Gunung Tangkuban Parahu

gunung di Indonesia

Gunung Tangkuban Parahu (Aksara Sunda Baku: ᮌᮥᮔᮥᮀ ᮒᮀᮊᮥᮘᮔ᮪ ᮕᮛᮠᮥ, Latin: Gunung Tangkuban Parahu) adalah salah satu gunung yang terletak di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung, dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, Gunung Tangkuban Parahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter. Bentuk gunung ini adalah Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang dikeluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Parahu dikelola oleh Perum Perhutanan. Suhu rata-rata hariannya adalah 17 oC pada siang hari dan 2 °C pada malam hari.

Tangkuban Parahu
Kawah Tangkuban Parahu
Titik tertinggi
Ketinggian2.084 m (6.837 kaki)[1]
Koordinat6°46′S 107°36′E / 6.77°S 107.60°E / -6.77; 107.60[1]
Geologi
Jenis gunungStratovolcano
Letusan terakhir26 Juli 2019[1]
Pendakian
Pendakian pertama1713
Abraham van Riebeeck
Tangkuban Perahu dilihat dari Pelantungan (litografi berdasarkan lukisan J. S. G. Gramberg pada tahun 1865–1872)

Gunung Tangkuban Parahu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.

Sejarah Pembentukan dan Letusan

Gunung Tangkuban Parahu terbentuk sekitar 90.000 tahun lalu di Kaldera Sunda. Gunung ini, menurut T. Bachtiar dan Dewi Syafriani dalam buku Bandung Purba, lebih muda dari Gunung Burangrang. Gunung Burangrang yang terletak di sisi barat Gunung Tangkuban Parahu terbentuk sekitar 210.000 hingga 105.000 tahun lalu. Menurut T. Bachtiar, Gunung Tangkuban Parahu lahirnya setelah terbentuknya Sesar Lembang. Ketika Gunung Tangkuban Parahu meletus, sebagian material alirannya yang mengalir ke selatan tertahan di kaki patahan.

Sepanjang sejarahnya, aktivitas yang terjadi di gunung Tangkuban Parahu telah membentuk 13 kawah. Tiga kawah diantaranya populer dijadikan destinasi wisata, yakni Kawah Ratu, Kawah Upas, dan Kawah Domas. Sementara perincian 13 kawah lengkapnya sebagai berikut: Kawah Upas terdiri dari Kawah Upas (termuda), Kawah Upas (muda), dan Kawah Upas (tua). Kawah Ratu juga terdiri dari Kawah Ratu (termuda),

Legenda rakyat setempat

Asal usul Gunung Tangkuban Parahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi/Rarasati. Untuk menggagalkan niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang membuat sebuah telaga dan sebuah perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal, Sangkuriang marah dan menendang perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.

Gunung Tangkuban Parahu ini termasuk gunung api aktif yang statusnya diawasi terus oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia. Beberapa kawahnya masih menunjukkan tanda tanda keaktifan gunung ini. Di antara tanda aktivitas gunung berapi ini adalah munculnya gas belerang dan sumber-sumber air panas di kaki gunungnya, di antaranya adalah di kawasan Ciater, Subang. Gunung Tangkuban Parahu pernah mengalami letusan kecil pada tahun 2006, yang menyebabkan 3 orang luka ringan.

Keberadaan gunung ini serta bentuk topografi Bandung yang berupa cekungan dengan bukit dan gunung di setiap sisinya menguatkan teori keberadaan sebuah telaga besar yang kini merupakan kawasan Bandung. Diyakini oleh para ahli geologi bahwa kawasan dataran tinggi Bandung dengan ketinggian kurang lebih 709 m di atas permukaan laut merupakan sisa dari danau besar yang terbentuk dari pembendungan Ci Tarum oleh letusan gunung api purba yang dikenal sebagai Gunung Sunda dan Gunung Tangkuban Parahu merupakan sisa Gunung Sunda purba yang masih aktif. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kawasan Ngorongoro di Tanzania, Afrika. Sehingga legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat kawasan itu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung Sunda Purba terhadap peristiwa pada saat itu.

Referensi

Pranala luar