Candi Pegulingan

bangunan kuil di Indonesia
Revisi sejak 21 September 2019 08.41 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Candi pegulingan terletak di Banjar Basangambu, Desa Pekraman Basangambu, Desa Manukaya, kecamatan Tampaksiring, kabupaten Gianyar, Bali dengan jarak kurang lebih 48 km dari kota Denpasar atau 16 km dari kota Gianyar dan memiliki ketinggian 551 mdpl, berada di sebelah timur, tidak jauh dari lingkungan Pura Tirta Empul, Tampaksiring.[1][2] Dari Balai Banjar Basangambu kita belok ke kiri dengan berjalan kaki melewati jalan setapak kira-kira ± 250 meter akan sampai di Pura Pegulingan.[3]

Candi Pegulingan
Peta
Informasi umum
Gaya arsitekturCandi Buddha
LokasiBasangambu, Manukaya, Tampaksiring, Gianyar, Bali
Negara Indonesia
Rampung976 M
Nama resmiLanskap kultur Provinsi Bali:Sistem subak sebagai perwujudan dari filosofi Tri Hita Karana
JenisBudaya
Kriteriaii, iii, v, vi
Ditetapkan2012 (sesi ke-36)
No. referensi1194
NegaraIndonesia
KawasanAsia-Pasifik

Candi Pegulingan terdapat di dalam kompleks pura Pegulingan. Panorama alam di lingkungan ini sangat indah, dari Pura Pegulingan Istana Tampaksiring pun kelihatan indah jika kita menghadap ke arah barat. Posisi Pura ini juga sangat strategis karena terletak di areal persawahan, sehingga secara tidak langsung kita disuguhi panorama alam yang sangat indah.[3]

Pura pegulingan sendiri berdasarkan Lontar Usana Bali diperkirakan dibangun pada masa pemerintahan Raja Masula Masuli di Bali pada abad ke 11 Masehi atau tahun caka 1178. Situs Pura Pegulingan ditemukan pada tahun 1982, pada saat itu masyarakat hendak mendirikan sebuah Padmasana.[1][3][4]

Pada tahun 2012 kompleks Candi dan Pura Pegulingan masuk dalam wilayah B Lanskap kultur Provinsi Bali.[5]

Penemuan

Cagar budaya di pura ini antara lain : sebuah stupa dan temuan lain berupa materai tanah liat, relief Gana, arca Budha dari emas dan fragmen-fragmen bangunan, kotak batu padas berisi materai tanah liat yang bertuliskan Formula Ye-Te dengan huruf pranagari berbahasa Sanskerta yang menguraikan mantra Agama Buddha Mahayana mengenai 3 ajaran Dharma.[1][4]

“Ye dharmah hetu pra

Bhawah hetun tesan tatha

Gato hyawadat tesan ca yo ni

Rodha ewam wada mahacramanah

Om ye te swaha om krata

Rah pramblinih…..”

Terjemahannya:

     “Sang Buddha (tathagata) telah berkata demikian Dharma ialah sebab atau pangkal dari segala kejadian (segala yang ada). Dan juga (Dharma itu) sebab atau pangkal dari kehancuran penderitaan. Demikianlah ajaran sang maha pertapa(Sang Budha)…”

Arca Budha yang ada di Pura Pegulingan diperkirakan lima buah, terbuat dari batu padas, akan tetapi pada saat dilakukan penggalian hanya ditemukan empat buah dalam kondisi yang rusak.

  1. Arca 1, diperkirakan dengan sikap tangan dharmacakramudra, yang dimiliki oleh Dhyani Budha Wairocana yang menempati bagian tengah.
  2. Arca 2, diperkirakan dengan sikap tangan bhumisaparsamudra, yang dimiliki oleh Dhyani Budha Aksobhya yang menguasai arah timur.
  3. Arca 3, diperkirakan dengan sikap tangan abhayamudra yang dimiliki oleh Dhyani Budha Amoghasidhi, yang menguasai arah utara.
  4. Arca 4 , diperkirakan dengan tangan kiri digambarkan dengan sikap dyanamudra, dengan bagian lain tidak dapat diketahui karena rusak. Seandainya ketiga arca yang diduga tersebut benar, maka arca 4 yang dimiliki Dhyani Budha Amitabha yang menguasai arah barat, dan sisanya lagi 1 arca 5 adalah Dhyani Budha Ratnasambhawa dengan sikap waramudra, yang menguasai arah selatan.[1][4]

Ditemukan juga sebuah mangkok perunggu berisi lempengan emas dan perak bertulis, gambar atau simbol keagamaan seperti vajra dan padma. Ditemukan pula pedupaan, sebuah gelang perunggu dan miniatur stupa dengan yasti yang telah patah. Komponen miniatur stupa itu terdiri atas bagian kaki berbentuk segi delapan, berdiri di atas lapik padmaganda, kemudian anda di bagian tengah, pada bagian atas terdapat yasti berbentuk silinder. Pada bagian anda yang menghadap ke arah barat, berhias relief dua ekor gajah saling membelakangi di kanan dan kiri tangga gapura. Hal ini diduga melukiskan candrasengkala, yang mengandung arti. Gajah bernilai 8, gapura bernilai 9, dan gajah bernilai 8, sehingga sama dengan angka tahun 898 Saka atau 976 Masehi.[1][4]

Penemuan kepurbakalaan di Pura Pegulingan Tampaksiring berupa pondasi bersegi delapan dan beberapa area Budhi Satwa memberi petunjuk bahwa peninggalan itu bersifat “Budhistik-Siwaistik” dan tidak mustahil penemuan monumental pertama di Indonesia. Selain peninggalan berupa arca Budha dan Fragmen lainnya juga ditemukan panca datu serta arca yoni yang bersifat Siwaistik. Dengan demikian pada saat berdirinya Candi (stupa) Pegulingan sudah terjadi sinkritisme (pencampuran) paham Siwa Budha, itu berarti pada zaman tersebut pemujaan terhadap Siwa (Hindu) dan Budha sudah berjalan baik dan damai.

— Prof. Dr. Soekomo (arkeolog), Bali Post (15 September 1983)[3]

Referensi

  1. ^ a b c d e Astawa, A.A. Gede Oka (2013), Candi Pegulingan dan Cadi Kalibukbuk dalam Kerangka Sejarah Budaya Masa Klasik di Bali, hlm. 24–44 
  2. ^ Cahyawan, Meidy Charista (Oktober 2017), "Persamaan dan Perbedaan pada Pola Spasial dan Sosok Bangunan Peribadatan Agama Buddha di Bali", Jurnal RISA (Riset Asitektur), 1 (04): 413–426, ISSN 2548-8074 
  3. ^ a b c d I Nyoman Trisna Jaya (19 Oktober 2011), Pura Pegulingan Sebagai Wisata Purbakala Dan Cagar Budaya Nasional 
  4. ^ a b c d Linggih, I Nyoman, "Siwa-budha di Pura Pegulingan" (PDF), Forum Arkeologi: 89–102 
  5. ^ UNESCO, "Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy", Inscribed Property