menyewa sebuah rumah di Fort de Kock untuk kantornya.[1]

Majalah

Majalah Aboean Goeroe-Goeroe terbit perdana 19 April 1927[3] oleh penerbitan "Agam" di Fort de Kock. Edisinya berjumlah 20 halaman. Di halaman sampul majalah, dinyatakan tujuan AGG sebagai "orgaan oentoek pemadjoekan pendidikan, bahasa, dan bangsa". Adapun redaksinya ditangani oleh Dt. Radja Besar, H. St. Ibrahim, dan B. St. Kajo.[2] Majalah Aboean Goeroe-Goeroe terbit hingga 1931.[4] Saat ini, sebagian eksemplar Aboean Goeroe-Goeroe asli tersimpan di Universitas Leiden, Belanda.[1]

Isi

 
Hasil keputusan dari rapat umum AGG pada 19 Maret 1927

Edisi pertama majalah Aboean Goeroe-Goeroe merekam perdebatan rapat umum AGG pada 19 Maret 1927 soal pengajaran bahasa Minangkabau di sekolah-sekolah Barat milik pemerintah dan partikelir. Rapat itu dimulai dengan sambutan inspektur pendidikan pemerintah kolonial, W. Wilmink yang mengatakan bahasa Minangkabau "patut diajarkan di sekolah-sekolah bumiputra". Pandangan W. Wilmink disambut antusias dari para guru yang hadir. Thaib Soetan Pamoentjak, penasihat Aboean Goeroe-Goeroe setuju bahwa bahasa Minangkabau mestinya diajarkan, bukan lagi menjadi pengantar di sekolah-sekolah di Sumatra Barat tanpa terkecuali.[5][6] Namun, sebagian guru modernis menilai mengajarkan bahasa Minangkabau hanya membuang waktu saja karena bahasa Minangkabau adalah bahasa pergaulan sehari-hari. Rapat melahirkan keputusan yang di antaranya menyatakan bahasa Minangkabau dijadikan bahasa pengantar dan "buku-buku yang ada sekarang disalinkan ke bahasa Minangkabau".[5]

Pada 1930, pemerintah kolonial menunjuk M.G. Emeis, direktur sekolah OSVIA Bukittinggi untuk membuat buku teks bahasa Minangkabau sebagai media pengajaran.[6] Buku teks yang ditulis dalam bahasa Minangkabau diperkenalkan pertama kali pada tahun ajaran 1931/1932. Namun, buku ini ditolak dan dikritisi oleh sebagian besar pendidik dan intelektual di Sumatra Barat. Mereka mempelesetkan seri buku berbahasa Minang yang berjudul Lakeh Pandai (berarti "Lekas Pandai") menjadi Lakeh Pandia (berarti "Lekas Bodoh"). Pendidik dan intelektual Abdoel Aziz Soetan Kenaikan mewakili para penentang membawa kasus ini ke sidang Minangkabau Raad. Ia mengatakan pemakaian bahasa Minangkabau sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Sumatra Barat adalah sebuah langkah mundur mengingat orang Minangkabau sudah lama memakai bahasa Melayu baik ragam tulis dan lisan di situasi formal.[7][8]

Galeri

Referensi

  1. ^ a b c d e f g Suryadi, Surya (25 Januari 2015). "Abuan Guru-Guru, Fort de Kock (1921)". Singgalang. Diakses tanggal 16 September 2019. 
  2. ^ a b "Pendahoelnean" (PDF). Aboean Goeroe Goeroe. Vol. 7 no. 4. Fort de Kock. hlm. 39. 
  3. ^ "Pendahoelnean" (PDF). Aboean Goeroe Goeroe. Vol. 7 no. 4. Fort de Kock. hlm. 21. 
  4. ^ Sunarti, Sastri (2013). Kajian Lintas Media. Diakses tanggal 16 September 2019.  . hlm. 57.
  5. ^ a b "Pendahoelnean" (PDF). Aboean Goeroe Goeroe. Vol. 7 no. 4. Fort de Kock. hlm. 38. 
  6. ^ a b Yudhi Andoni (2016). Menapak Jalan Kemajuan: Wacana Modernitas di Kalangan Elite Baru Minangkabau di Kota Bukittinggi Awal Abad XX. Universitas Gadjah Mada.
  7. ^ Suryadi, Surya (12 November 2011). "Pemakaian Bahasa Minangkabau sebagai 'Voertaal' di Sekolah (1927)". Padang Ekspres. Diakses tanggal 16 September 2019. 
  8. ^ Asnan, Gusti (2007). Memikir Ulang Regionalisme Sumatra Barat tahun 1950-an. Yayasan Obor Indonesia. hlm. 137–138. ISBN 979-461-640-0.