Pemberontakan Rakyat Tolitoli 1919

Revisi sejak 28 September 2019 01.10 oleh Urang Kamang (bicara | kontrib) (Menghapus Kategori:Abdoel Moeis menggunakan HotCat)

Pemberontakan Rakyat Tolitoli 1919 meruapakan salah satu pemberontakan yang terjadi di Tolitoli, Sulawesi Tengah. pemberontakan ini mewakili keresahan umum yang meluas di Hindia-Belanda kala itu dipicu oleh dua hal pokok, yakni Belasting (pajak) dan heerendienst (kerja paksa). Efek pemberontakan rakyat Toli-Toli menghantui penguasa kolonial di seluruh Hindia-Belanda yang berujung pada pemberontakan Komunis pada 1927.

Latar Belakang

Sarekat Islam sendiri masuk ke Sulawesi Tengah sejak tahun 1916, di ikuti dengan masuknya para bangsawan dan Raja penguasa lokal, Tokohnya adalah Raja Binol, seorang bangsawan lokal yang pernah menjadi anggota Sarekat Dagang Islamiyah (SDI). Di tangan Raja Binol, penyebaran SI melalui jejaring para pedagang dan bangsawan. Termasuk ke kalangan bangsawan di Toli-Toli. walaupun dipegang oleh bangsawan, SI Toli-Toli cukup kritis terhadap persoalan kerja-paksa. Karena itu, penguasa kolonial Belanda untuk menjinakkan pimpinan SI, menyuap para bangsawan dengan jabatan. Ini terbukti dengan penunjukan Haji Mogi sebagai Raja. Sejak itu, Haji Mogi tidak lagi kritis terhadap persoalan kerja paksa. Bahkan, penguasa kolonial di Toli-Toli saat itu, kontrolir onderafdeling J.P de Kat Angelino, menggunakan Haji Mogi untuk menggencarkan kerja-paksa.

Pada bulan Mei 1919, Abdoel Moeis, seorang pimpinan pusat Sarekat Islam (CSI) sekaligus anggota Volksraad, melakukan kunjungan ke Toli-Toli. Di sana ia bertemu dengan anggota SI lokal dan menyampaikan pidato di sejumlah vergadering/rapat akbar.

Abdoel Moeis juga membuat seruan:

Tapi kita tidak maoe diperintah sebagai boedak. Mengerdjakan boeatan jang tidak bergoena bagi kita minta soepaja diakoei sebagai orang merdeka.

Seruan ini sama saja dengan perintah pembangkangan alias mogok kerja. Artinya, entah disadari atau tidak, Abdoel Moeis menyerukan anggota SI, yang sebagian besar juga terlibat kerja-paksa, untuk melakukan mogok kerja.

Masalah lainnya, sebagian massa yang mengikuti vergadering SI itu seharusnya melakukan tugas kerja-paksa. Namun, karena mengikuti vergadering SI, mereka dianggap mangkir. Akan tetapi, di mata pemerintah kolonial dan penguasa lokal yang menjadi bonekanya, tindakan mangkir itu tetap harus dianggap hutang kerja dan harus dibayar di lain hari. Namun, di sisi lain, rakyat yang terkena hutang kerja itu juga dituntut untuk mengerjakan sawah dan kebunnya sendiri. Karena itu, kepala distrik Mohamad Saleh, yang juga bekas pengurus SI, datang menemui rakyat dan mengingatkan kewajibannya. Warga diberi waktu dua hari untuk kembali bekerja dan membayar hutang kerjanya. Kalau tidak, mereka akan digiring paksa. Namun, ultimatum itu diabaikan oleh rakyat.

Pidato Abdoel Moeis makin mengeraskan hati rakyat untuk menolak kerja-paksa. Apalagi, saat itu rakyat sedang menjalankan ibadah puasa. Pidato itu kemudian didengar oleh controlir. Karena itu, pada tanggal 31 Mei 1919, Controlir memerintahkan hukuman terhadap para pembangkang dan dikirimlah empat orang polisi untuk menangkap para pekerja paksa yang membangkang.

Meletusnya Pemberontakan

seiring dengan datangnya controlir tanggal 5 Juni 1919, di temani kepala distrik Salumpaga,Raja Tolitoli dan empat orang polisi di distrik Salumpaga. rakyat menggelar pertemuan besar di rumah seorang tokoh SI bernama Haji Hayun. Pertemuan itu menghasilkan keputusan berupa permintaan penundaan hukuman terhadap para heerendienst. Alasannya, waktu pelaksanaan hukuman itu bersamaan dengan ibadah puasa. Namun, permintaan itu ditolak oleh controlir. Ia memerintahkan empat orang polisi pengawalnya untuk tetap menangkapi para heerendienst. Orang hukuman itu kemudian digiring oleh polisi menuju tempat hukuman. Situasi itulah yang memicu kemarahan rakyat Salumpaga. Dengan teriakan “Allahu Akbar”, Haji Hayun memimpin rakyat Salumpaga menyerang Controlir dan pengawalnya. Controlir de Kat Angelino mendapat bacokan klewang berkali-kali dan meninggal di tempat. Raja Haji Ali, yang turut mendampingi controlir, tidak lepas dari amukan massa-rakyat. Sebuah lemparan tombak mengenai lambung kanannya. Lalu, massa rakyat yang marah menebas lehernya. Sebagian besar pengirim dan pasukan pengawal juga turut tewas. hanya kepala distrik Mohamad Saleh dan seorang pengawalnya yang selamat. Saat itu ia berhasil bersembunyi dari massa. Dialah yang kemudian membawa kabar pemberontakan ke Toli-Toli.

Pemberontakan rakyat Salumpaga berlangsung beberapa hari. Tak hanya menyasar controlir dan pengiringnya, tetapi juga orang-orang Tionghoa. Sejumlah toko milik orang Tionghoa dijarah oleh massa-rakyat yang marah.

Pada tanggal 12 Juni 1919, Asisten Residen di Manado datang ke Salumpaga disertai dua brigade infanteri. walaupun kedatangan pasukan ini mendapat perlawanan, tetapi tidak berlangsung lama. Seratusan orang berhasil ditangkap karena pemberontakan tersebut dan digiring ke Manado untuk diadili dan diberi hukuman. Pemimpin pemberontakan dijatuhi hukuman gantung, sedangkan sisanya menjalani penjara puluhan tahun.

Pasca Perang

Pemberontakan Toli-Toli menyita perhatian penguasa kolonial. Termasuk di Batavia. Sebagai tindak lanjut peristiwa itu, penyelidikan kolonial kemudian menyeret nama Abdoel Moeis. Asisten Residen Manado Van Der Jagt, yang membawahi Toli-Toli, menuntut agar pengadilan tidak hanya menyeret para ‘pelaku yang berkelewang’, tetapi juga pelaku-pelaku intelektual yang menyulut pemberontakan yang secara tidak langsung langsung menunjuk Abdoel Moeis.

Upaya kaum konservatif Belanda untuk menjerat Abdoel Moeis berhasil. Ia diseret ke pengadilan raad van justice. Tuduhannya menyampaikan pidato yang provokatif sehingga menyebabkan kerusuhan. Tak hanya itu, SI kemudian dianggap bertanggung jawab atas kerusuhan.

Tetapi pemberontakan Toli-Toli tetap menjadi ‘hantu yang menakutkan’ bagi kekuasaan kolonial. Pemberian hukuman terhadap Abdoel Moeis hanyalah upaya untuk memberi efek jera sekaligus mencegah SI mengulangi aksi serupa. Namun, Pemberontakan yang serupa dengan Toli-Toli juga meletus di Garut, Jawa Barat. Keresahan rakyat, yang menjalar di desa-desa dan kota-kota, terus berkobar menjadi api perlawanan di sepanjang tahun 1920-an. Puncaknya adalah pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh PKI di Jawa tahun 1926 dan di Sumatra tahun 1927.

Rujukan

[1] [2] [3] [4] [5]  [6] [7] [8] [9]

  1. ^ Besluit Resident Menado 11 Juli 1917. nomer 488. dalam bundel Aglemeene Secretarie, Koleksi ANRI
  2. ^ Besluit van den Gouverneur General van Nederlandsch­Indie 19 Februari 1863 nomer 30. dalam bundel  Aglemeene Secretarie, Koleksi ANRI.
  3. ^ Geheim Resident Menado 16 Juli 1917 Nomer 238 dalam bundel Aglemeene Secretarie, Koleksi ANRI
  4. ^ Sarekat Islam Conggres (1e­4e National Conggres). Batavia 1916­1920,­4o. No katalog 2505, geheim  voor den dienst. Koleksi perpustakaan Sana Budaya Yogyakarta.
  5. ^ Encyclopaedi van Nederlandsch­Indie, S­Gravenhage, 1916­1935. Kolonial Verslag 1920­1921
  6. ^ Regeerings Almanak van Nederlandsch Indie.
  7. ^ Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1912 Nomer 771.
  8. ^ Staatsblad van Nederlandsch Indie tahun 1904 Nomer 478
  9. ^ Djurait Abdoel Latif, 1996, Pemberontakan SI Salumpaga, Toli­toli 1919, Tesis, Yogyakarta: Pasca  Sarjana UGM