Pengolahan tanah adalah proses di mana tanah digemburkan dan dilembekkan dengan menggunakan bajak ataupun garu yang ditarik dengan berbagai sumber tenaga, seperti tenaga manusia, tenaga hewan, dan mesin pertanian (traktor). Melalui proses ini, kerak tanah teraduk, sehingga udara dan cahaya matahari menyentuh tanah lebih dalam dan meningkatkan kesuburannya. Sekalipun demikian, tanah yang sering digarap sering menyebabkan kesuburannya berkurang.

Seorang petani sedang bekerja dengan bajak yang ditarik oleh kuda.
Pengolahan tanah dengan traktor

Pengolahan tanah adalah upaya untuk meningkatkan , mempertahankan dan mengembalikan kesuburan setelah unsur hara tanah diserap tanaman.Pengolahan tanah mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh struktur tanah yang dibutuhkan bagi pertumbuhan benih atau akar.

2. Untuk mengendali gulma atau untuk menghilangkan tanaman yang berlebih

3. Untuk menata sisa tanaman.

4. Untuk mengurangi erosi tanah dengan mengikuti cara semacam pengolahan menurut garis tinggi, pembumbunan dan penempatan sampahan secara tepat. Didaerah yang mempunyai lereng dengan sudut kemiringan yang tinggi harus dibuat sengkedan atau terassering.

5. Untuk membenamkan dan mencampur pupuk, pestisida atau bahan tambahan ke dalam tanah.


Sistem pengolahan tanah

Sistem pengolahan tanah terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan seberapa banyak residu tanaman yang diangkat dari lahan pertanian. Di Amerika Serikat sejak tahun 1997, sistem pengolahan tanah konservasi semakin banyak digunakan[1][2] karena menghemat banyak waktu, energi, tenaga kerja, dan biaya. Selain itu, pengolahan tanah konservasi berarti semakin sedikit mesin pertanian yang bergerak di atas lahan pertanian sehingga mencegah pemadatan tanah.[2] Namun semakin sedikit tanah yang dibalikkan, semakin sedikit pula cahaya matahari dan udara yang menyentuh tanah bagian dalam, sehingga menghambat penanaman di awal musim semi karena tanah masih dingin setelah tanah membeku di musim dingin.[3]

Manfaat keberadaan residu tanaman di lahan pertanian adalah mencegah erosi karena memperlambat aliran air permukaan, dan mampu menjadi kompos alami karena terdekomposisi selama masa penanaman.

Pengolahan tanah tereduksi
Pengolahan tanah tereduksi meninggalkan antara 15 hingga 30% residu tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian.
Pengolahan tanah intensif
Pengolahan tanah intensif meninggalkan kurang dari 15% residu tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian. Pengolahan tanah intensif mendayagunakan banyak implemen (bajak singkal, bajak piring, dan/atau bajak pahat, ditambah garu dan kultivator) dan jam kerja traktor.
Pengolahan tanah konservasi
Pengolahan tanah konservasi meninggalkan setidaknya 30% residu tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian.
Pengolahan tanah berlajur
Pengolahan tanah berlajur (strip-tillage) hanya membajak lajur yang akan ditanam. Bagian di antara lajur dibiarkan.[4]
Pengolahan tanah rotasi
Pengolahan tanah rotasi hanya mengolah tanah secara periodik, yaitu setiap dua tahun sekali atau tiga tahun sekali.[4]
Tanpa pengolahan tanah
Tanpa pengolahan tanah berarti sama sekali tidak menggunakan bajak. Residu tanaman yang ditanam pada periode sebeumnya dibiarkan mengering. Pada lahan yang luas, sistem ini membutuhkan mesin penanam yang tidak biasa, yang mampu menanam di sela-sela residu tanaman yang masih tegak berdiri.

Dampak pengolahan tanah

Positif
  • Meregangkan tanah sehingga tercipta ruang dan pori-pori yang memungkinkan tanah mendapatkan aerasi udara[5]
  • Membantu mencapuradukkan residu tanaman, materi organik tanah, dan nutrisi menjadi lebih merata[5]
  • Membunuh gulma secara mekanis[5]
  • Mengeringkan tanah sebelum penanaman benih. Hal ini merupakan dampak yang positif pada wilayah beriklim basah.[5]
  • Ketika dilakukan di musim gugur, pengolahan tanah membantu meremahkan tanah sepanjang musim dingin melalui mekanisme pembekuan dan pelelehan yang dapat terjadi berkali-kali sepanjang musim dingin. Hal ini membantu persiapan penanaman untuk musim semi.[5]
Negatif
  • Mengeringkan tanah sebelum penanaman benih. Hal ini merupakan dampak yang negatif pada wilayah beriklim kering.[5]
  • Tanah akan kehilangan banyak nutrisi seperti nitrogen dan kemampuannya dalam menyimpan air[5]
  • Mengurangi laju penyerapan air sehingga meningkatkan erosi tanah.[5][6]
  • Pembajakan mengurangi tingkat kohesi antar partikel tanah sehingga mempercepat erosi
  • Dengan laju penyerapan air berkurang, maka ada risiko terjadi aliran air permukaan yang membawa residu pupuk dan pestisida yang digunakan pada periode penanaman sebelumnya[5]
  • Mengurangi kadar organik tanah[5]
  • Mengurangi jumlah organisme tanah bermanfaat seperti mikroba, cacing tanah, semut, dan sebagainya[7]
  • Menghancurkan agregat tanah[5][7]
  • Risiko terjadi pemadatan tanah pada bagian yang tidak terbajak[5][7]
  • Residu tanaman yang hancur dan tersisa di tanah dapat mengundang organisme dan serangga yang tidak diinginkan dan berpotensi mengganggu produksi[8], juga mengundang penyakit[8]
Pengecualian

Semua dampak positif dan negatif yang tersebut di atas dapat terjadi maupun tidak karena bergantung pada banyak faktor, diantaranya:

  • Jenis implemen yang digunakan[9]
  • Pembajakan tanah di malam hari dapat mengurangi jumlah gulma yang tumbuh karena benih gulma yang masih terdormansi dapat tumbuh ketika terpapar cahaya matahari.[10]
  • Penggunaan implemen tertentu, terutama yang tidak mencapai tanah dalam, (misal bajak piring) tidak membutuhkan traksi yang tinggi sehingga dapat mempercepat pekerjaan pengolahan tanah sehingga pengolahan tanah intensif dapat dilakukan dengan jumlah jam kerja yang lebih sedikit. Penggunaan implemen jamak (misal traktor menarik bajak dan garu sekaligus) juga mengurangi jam kerja traktor, namun risiko pemadatan tanah lebih besar.
  • Sudut mata bajak juga berpengaruh dalam memperlakukan residu tanaman
  • Jumlah residu tanaman yang tertinggal mempengaruhi laju erosi tanah; semakin banyak residu tanaman, pergerakan air lebih terhambat sehingga erosi berkurang.[9][11]

Referensi

  1. ^ "CONSERVATION TILLAGE IN THE UNITED STATES: AN OVERVIEW". okstate.edu. Institute of Agriculture and Natural Resources, University of Nebraska – Lincoln U.S.A. hlm. Figure 2. Diakses tanggal 8 July 2013. 
  2. ^ a b "National Crop Residue Management (CRM) Survey Summary (various years)". ctic.purdue.edu. Conservation Technology Information Center. 
  3. ^ "Strip Till for Field Crop Production". Ag.ndsu.edu. 2012-11-14. Diakses tanggal 2012-12-20. 
  4. ^ a b "Best Management Practices for Conservation/Reduced Tillage" (PDF). Texas Cooperative Extension, The Texas A&M University System. 
  5. ^ a b c d e f g h i j k l Ray Hilborn (date unknown). "Soils in Agriculture" (PPT--available as non-PPT by searching the path through a search engine). University of Washington. Diakses tanggal 2013-08-28. 
  6. ^ Gebhardt_et_al. 1985
  7. ^ a b c "Soil Compaction and Conservation Tillage". Conservation Tillage Series. PennState- College of Agricultural Sciences - Cooperative Extension. Diakses tanggal 26 March 2011. 
  8. ^ a b http://www.tbars.net/alternativetil.pdf
  9. ^ a b Conservation Tillage and Residue Management to Reduce Soil Erosion University of Missouri: Extension
  10. ^ "Nightmare in Tilling Fields - a Horror for Weed Pests". Ars.usda.gov. Diakses tanggal 2012-07-05. 
  11. ^ Mahdi Al-Kaisi, Mark Hanna, Michael Tidman (May 13, 2002). "Methods for measuring crop residue". Iowa State University. Diakses tanggal 2012-12-28. 

Bahan bacaan terkait

Pranala luar