Rambu Solo'

Ritual agama Aluk To Dolo, Agama asli Suku Toraja, Indonesia

'Rambu Solo' adalah upacara kemerdekaan yang berarti asap yang arahnya ke bawah. Asap yang arahnya ke bawah artinya ritus-ritus persembahan (asap) untuk orang mati yang dilaksanakan sesudah pukul 12 ketika matahari mulai bergerak menurun.[1] Rambu solo’ sering juga disebut Alukard Rate Matamu’, ritus-ritus di sebelah barat, sebab sesudah pukul 12 matahari berada di sebelah barat.[1] Oleh karena itu ritus-ritus persembahan dilaksanakan di sebelah barat Tongkonan, rumah adat Toraja.[1] Tidak ada undangan khusus bagi orang-orang yang akan menghadiri ritus ini.[1] Setiap masyarakat Toraja menyadari bahwa mereka terhisab dalam itu persekutuan masyarakat Toraja, dan nilai-nilainya hanya dapat dihayati secara benar dan eksistensial oleh orang Toraja.[1]

Tedong atau kerbau yang digunakan dalam berbagai acara adat di Tana Toraja

Upacara Rambu Solo rank'' diyakini telah berkembang sejak jaman purbakalahi semua. Hal ini karena rambu solo' diyakini telah berkembang sejak jaman purbakala. Hal ini karena rambu solo adalah bagian yang integral dengan sistem kepercayaan masyarakat Toraja kuno yang disebut aluk tadolo.[2]

Jenis Upacara

Jenis upacara ditentukan oleh status orang yang meninggal, dalam masyarakat Toraja dikenal sebagai tana’ atau kelas. Ada beberapa stratifikasi upacara rambu solo’, sebagai berikut[1]: 1. Didedekan palungan, berlaku untuk semua tana’ atau kelas. 2. Disilli’, berlaku untuk semua kelas. 3. Dibai Tungga’, berlaku untuk semua kelas. 4. Dibai a’pa’, berlaku untuk semua kelas. 5. Tedong tungga’, untuk semua kelas. 6. Tedong tallu atau tallung bongi, untuk tana’ karurung ke atas. 7. Tedong pitu, limang bongi, untuk tana’ bassi. 8. Tedong kasera, pitung bongi, untuk tana’bassi dan tana’ bulaan. 9. Rapasan, untuk tana’ bassi dan tana’ bulaan. Jenis upacara pertama dan kedua diselenggarakan untuk kematian anak.[1] Jenis ketiga dan keempat berlaku hanya bagi para budak.[1] Jenis kelima berlaku untuk semua kelas, termasuk budak asal sanggup menanggung biayanya.[1] Dengan alasan ekonomis jenis upacara ketujuh merupakan yang paling sering dilaksanakan.[1]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j (Indonesia)Theodorus Kobong. 2008. Injil dan Tongkonan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 49-52.
  2. ^ Buku Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2018 diterbitkan oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.