Dusun Tancung Purai
Dusun Tancung Purai adalah sebuah dusun kecil di tepi barat Danau Tempe, wilayah Kecamatan Belawa, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, dengan populasi penduduk sekitar 200 kepala keluarga.[1]
Dusun Tancung Purai | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Sulawesi Selatan |
Kabupaten | Wajo |
Kecamatan | Belawa |
Luas | 50 Ha |
Kepadatan | 200 KK |
Penduduk dusun ini masih menjunjung tinggi adat istiadat yang diwariskan leluhurnya, seperti Meccera Tappareng dan Mappangolo serta serangkaian adat istiadat lainnya yang menjadi ciri khas daerah ini.[1] Dari letak geografis yang hanya berjarak dua kilometer dari Danau Tempe menjadikan dusun ini rawan banjir sehingga masyarakat lebih memilih membangun rumah panggung guna terhindar dari peristiwa alam yang menjadi ancaman hampir setiap tahun.[1]
Sejarah
Dusun Tancung Purai sudah mulai dihuni oleh masyarakat sejak abad ke 17, dengan penduduk merupakan turunan dari daerah Enrekang dan Wajo bagian barat. Pada awalnya masyarakat daerah ini menganut paham animisme, namun pada tahun 1900, paham Hindustan masuk ke daerah ini dan pada tahun 1960-an, pengaruh Islam sudah mulai menyebar hampir ke semua daerah ini.
Pada tahun 1972, kemarau panjang melanda Sulawesi Selatan, sehingga masyarakat gagal panen. Bagi masyarakat dusun Tancung Purai, peristiwa ini tidak dapat dilupakan karena kejadian ini membuat sebagian penduduknya hijrah ke daerah lain untuk mengubah nasib.
Sampai akhir masa Orde Baru, dusun ini masih terisolasi dan nyaris semua penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, di mana hidup sebagai nelayan tradisional dan petani musiman menjadi mata pencaharian utama masyarakat dusun ini.
Di era pemerintahan B. J. Habibie, dusun Tancung Purai mulai dibangun, sektor pertanian dan perikanan tetap menjadi prioritas. Pembangunan infrastruktur telah berjalan sejak pemerintahan K. H. Abdurrahman wahid. Meskipun demikian, masyarakat dusun Tancung Purai tetap saja berkecil hati karena merasa dianaktirikan oleh pemerintah karena beberapa sektor pembangunan nyaris belum tersentuh, seperti bidang sosial dan pendidikan serta berbagai sektor lainnya.[1]
Tokoh Masyarakat adat
- I Maddaung Loloada, (Dari Kampung Manurung, Luwu), Tokoh penyebar paham Animisme di Pulau Sulawesi dan Pulau Mindanao, Filipina
- Bala Nirow Lolobua, Tokoh penyebar paham animisme abad ke 18
- Opu Bate (saudara kandung Batari Toja; Datu Luwu ke 23), Tokoh masyarakat adat
- Andi Tjella' Daeng Mattemmu, Tokoh masyarakat adat akhir abad ke 18
- Andi Pute Daeng Mapparessa, Tokoh masyarakat adat abad ke 18
- Opu Toaddiware (La Massenrengpulu), Tokoh masyarakat adat abad ke 16
- La Bolong Galenrong, Tokoh legenda dalam sejarah Danau Tempe
Putra Daerah
- Naeing Tadjang, Pengusaha, Chairman Naeing Putra Group
- H. Laude Dg Mattemmu, Tokoh Masyarakat
- Monica Padu, Pengusaha
- Alie R. Djohan, Tokoh pemuda
- Hardianto T, Pengusaha, Internet Marketer, Top Leader Mavrodi Mondial Moneybox
- Heriyanto T, Pengusaha, Owner www.republikbitcoin.com , Internet Marketer
- Syam Jaya, seniman daerah Bugis
- H. Ambo Djetta, Guru besar perguruan Black Panther Indonesia[2]
- M. Zain Useng Alm, Pendiri kelompok bisnis "Pada Idi Pada Elo Sipatou Sipatokkong" - PIPOSS [3]
- H. Zaenal. Bintang, Tokoh Nasional/Fungsionaris Partai Golkar
- Padu Tang tokoh mediasi Konferensi Bone Pute, antara Pemerintah dan DI/ TII.[1]