Pertentangan antar hak asasi manusia

Revisi sejak 2 November 2019 23.56 oleh Danu Widjajanto (bicara | kontrib) (Menambah Kategori:Hak asasi manusia menggunakan HotCat)

Konflik antar hak asasi manusia adalah pertentangan yang terjadi di antara dua hak asasi, contohnya pertentangan antara hak atas kehidupan pribadi seorang artis dengan kebebasan berekspresi seorang wartawan yang mengulas kehidupan artis tersebut.[1]

Landasan filosofis

Secara filosofis, terdapat beberapa filsuf (seperti James Griffin) yang menampik adanya konflik antar hak asasi manusia. Penolakan ini berakar dari teori hak berdasarkan filsafat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa kebebasan individu sebaiknya menjadi bagian dari sistem kebebasan yang sama untuk semua orang. Pengakuan akan adanya pertentangan antar hak yang dimiliki oleh individu yang berbeda dianggap dapat membahayakan landasan teoretis ini.[2][3] Beberapa filsuf malah menekankan pandangan "spesifikasionisme" yang menyatakan bahwa setiap individu hanya memiliki hak-hak yang sangat spesifik dan tidak saling bertentangan.[4] Walaupun mungkin terdapat beberapa contoh yang menunjukkan seolah adanya konflik antar dua hak, solusi yang diajukan pendukung spesifikasionisme adalah dengan menerapkan hak yang benar-benar spesifik terhadap situasinya. Sebagai contoh, seorang pengembara yang tersesat di tengah badai salju hendak menerobos masuk ke dalam sebuah pondok pribadi yang dimiliki oleh seorang yang kaya. Dalam kasus ini, seolah terdapat pertentangan antara hak untuk hidup sang pengembara dengan hak atas properti si orang kaya. Berdasarkan pandangan spesifikasionisme, tidak ada pertentangan sama sekali karena hak untuk hidup tidak memberikan hak untuk masuk ke pondok orang tanpa izin, dan hak atas properti juga tidak memberikan hak agar pondok milik seseorang tidak diterobos masuk oleh seseorang yang sedang tersesat di tengah badai.[5]

Namun, pandangan spesifikasionisme telah menuai kritikan akibat landasan teoretisnya yang dianggap lemah. Menurut pakar hak asasi manusia Stijn Smet, pandangan spesifikasionisme sama sekali tidak dapat diterapkan di dunia nyata akibat banyaknya skenario yang mungkin terjadi, sehingga tidak ada yang benar-benar tahu hak spesifik apa yang dimiliki A dalam skenario B atau C.[6] Selain itu, pandangan spesifikasionisme juga dianggap tidak sesuai dengan praktik hak asasi manusia.[5] Sebagai contoh, ketika dua orang yang terombang-ambing di lautan setelah kapal mereka tenggelam mencoba berpegangan pada papan Karneades, hak untuk hidup dua orang tersebut tampak saling bertentangan. Karena mereka memiliki hak yang sama, konsekuensi dari pandangan spesifikasionisme adalah bahwa sama sekali tidak ada hak asasi yang bisa diterapkan dalam perkara tersebut. Menurut pakar hak asasi manusia Stijn Smet, hal ini sama sekali tidak masuk akal. Contoh lain adalah dalam skenario sang pengembara; jika pandangan spesifikasionisme diterapkan, konsekuensinya adalah sang pemilik pondok tidak berhak menerima kompensasi sama sekali, tetapi hal ini tidak sesuai dengan intuisi dan praktik di dunia nyata.[6]

Catatan kaki

  1. ^ Smet 2017, hlm. 15.
  2. ^ Smet 2017, hlm. 16.
  3. ^ Griffin 2008, hlm. 58-59.
  4. ^ Smet 2017, hlm. 16-17.
  5. ^ a b Smet 2017, hlm. 17.
  6. ^ a b Smet 2017, hlm. 21.

Daftar pustaka