Kehutanan internasional

Kehutanan Internasional Merupakan Konferensi yang membahas bidang kehutanan. Kegiatan kehutanan internasional dilaksanakan oleh World Foresty Congres (WFC) yang dimuat dalam Wikipedia berbahasa Inggris dinyatakan bahwa WFC pertama telah diadakan pada 1926 di Kota Roma, Italia. WFC merupakan pertemuan tingkat internasional dalam bidang kehutanan yang paling besar dan paling penting. Penyelenggaraan kongres ini dilaksanakan di bawah bantuan Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO), walaupun pengorganisasiannya biasanya diselenggarakan oleh negara yang menjadi tuan rumah (penyelenggara) kongres tersebut. FAO merupakan salah satu organisasi resmi yang berada di bawah naungan  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi permasalahan pangan dan pertanian dalam arti luas. Penyelenggara WFC dapat kita pandang sebagai salah satu bentuk perhatian masyarakat dunia dalam bidang kehutanan.

Pengertian dan Sejarah Kehutanan Internasional

Perhatian masyarakatn internasional terhadap hutan dan permasalahan dalam bidang kehutanan telah berlangsung sejak lama. Dalam artikel tentang World Foresty Congres (WFC) yang dimuat dalam Wikipedia berbahasa Inggris dinyatakan bahwa WFC pertama telah diadakan pada 1926 di Kota Roma, Italia. WFC merupakan pertemuan tingkat internasional dalam bidang kehutanan yang paling besar dan paling penting. Penyelenggaraan kongres ini dilaksanakan di bawah bantuan Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO), walaupun pengorganisasiannya biasanya diselenggarakan oleh negara yang menjadi tuan rumah (penyelenggara) kongres tersebut. FAO merupakan salah satu organisasi resmi yang berada di bawah naungan  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membidangi permasalahan pangan dan pertanian dalam arti luas. Penyelenggara WFC dapat kita pandang sebagai salah satu bentuk perhatian masyarakat dunia dalam bidang kehutanan.

               Pada sekitar paruh kedua, Abad ke-20. Dunia mulai berhadapan dengan permasalahan lingkungan hidup akibat merebaknya berbagai jenis polusi yang terbentuk sebagai hasil sampingan dari proses produksi dalam berbagai industri. Gejala ini terjadi pada industri-industri besar yang menggunakan pembakaran bahan bakar yang berasal dari fosil sebagai menggunakan pembakaran bahan bakar yang berasal dari fosil sebagai pembangkit energinya. Hutan sebagai salah satu bentuk ekosistem merupakan bagian penting dari unsur-unsur lingkungan hidup yang menjadi salah satu komponen penting dalam proses timbal-balik antar komponen lingkungan hidup lain dalam proses produksi yang terjadi dalam industri tersebut.

               Dalam perkembangan sejarah industri tercatat bahwa akibat makin tingginya kerusakan lingkungan hidup oleh polusi industri, maka masyarakat dunia mulai memusatkan perhatiannya terhadap permasalahan ini, peristiwa yang dapat kita anggap sebagai awal perhatian formal masyarakat dunia terhadap permasalahn lingkungan hidup adalah diselenggarakannya Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia ( The United Nation Conference on the Human Environment) pada tanggal 5-6 Juni 1972 di kota Stockholm (Swedia).

               Pelaksanaan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dapat kita pandang sebagai saat mulainya secara formal masyarakat dunia memerhatikan permasalahan dalam bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang bersifat Global. Sungguh pun demikian, permasalahan Kehutanan dan Lingkungan Hidup sejak peristiwa tersebut belum secara nyata menggerakkan para ilmuwan untuk mengkaji secara khusus permasalahan Kehutanan Internasional sebagai sebuah kajian Ilmiah yang sistematis, sehingga dapat membentuk sebuah ilmu tersendiri dalam ilmu kehutanan. Kajian yang bersifat khusus dan sistematis terhadap permasalahan kehutanan yang bersifat global baru saja terjadi setelah diadakannya konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The United Nations Conference on Environment and Development) yang diadakan di Kota Rio De Jeneiro, Brazil pada 3-14 Juni 1992. Sejak saat itu,  berbagai perguruan tinggi besar di dunia mulai menawarkan mata kuliah yang berisi kajian terhadap permasalahan kehutanan yang bersifat global. Materi utama yang menjadi bahan kajian adalah berbagai dokumen yang dihasilkan dari berbagai forum internasional dalam bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup serta perkembangan luas dan keadaan hutan dunia serta perkembangan hidup yang memiliki perkembangan luas dan keadaan hutan dunia yang memiliki perkembangan pengelolaannya. Kelompok permasalahan terakhir ini biasanya dimuat dalam pengelolaannya. Kelompok permasalahan terakhir ini biasanyan dimuat dalam dokumen state of the world’s Forest yang dihasilkan melalui kegiatan forest resources assessment (FRA) yang diselenggarakan oleh FAO setiap sepuluh tahun sejak 1948.

               Bidang kajian baru dalam Ilmu Kehutanan yang muncul setelah diadakan UNCED diberi nama Kehutanan Internasional (International Foresty). Kehutanan Internasional merupakan salah satu bidang kajian dalam ilmu kehutanan yang membahas perkembangan luas dan keadaan hutan dunia berikut penyebarannya serta permasalahan dalam bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang bersifat lintas batas wilayah satu negara atau lebih. Kajian ini biasanya dikemas dalam satu mata kuliah yang ditawarkan kepada mahasiswa pascasarjana dalam bidang ilmu Kehutanan atau yang berhubungan dengan Ilmu Kehutanan.

Ruang Lingkup Kajian Kehutanan Internasional

Kehutanan Internasional merupakan bidang kajian baru dalam Ilmu Kehutanan. Bidang Ini membahas keadaan dan perkembangan hutan dunia, berbagai permasalahan kehutanan yang bersifat internasional atau permasalahan global kehutanan, perkembangan konsepsi dan kegiatan-kegiatan internasional dalam bidang kehutanan dan lingkungan, skema pengurusan hutan yang melibatkan pihak-pihak internasional, perbandingan pengurusan dan pengelolaan hutan antara negar-negara di dunia, serta Lembaga-lembaga internasional yang bergerak dalam bidang kehutanan dan pengelolaan lingkungan hidup secara umum.

Kajian Internasional dalam bidangan kehutanan mulai mencuat pada saat kleberadaan hutan dan fungsi hutan di dunia mulai terancam keberlanjutannya, sedangkan bukti-bukti ilmiah tentang tingginya ketergantungan kehidupan di muka bumi ini terhadap keberadaan dan fungsi hutan makin terungkap. Selain itu, fungsi  hutan dalam menghasilkan jasa ekologis yang sangat penting dalam menyangga sistem kehidupan di muka bumi ini bersifat global. Dan tidak mengenal batas-batas wilayah administrasi pemerintahan maupun letak geografis di muka bumi.

Mengingat perhatian dan kepedulian masyarakat internasional terhadap permasalahan global kehutanan dan lingkungan hidup sangat tinggi, maka aspek ini sering kali menjadi faktor dominan dalam menentukan hubungan perdagangan dan politik internasional antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Oleh karena itu, perhatian terhadap bidang ini di masa-masa yang akan datang sangat diperlukan. Untuk itu maka memperkenalkan bidang kajian yang telah dibuat sebelumnya kepada seluruh mahasiswa Pendidikan tinggi bidang Kehutanan dan Ilmu-ilmu Lingkungan pada umumnya sangat diperlukan. Dan diharapkan kepada seluruh elemen Pendidikan terutama dalam bidang kehutanan.

Permasalahan Global Kehutanan

Beberapa permasalahan dalam bidang kehutanan yang bersifat global dan monopoli saat ini dan di masa mendatang dapat di kelompokkan ke dalam lima aspek kelompok permasalahan, yaitu aspek sejarah, aspek ekologis hutan, aspek industri kehutanan dunia, aspek sosial-budaya, dan aspek geopolitik (Maini dan Ullsten 1993) adapun rincian tentang pengertian berikut penjelasan setiap aspek tersebut seperti dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

Aspek Sejarah

Selama sepuluh ribu tahun terakhir, luas penutupan hutan dunia telah berkurang sekitar sepertiganya dari keadaan mula-mula, yaitu dari 6,3 milliar hektar menjadi tinggal 4,2 milliar hektar saja. Padahal pada tahun 1995 diperkirakan luas hutan dunia hanya tinggal 3,45 milliar hektar. Menurut Allan dan Lanny luas penutupan hutan boreal relatif mantap, sedangkan luas hutan pada daerah beriklim sedang sedikit meningkat. Akan tetapi luas hutan tropika terus berkurang dengan laju pengurangan. Diseluruh dunia pada akhir tahun 1980-an diperkirakan sekitar 17 juta hektar/tahun. Ancaman terhadap keberadaan hutan tropika sejak tahun 1980-an sama bersarnya dengan tekanan yang pernah dialami oleh hutan di daerah boreal dan daerah temperate pada beberapa abad yang lalu.

aspek fungsi lingkungan (ekologis)  hutan yang bersifat global

Jasa lingkungan yang dapat dihasilkan oleh hutan seperti untuk konservasi terhadap tanah dan air, menyediakan habitat untuk flora dan fauna yang beraneka ragam, tempat penyimpanan atau persediaan keanekaragaman hayati (reservoir of biodiversity) yang sangat kaya serta peran hutan yang sangat besare dalam proses siklus ekologis misalnya dalam mengendalikan siklus karbon, oksigen, unsur hara, air, dan siklus iklim dunia) pada saat ini telah menjadi perhatian utama para ilmuwan dan para pembuat kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup pada tingkat nasional dan internasional. Pentingnya aspek lingkungan dalam pengelolaan hutan, sehingga peran hutan dalam memelihara keanekaragaman hayati dan pengendalian iklim dunia telah dijadikan sebagai konvensi internasional tersendiri dan dinegosiasikan antara negara-negara di dunia dalam proses konferensi PBB untuk lingkungan dan pembangunan (United Nation Conference on Environtment and Dvelopment, UNCED) yang diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.

Aspek industri kehutanan dunia yang terus meningkat

laju peningkatan permintaan terhadap hasil hutan diseluruh dunia biasanya sejalan dan bahkan melebihi besarnya laju pertumbuhan penduduk dunia. Perkiraan besarnya laju permintaan terhadap hasil hutan di dunia pada tiga dekade ke depan diperkirakan sebesar 3% per tahun. Diperkirakan pula beberapa negara berkembang yang pada mulanya merupakan negara eksportir hasil hutan, pada saat ini dan beberapa tahun ke depan akan berubah menjadi negara pengimpor hasil hutan. Kecenderungan seperti itu meningkat dari tahun ketahun. Kenyataan ini, ditambah dengan ketiadaan dana yang cukup untuk investasi dalam kegiatan penghutanan kembali, pengelolaan hutan, dan perlindungan hutan telah mengakibatkan terjadinya kehilangan hutan pada beberapa bagia di dunia.

Aspek sosial, budaya dan kepentingan umum

Hutan memegang peran penting dan luas dalam aspek sosial dan budaya masyarakat pada beberapa bagian di muka bumi. Mengingat pentingnya peran hutan ini, pada saat ini pembahasan tentang konservasi dan pembangunan berkelanjutan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan dating (intergeneration responbility) telah mmenjadi isu etika global dan menjadi pusat perhatian masyarakat dunia (World Commission on Environment and Development). Di luar kepentingan itu, hutan juga berfungsi dalam menyediakan berbagai bentuk jasa untuk kepentingan umum, berupa ilmu pengetahuan (penelitian dan pengembangan), kualitas sumber daya manusia (Pendidikan dan pelatihan), serta fungsi budaya dan keagamaan (realigi).

Aspek Geopolitik

Hutan memunculkan permasalahan lingkungan global yang bersifat khas. Hal ini mengingat hutan secara fisik berada dalam wilayah suatu negara yang berdaulat, tetapi peran dan jasa lingkungan hutan berpengaruh secara kuat dan positif terhadap wilayah di muka bumi melebihi batas wilayah kekuasaan negara tempat hutan tersebut berada. Demikian pula dampak neagatif yang ditimbulkjan akibat kerusakan hutan sebagai contoh, dikemukakan oleh Maini dan Ullsten beberapa hal sebagai berikut.

1.       Kesalahan pengelolaan terhadap hutan yang terdapat dalam wilayah DAS pada sungai yang melintasi batas negara (international rivers) yang dilakukan oleh suatu negara dapat mengakibatkan dampak negatif bagi kepentingan konservasi tanah dan air pada beberapa negara tetangganya.

2.       Polusi udara yang terjadi dalam wilayah suatu negara akibat terbawa angina dapat terangkat ke wilayah negara tetangganya.

3.       Peran hutan dalam memengaruhi siklus karbon dan oksigen serta perubahan iklim dunia yang dipikul oleh hutan yang terdapat dalam wilayah kekuasaan suatu negara, fungsinya melewati batas-batas negara tersebut.

Berdasarkan pertimbangan faktor-faktor tersebut, maka permasalahan kehutanan yang dapat secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap keberadaan dan kualitas hutan acap kali menjadi faktor yang sangat menentukan dalam pencaturan politik dan perdagangan dunia.

Perkembangan Perhatian Masyarakat Internasional Terhadap Permasalahan Global Kehutanan

Sebagaimana telah diutarakan di Muka, kesadaran akan pentingnya fungsi hutan bagi kehidupan manusia telah muncul sejak berabad-abad yang lalu. Semboyan yang dipopulerkan oleh Raja Inggris, King James, yaitu: ‘No wood, no kingdom!’, merupakan cerminan besarnya kekhawatiran kerajaan inggris terhadap kelangkaan hutan sebagai sumber kayu bakar pada masa itu. Sekarang diketahui kehawatiran Raja Inggris terhadap kelangkaan hutan pada masa itu alasannya masih sangat sederhana, yaitu baru sebatas fungsi hutan yang bersifat sempit, yaitu sumber kayu. Selain itu, permasalahan dalam bidang kehutanan pada masa itu masih merupakan permasalahan kerajaan atau negara masing-masing. Pada belahan dunia yang lain dapat diketahui bahwa kepedulian kerajaan di China terhadap fungsi hidrologis hutan yang dicerminkan dengan membuat peraturan kerajaan untuk melindungi hutan, juga masih bersifat terbatas untuk hutan dalam wilayah kerajaan tersebut. Baru pada pertengahan periode tahun 1900-an masyarakat internasional memberikan perhatian yang khusus terhadap permasalahan kehutanan dan pengurusan hutan di dunia secara Bersama-sama. Beberapa tonggak peristiwa yang dapat dianggap sebagai wujud perhatian masyarakat dunia terhadap permasalahan global kehutanan adalah sebagaimana dijabarkan berikut ini.

Kongres Kehutanan Sedunia ke -5 Tahun 1960 di seattle, Amerika Serikat

Dengan tema kongres Prinsip Manfaat Ganda Hutan ( Multiple Use of Forest Principles ), kongres mendeklarasikan berbagai manfaat yang dapat diberikan oleh hutan. Jadi bukan hanya untuk menghasilkan kayu. Dengan prinsip ini, dinyatakan bahwa masyarakat keturunan internasional mengakui fungsi hutan untuk memberikan manfaat berupa kayu, air, habitat kehidupan liar, sumber makanan ternak, dan tempat untuk rekreasi. Deklarasi ini dapat dianggap menjadi tonggak peristiwa masyarakat dunia menunggalkan pemikiran yang bersifat sempit terhadap fungsi hutan, yaitu hutan hanya menghasilkan kayu.

Deklarasi Stolkhom tentang Lingkungan Hidup Manusia

Deklarasi ini dicetuskan dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia  ( The United Nation Conference on the Human Environment ) yang diselenggarakan pada 5-6 Juni 1972 di Stockholm (Swedia). Deklarasi yang dihasilkan dinamakan Deklarasi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia ( Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment ). Deklarasi ini menyatakan pentingnya melindungi dan meningkatkan kualitas hidup manusia di dunia. Karenanya, sangat penting bagi seluruh umat manusia dan pemerintahan negara-negara di seluruh dunia untuk memperhatikan dan mempertimbangkan faktor lingkungan hidup dalam merencanakan dan melaksanakan berbagai kegiatan dan program pembangunan ekonomi di negaranya. Dikeluarkannya deklarasi ini dianggap sebagai tonggak peristiwa masyarakat dunia memberikan perhatian Bersama terhadap masalah lingkungan hidup. Dalam kaitannta dengan kegiatan pengurusan hutan, deklarasi ini telah mendasari dimasukkannya aspek lingkungan dalam pengelolaan hutan di seluruh dunia.

Deklarasi Jakarta tentang hutan untuk kesejahteraan masyarakat

Deklarasi ini dicetuskan dalam Kongres Kehutanan Sedunia ke-8 (8th World Foresty Congress) yang diselenggarakan di Jakarta, Indonesia pada 16-28 Oktober 1978 dengan tema Hutan untuk Kesejahteraan Masyarakat ( Foresty for People ). Isi Deklarasi ini pada intinya menegaskan bahwa hutan dunia ( the world’s forest ) harus dipelihara dan dimanfaatkan berdasarkan prinsip kelestarian ( a suistanable basis ) untuk digunakan dan dapat memenuhi kebutuhan manusia di seluruh muka bumi secara berkelanjutan. Dikeluarkannya deklarasi ini dianggap sebagai tonggak peristiwa  masyarakat internasional memberikan perhatian Bersama tentang perlunya aspek sosial budaya masyarakat diperhatikan dan dijadikan pertimbangan dalam pengurusan hutan di seluruh dunia.

Deklarasi Rio untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan

Puncak dari berbagai perhatian masyarakat internasional terhadap masalah lingkungan hidup dan pembangunan, termasuk didalamnya pembangunan kehutanan adalah dikeluarkannya Deklarasi Rio untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan ( Rio Declaration on Environment and development ). Deklarasi ini dikeluarkan dalam Konferensi PBB untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan ( United Nations Conference on Environment and development, UNCED ) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brazil, tanggal 3-14 Juni 1992. Inti dari rangkaian deklarasi ini adalah perlunya dilakukan untuk perlindungan terhadap lingkungan hidup dalam rangka mencapai pembangunan yang berkelanjutan ( suistainable development ). Dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan yang bersifat menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan. Salah satu dukumen yang dihasilkan dalam konferensi ini, yaitu Prinsip-Prinsip Kehutanan ( Principles on Forest ), walaupun merupakan konvensi yang bersifat tidak mengikat (non legally binding authoritive statement of principles ), tetapi disepakati untuk digunakan sebagai pegangan dalam melakukan berbagai kerjasama internasional dalam bidang kehutanan tentunya. Prinsip ini memuat 15 pasal consensus yang bersifat tidak mengikat dan berlaku untuk semua tipe hutan di seluruh dunia. Prinsip-prinsip ini memuat aturan dasar mengenai aspek pengelolaan, aspek konservasi, serta aspek pemanfaatan dan pengembangan. Prinsip-prinsip inilah yang melandasi prinsip pengelolaan hutan lestari atau PHL yang disepakati secara internasional pada saat ini. Prinsip utama yang dipegang dalam PHL adalah dicapainya manfaat-manfaat hutan yang bersifat optimal dilihat dari aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial-budaya masyarakat untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara berkelanjutan dan terus-menerus hadir.

Perkembangan Prinsip Pengelolaan Hutan pada Tingkat Internasional

Era Prinsip Kelestarian Hasil (Suistaned Yield Principle)

               Dalam era ini hutan dianggap hanya untuk menghasilkan satu tujuan utama yaitu untuk menghasilkan kayu secara terus menerus. Fungsi lain yang dapat diberikan oleh hutan dianggap sebagai hasil ikutan dan karenanya bukan merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam penyusunan rencana pengaturan hasil dalam kegiatan pengelolaan hutan. Prinsip yang digunakan dinamakan prinsip kelestarian hasil. Inti prinsip ini mengatur agar banyaknya hasil kayu yang dapat diperoleh dari setiap satu kesatuan pengelolaan hutan sama banyaknya setiap tahun. Helms mendefinisikan kelestarian hasil sebagai banyaknya hasil yang didapat dan diperoleh dari hutan secara terus-menerus pada tingkat intensitas pengelolaan tertentu atau memepertahankan pencapaian beraneka ragam hasil yang tinggi dari sumber daya alam yang dapat dipulihkan secara periodik, tanpa mengurangi produktivitas lahannya. Akan tetapi dalam praktiknya prinsip ini biasanya dijabarkan dalam ukuran besarnya volume kayu yang sama setiap tahun (m3/tahun), sehingga luas tebangan harus menyesuaikan dengan jumlah volume kayu yang harus diharapkan. Ukuran lain adalah mengusahakan agar luas penebangan yang diusahakan sama setiap tahun (hektar/tahun), sehingga banyaknya volume kayu yang diperoleh berbeda dari tahun ke tahu. Prinsip pertama berlandaskan kepada pengaturan volume hasil yang diharapkan, sedangkan prinsip kedua berlandaskan pada pengaturan luas tebangan yang dib uat sama setiap tahun. Apabila dalam proses pengelolaan hutan itu diberikan masukan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas lahan hutannya, maka hasil yang bersifat lestari itu akan makin bertambah dari tahun ketahun. Prinsip demikian dinamakan prinsip kelestarian hasil yang bersifat meningkat (progressive sustained yield principle).

Dalam era ini tidak ada kesepakatan (konvensi) yang bersifat internasional. Namun yang ada adalah pengaturan dalam pengelolaan hutan pada masing-masing negara. Menurut Osmaton, prinsip kelestarian hasil untuk pertama kalinya dimasukkan dan diuraikan secara tegas dalam hasil untuk pertama kalinya dimasukkan dan diuraikan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan suatu negara adalah dalam Ordonansi Hutan tahun 1669 di Perancis. Dalam Ordanance of Melun tahun 1376 sebenarnya telah pula dicantumkan prinsip ini secara garis besar, tetapi tidak terinci dan tegas sebagaimana dimuat dalam Ordonansi Hutan tahun 1669 tersebut.

Prinsip ini secara ilmiah mulai dipublikasikan pada tahun 1823 oleh Emil Andre dalam sebuah buku yang antara lain memuat rumus untuk pengaturan hasil pada hutan sejenis (homogen) dan seumur (event aged) yang diberinya nama rumus (Austrian Formula). Nama Austrian diberikan sebagai penghargaan kepada salah seorang petugas penilai dan pengumpul pajak Bangsa Austria yang sangat terkenal tetapi tidak diketahui Namanya. Pada tahun 1788 petugas pajak berkebangsaan Austria ini memperkenalkan sebuah prinsip yang menyatakan bahwa pemanfaatan hutan haruslah berlandaskan pada kemampuan hutan dalam memberikan hasil secara teratur dan berkelanjutan.

Berdasarkan prinsi tersebut, CC. Andre, yaitu ayah Emil Andre memuat empat artikel ilmiah yang berhubuungan dengan pengaturan hasil berlandaskan prinsip kelestarian hasil dan diterbitkan dalam jurnal Economic News atau Kabar Ekonomi antara tahun 1811 dan 1812. Berdasarkan artikel-artikel itulah Emil Andre merumuskan Rumus Austrian. Akan Tetapi, jauh sebelum Rumus Austrian dipublikasikan, seorang ahli kehutanan berkebangsaat Jerman, G.I Hartig, pada tahun 1791 telah merumuskan konsep tentang hutan normal, konsep ini kemudian diadopsi, antara lain oleh cotta dan hundeshagen dalam membangun perasaan matematika untuk metode pengaturan hasil dalam pengelolaan hutan dengan tujuan untuk menghasilkan kayu secara terus-menerus.

Pada tahun 1849, Dr. Martin Faustmann merumuskan rumus matematika untuk menghitung nilai lahan yang akan digunakan untuk ditanami pohon sebagai sebuah kegiatan usaha. Menurut rumus tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan dimuat kembali dalam Journal of Economics dengan judul Kalkulasi Nilai Konversi Lahan Untuk Hutan. Adapun rumus matematika yang dibuat oleh Fautsmann tersebut ditujukan untuk menjawab pertanyaan: “berapa nilai lahan untuk suatu hamparan lahan yang akan digunakan untuk menanam pohon sebagai kegiatan usaha?”. Jawaban untuk pertanyaan tersebut menurut Fautsmann akan dapat diperooleh apabila kita merumuskan model untuk usaha penanaman pohon tersaebut sebagai berikut: Anggaplah dalam sebuah hamparan  lahan direncanakan untuk ditanam pohon. Apabila pohon sudah mencapai umur tertentu, yaitu umur daur (umur pada saat pohon setiap dipanen), maka pohon-pohon tersebut dipanen. Selanjutnya lahan yang kosong setelah dipanen itu ditanami pohon kembali segera setelah pemanenan dilakukan. Seluruh tahapan penanaman kembali, yumbuh dan pemanenan pohon pada lahan tersebut terus diulangi pada setiap satu daur pohon dalam setiap periode penanamannya dengan tahapan kegiatan yang identic dengan pola piker seperti ini, dalam pandangan Fautsmann nilai lahan akan sama dengan nilai bersih sekarang dari pendapatan usaha menanam pohon pada lahan tersebut sebanyak tdak berhingga kali.

Prinsip banyaknya pengulangan proses (produksi yang lengkap dari penanaman sampai pemanenan untuk selanjutnya ditanami kembali) yang bersifat tidak berhingga ini merupakan ciri utama dan bersifat unik dalam konsep pengelolaan hutan. Ciri inilah yang membedakan konsep awal pengelolaan hutan menurut ilmu kehutanan dengan konsep dalam pengelolaan sumber daya alam lainnnya, termasuk dengan pengelolaan sumber daya alam hayati selain hutan.

Dalam perkembangannya, terhadap rumus untuk mencari nilai lahan untuk tujuan usaha menghasilkan kayu secara lestari yang dibuat oleh fatsmann mendapatkan berbagai kritik dari beberapa pakar ilmu kehutanan, terutama dalam hal penyederhanaan permasalahan yang dibuat sehingga untuk berlakunya memerlukan asumsi-asumsi yang dalam praktik di lapangan sulit dipenuhi. Sungguh pun demikian, prinsip dasar yang dibuat oleh Fautsmann yaitu dengan membuat anggapan adanya jumlah pengulangan proses yang bersifat tidak berhingga sampai saat ini masih dianggap relevan dalam menjelaskan falsafah prinsip kelastarian dalam pengelolaan hutan.

Di Indonesia, konsep hutan normal untuk hutan homogen dan seumur diterapkan dalam pengelolaan hutan tanaman untuk tujuan menghasilkan kayu, terutama pada hutan tanaman jati di Pulau Jawa. Prinsip ini dibawa oleh belanda dan pertama kali dipraktikkan oleh pemerintah hindia belanda dalam pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa yang dilakukan oleh perusahaan Jati yang didirikan pada tahun 1890. Beberapa publikasi hasil penelitian yang dikeluarkan dalam rangka pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa adalah sistem penjarangan Hutan Jati, table tegakan normal jati dan disempurnakan oleh ferguson, serta sifat-sifat silvikultur jati. Metode pengaturan hasil dengan prinsip seperti ini sampai saat ini masih digunakan dalam pengelolaan hutan jati di Pulau Jawa dan hutan tanaman selain jati di Indonesia.

Pengaturan hasil hutan untuk kayu pada hutan yang tidak seumur, tidak berkembang seperti pada hutan seumur. Metode ini diprakarsai oleh ahli kehutanan berkebangsaan perancis, yaitu F.L de Liocourt yang merumuskan bentuk struktur kegiatan tegakan normal untuk tegakan hutan tidak seumur yang menyerupai bentuk huruf J terbalik. Akan tetapi metode ini tidak berkembang mengingat penerapan konsep pengaturan hasil pada hutan tidak seumur dianggap sulit dan kompleks.

Penerapan metode pengaturan hasil untuk hutan tidak seumur pertama dilakukan oleh Dr. Dietrich Brandis, seorang ahli botani kelahiran Jerman dalam pengelolaan hutan jati di Burma atau sekarang disebut Myanmar pada tahun 1850 sampai 1900. Metode yang dikembangkan oleh brandis ini dinamakan metode pengaturan hasil berdasrkan jumlah pohon dan lebih dikenal dengan sebutan Metode Brandis atau disebut  The Method Brandis.

Metode pengaturan hasil pada hutan alam di luar Pulau Jawa yang memiliki banyak jenis atau disebut heterogen dan tidak seumur telah dirumuskan antara lain oleh Suhendang. Metode ini merupakan modifikasi Metode Brandis untuk hutan bersifat heterogen. Metode yang dikembangkan oleh Suhendang dikenal dengan nama Metode Pengaturan Hasil berdasarkan Intensitas Penerbangan Berimbang atau MPH-IPB. Beberapa penelitian hasil pada hutan alam di Indonesia telah pula dikembangkan dan diteruskan hingga saat ini.